Menuju konten utama

Jalan Berliku Vaksin Flu Sampai Jadi Efektif seperti Sekarang

Vaksin Pfizer dan Moderna menjadi sekian contoh bukti teranyar bahwa vaksin flu memiliki tingkat kemanjuran jauh lebih tinggi daripada tingkat kegagalannya.

Jalan Berliku Vaksin Flu Sampai Jadi Efektif seperti Sekarang
ilustrasi vaksin. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Vaksin COVID-19 membutuhkan waktu untuk bisa memberikan perlindungan optimal pada tubuh. Dilansir dari laman resmi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), setelah tubuh menerima vaksin COVID-19, perlu jeda beberapa hari atau minggu bagi tubuh untuk memproduksi limfosit B dan T sampai bisa bekerja sempurna. Mereka adalah sel-sel darah putih yang bertugas melawan virus penyebab COVID-19.

Dari beberapa jenis vaksin COVID-19 yang sudah melalui uji klinis tahap ketiga di Amerika, ada yang harus disuntikkan ke tubuh sebanyak dua kali, yakni vaksin produksi Moderna (rentang 28 hari antara dosis pertama dan kedua) dan Pfizer-BioNTech (dosis kedua diberikan 21 hari setelah dosis pertama). CDC menjelaskan, dosis pertama bertujuan untuk membangun pertahanan, sedangkan dosis kedua untuk memaksimalkan daya lindung yang dihasilkan oleh vaksin.

Bukanlah hal yang mengherankan apabila seseorang terinfeksi COVID-19 meskipun baru saja divaksinasi. Baru-baru ini, seorang perawat asal California dinyatakan positif COVID-19 setelah menerima dosis pertama vaksin Pfizer sekitar seminggu sebelumnya. Menanggapi berita tersebut, Dr. Christian Ramers dari Pusat Kesehatan Keluarga San Diego menyampaikan kepada ABC 10News bahwa dirinya tidak terkejut.

Dosis pertama vaksin, menurut Dr. Ramers, diperkirakan baru memberikan imunitas sekitar 50 persen, yang bisa diangkat sampai kisaran 95 persen oleh dosis kedua. Berdasarkan hasil uji klinis, Dr. Ramers menambahkan, diperlukan 10 sampai 14 hari sampai vaksin berhasil memproduksi imunitas. Ia juga mengaku tahu sejumlah kasus nakes yang positif COVID-19 tak lama setelah divaksinasi.

Informasi dari Dr. Ramers senada dengan dokumen tentang Pfizer yang dirilis Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) di AS pada 10 Desember. Berdasarkan pengamatan FDA terhadap hasil uji klinis vaksin Pfizer, imunitas di dalam tubuh baru terbentuk paling tidak dua minggu setelah dosis pertama vaksin diberikan. Secara keseluruhan, FDA menilai vaksin Pfizer efektif mencegah COVID-19 pada individu usia 16 tahun ke atas dan mempunyai manfaat yang lebih besar daripada risiko yang ditimbulkannya.

Vaksin Efektif: Tingkat Efikasi Minimal 50 %

Semenjak riset-riset vaksin ramai berlangsung pada pertengahan 2020, FDA sudah mengeluarkan dokumen kisi-kisi pengembangan vaksin COVID-19 bagi sektor industri. Isinya meliputi persyaratan kimia dan manufaktur, uji klinis, sampai evaluasi keamanan setelah nantinya vaksin memperoleh lisensi.

FDA mengarahkan agar riset vaksin melibatkan partisipan sebanyak-banyaknya, berasal dari beragam latar belakang etnis dan usia, termasuk orang dengan penyakit bawaan atau komorbid. Selain itu, FDA berharap, hasil uji klinis vaksin bisa menunjukkan tingkat efikasi setidaknya 50 persen. Artinya, pada kelompok orang yang divaksinasi, diharapkan tercapai penurunan kejadian infeksi sampai 50 persen.

Uji klinis tahap akhir vaksin Pfizer melibatkan jumlah partisipan sangat banyak, sedikitnya 43 ribu sukarelawan, yang terdiri atas kelompok penerima plasebo dan penerima vaksin. Hasilnya menunjukkan, tingkat efikasi vaksin mencapai 95 persen, jauh di atas ekspektasi FDA.

Angka tersebut diperoleh setelah para peneliti menemukan 170 sukarelawan yang terinfeksi COVID-19. Delapan orang berasal dari kelompok penerima vaksin, sementara 162 orang berasal dari kelompok plasebo. Dengan kata lain, pada kelompok orang yang menerima vaksin Pfizer, penurunan kasus infeksi bisa mencapai 95 persen, dibandingkan dengan mereka yang tidak divaksinasi (penerima plasebo).

FDA juga sudah mempelajari vaksin buatan Moderna dalam dokumen tanggal 17 Desember. Uji klinis tahap ketiga Moderna melibatkan total sedikitnya 30 ribu sukarelawan berusia di atas 18 tahun, terbagi sama rata atas kelompok penerima vaksin dan plasebo. Hasilnya menunjukkan 95 partisipan terinfeksi COVID-19: dari kelompok penerima vaksin 5 orang, dari kelompok plasebo sebanyak 90 orang. Penemuan tersebut menunjukan bahwa dalam uji klinis, presentase penurunan kejadian infeksi COVID-19 bisa mencapai 94,5 persen.

Kepala Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional AS, Dr. Anthony S. Fauci, mengungkapkan betapa tingkat efikasi yang ditunjukkan dalam hasil uji klinis vaksin Pfizer dan Moderna “luar biasa mengesankan”. Ia menjadi salah satu tokoh di AS yang lebih dulu menerima vaksin COVID-19, dan mendorong khalayak Amerika untuk mengikuti langkahnya.

Lika-liku Penemuan Vaksin Flu

Efektivitas tinggi vaksin Pfizer dan Moderna merupakan gebrakan hebat dalam dunia medis. Pasalnya, pembuatan vaksin bukanlah perkara mudah. Tidak semua riset vaksin COVID-19 berjalan mulus, misalnya di Australia.

Awal Desember silam, University of Queensland dan firma bioteknologi CSL terpaksa menghentikan proyek vaksin COVID-19 dan kehilangan kontrak AUD 1 milyar dari pemerintah. Alasannya, ditemukan reaksi positif palsu HIV pada partisipan yang telah divaksinasi. Untuk membuat vaksin, para peneliti memanfaatkan teknologi penjepit molekuler yang memerlukan bahan protein HIV. Meskipun penerima vaksin COVID-19 sebenarnya tidak terinfeksi HIV, program ini tidak jadi dilanjutkan demi menjaga kepercayaan masyarakat Australia.

Menilik riwayatnya, vaksinasi flu punya perjalanan yang berliku, seperti salah satunya bermula di Amerika Serikat. Pada awal tahun 1976, ditemukan penyebaran kasus infeksi flu babi di Fort Dix, pangkalan militer di pusat negara bagian New Jersey. Khawatir virus influenza tersebut akan me wabah, administrasi Presiden Gerard Ford bergegas mengerahkan program imunisasi besar-besaran.

Dikutip dari majalah Discover, sampai akhir 1976, seperempat warga Amerika atau sekitar 45 juta orang berhasil divaksinasi. Selang beberapa waktu kemudian, publik dihebohkan pada laporan tentang 450 penerima vaksin yang kemudian terinfeksi penyakit saraf langka bernama Guillain-Barré Syndrome (GBS). GBS terjadi ketika sistem imun tubuh menyerang sel saraf dan mengakibatkan otot melemah atau bahkan kelumpuhan. Meskipun kebanyakan penderitanya sembuh, ada juga yang mengalami kasus parah. Mulai marak pandangan liar, bahwa vaksinasi flu dapat menyebabkan kelainan saraf.

Situasi bertambah runyam tatkala pandemi yang ditakutkan ternyata tak kunjung terjadi. Kasus infeksi bahkan tidak ditemukan di luar Fort Dix. Akhirnya, program vaksinasi flu 1976 dihentikan pada Desember. Namun demikian, skeptisme publik terhadap dampak vaksinasi flu sudah terlanjur sulit diredam.

Insiden di atas dianalisis secara mendalam oleh sekelompok ilmuwan dari Institute of Medicine di Amerika Serikat dalam studi (2004) berjudul “Immunization Safety Review: Influenza Vaccines and Neurological Complications”. Hasilnya, para peneliti menemukan bukti cukup dalam hubungan sebab-akibat antara vaksinasi flu babi tahun 1976 dengan penyakit GBS di kalangan orang dewasa.

Namun demikian, belum bisa dipastikan alasan timbulnya GBS pada beberapa penerima vaksin flu angkatan 1976. Terdapat sejumlah hipotesis, seperti kontaminasi vaksin oleh bakteri Campylobacter jejuni. Dugaan potensial lainnya, vaksin tahun 1976 mengandung materi yang menyerupai sel saraf, sehingga antibodi yang dihasilkan tubuh bisa jadi ikut menyerang sel saraf. Semuanya masih berupa teori yang bukti-buktinya terbatas, sehingga belum bisa dibantah maupun didukung.

Tingkat kemunculan kasus GBS cenderung lebih tinggi pada penerima vaksin flu tahun 1976. Dilansir dari laman CDC, terdapat 1 kasus tambahan GBS dalam setiap 100 ribu penerima vaksin tahun 1976. Sementara itu, jumlah kasus GBS jauh lebih rendah pada penerima vaksin flu musiman periode-periode berikutnya, yang konsisten pada 1-2 kasus tambahan per 1 juta penerima vaksin.

Infografik Lika-liku Vaksin Flu

Infografik Lika-liku Vaksin Flu. tirto.id/Fuad

Para peneliti juga belum punya bukti-bukti cukup untuk memastikan kaitan vaksinasi flu musiman pada periode lainnya dengan penyakit GBS. Dalam dokumen tahun 2011, tim peninjau dari Institute of Medicine mencoba mengevaluasi vaksinasi influenza dalam 30 tahun terakhir. Hasilnya, belum ada cukup bukti untuk menerima atau menolak hubungan sebab-akibat antara vaksinasi influenza musiman dan penyakit GBS. Relasi antara keduanya belum bisa dipastikan, terutama untuk vaksin pada masa mendatang yang disesuaikan dengan mutasi virus terbaru.

Mengkritisi dugaan hubungan antara vaksinasi flu dan penyakit saraf, studi dari Insitute of Medicine dan pihak CDC sama-sama menyimpulkan bahwasanya penting bagi kita untuk memahami risiko GBS atau komplikasi saraf yang mungkin berkaitan dengan vaksin influenza. Akan tetapi, pada waktu bersamaan, penting juga untuk menimbang risiko tersebut dengan beban penyakit lebih besar yang berkaitan dengan infeksi karena virus-virus flu.

Sejak 2010 di Amerika Serikat, CDC memperkirakan influenza telah berkontribusi terhadap 9-45 juta kasus penyakit, 140-810 ribu kasus rawat inap, dan 12-61 ribu kematian per tahunnya.

Salah satu studi menunjukkan bahwa risiko terkena GBS bahkan jauh lebih besar pada orang-orang yang terinfeksi influenza, dibandingkan dengan penerima vaksin flu. Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal The Lancet (2013), Dr. Jeffrey Kwong, MD dkk meneliti 2.831 kasus opname terkait penyakit GBS di Ontario, Canada antara 1993-2011.

Hasilnya, terdapat risiko 52 persen lebih tinggi untuk terkena GBS dalam 6 minggu pertama setelah vaksinasi flu, dibandingkan pada minggu ke-9 sampai 42. Namun demikian, risiko terkena GBS jauh lebih tinggi pada orang-orang yang jatuh sakit karena influenza. Menurut perhitungan kasarnya, dalam 1 juta penerima vaksin flu, terdapat 1 orang yang bisa terkena GBS. Sedangkan dalam 1 juta orang yang terjangkit flu, 17 di antaranya bisa terinfeksi GBS.

Untuk membandingkan risiko vaksinasi flu dan risiko sakit karena flu, Gregory Poland dkk dalam studi di The Lancet (2013) mencoba melakukan permodelan matematika terkait vaksinasi H1N1 tahun 2009 di Amerika Serikat. Seandainya semua orang Amerika menerima vaksin H1N1, diperkirakan akan ada 22 orang yang meninggal dan 560 kasus opname. Sedangkan jika tidak ada yang divaksinasi, diperkirakan lebih dari 12 ribu orang akan meninggal dan 274 ribu orang opname. Permodelan Poland juga mengarah pada dugaan 560 kasus GBS pasca-imunisasi, dibandingkan dengan 14-25 ribu kasus GBS yang bisa muncul karena kaitannya dengan infeksi oleh virus flu.

Tidak ada vaksin yang bebas risiko. Insiden GBS pada sejumlah penerima vaksin flu babi pada tahun 1976 menjadi pembelajaran penting tentang risiko yang mungkin muncul akibat vaksinasi. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa risiko-risiko yang ditimbulkan oleh vaksin relatif lebih kecil, dibandingkan dengan manfaat atau kebaikan yang kelak dihasilkannya.

Seiring waktu, teknologi pembuatan vaksin pun semakin berkembang pesat. Vaksin Pfizer dan Moderna menjadi sekian contoh bukti teranyar bahwa vaksin flu memiliki tingkat kemanjuran jauh lebih tinggi daripada tingkat kegagalannya. Maka dari itu, tidak ada alasan untuk meremehkan khasiat vaksin-vaksin tersebut, terlebih karena mereka sudah melalui tahapan uji klinis yang ketat, melibatkan banyak partisipan, dan bisa dikaji secara terbuka oleh para ilmuwan dan lembaga pengawas.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf