Menuju konten utama

Jalan Berliku Libya Menuju Demokrasi

Enam tahun setelah menggulingkan rezim Muammar Gaddafi, Libya masih terjerat dalam situasi penuh konflik dan proses demokrasi yang diimpikan pun masih jauh dari harapan.

Jalan Berliku Libya Menuju Demokrasi
Pejuang pasukan Libya aliansi pemerintah yang didukung PBB merayakan saat mereka sedikit lagi mengamankan wilayah yang dikuasai Islamic State di Sirte, Libya, Senin (5/12). Foto diambil tanggal 5 Desember 2016. ANTARA FOTO/REUTERS/Ayman Sahely.

tirto.id - Enam tahun lalu, muncul unjuk rasa warga Libya menuntut pemimpin Muammar Gaddafi yang sudah lama berkuasa untuk mundur. Mereka menuntut pergantian rezim, demokratisasi dan reformasi secara luas. Jika Hosni Mubarak menanggapi pergantian rezim dengan mengasingkan diri dan menghadapi pengadilan, dan Ben Ali menjawab dengan melarikan diri ke negara lain, maka Gaddafi menjawab dengan melakukan perlawanan bersenjata bersama pengikut setianya.

Pasukan oposisi dan pemerintah pun terlibat dalam pertempuran sengit sejak akhir Februari 2011. Perang ini menyebabkan banyak warga Libya harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Banyaknya korban terutama dari warga sipil yang menurut Dewan Transisi Nasional (NTC), terdapat 20 ribu orang tewas dan 50 ribu lainnya terluka, menimbulkan simpati masyarakat internasional.

Namun Gaddafi terpaksa harus bersembunyi setelah pasukan pemberontak menyerbu kompleks benteng di Tripoli. Terlibatnya angkatan bersenjata NATO terutama dari Amerika Serikat, Inggris dan Perancis menyulitkan Gaddafi untuk membangun perlawanan. Istri dan ketiga anaknya terpaksa melarikan diri ke Aljazair. Pada 20 Oktober 2011 pun menjadi hari terakhir bagi diktator Gaddafi menghirup udara segar. Pemimpin Libya yang sudah berkuasa lebih dari 42 tahun ini menemui ajalnya di tangan pasukan oposisi Libya.

Kejatuhan Gaddafi memberi kemenangan bagi warga sipil yang merindukan kebebasan. Ini juga mengakhiri misi NATO di Libya. Di penghujung Oktober 2011, NATO secara resmi meninggalkan Libya. Misi ini pun dipuji sebagai misi paling sukses dari NATO untuk melindungi warga Libya, meskipun sesungguhnya mereka turut andil dalam menjatuhkan Gaddafi.

Pemilu Pertama

Tiga hari setelah Gaddafi terbunuh, NTC menyatakan Libya resmi “dibebaskan” dan mengumumkan rencana untuk mengadakan pemilihan umum dalam delapan bulan ke depan. Warga Libya pun mulai berbenah untuk mewujudkan struktur dan lembaga politik baru. Ini kemudian menjadi tantangan besar. Libya harus membangun kembali seluruh administrasi negara, pasukan keamanan dan militer.

7 Juli 2012 menjadi hari bersejarah bagi warga Libya karena untuk pertama kalinya mereka melakukan pesta demokrasi memilih parlemen pertama dalam 50 tahun terakhir. Antrian panjang pemilih bahkan sudah terlihat beberapa jam sebelum pemilu dimulai. Warga Libya juga tak lupa mengibarkan benderanya, kaum perempuan membagikan kue sembari bernyanyi menunggu waktu pemilihan suara dimulai.

Namun, pemilu yang diimpikan warga Libya harus diusik oleh kerusuhan. Di kawasan timur Libya yakni di Benghazi yang menjadi cikal bakal pemberontakan menggulingkan Gaddafi, para pemilih dibayangi tindakan kekerasan. Kelompok pro-otonomi dilaporkan menyerbu tempat pemungutan suara dan membakar ratusan surat suara. Sedangkan di kota Ajdabiya terjadi unjuk rasa yang membakar peti suara di 14 tempat pemungutan suara.

Kelompok tersebut menentang pemilu karena merasa dirugikan atas pembagian kursi di pemerintahan. Selain itu, tiga kilang minyak di wilayah timur Libya juga berhenti beroperasi sebagai bentuk protes terhadap pemilu tersebut. Meski diwarnai protes, pada 8 Agustus Dewan Transisi menyerahkan kekuasaan kepada parlemen yang telah terpilih pada pemilu.

Parlemen tersebut akan memilih perdana menteri dan membentuk badan konstitusi beranggotakan 60 orang yang akan menyusun konstitusi baru Libya. Selain itu, bekas musuh bebuyutan Gaddafi, Mohamed Yousef el-Magariaf dari Partai Front Nasional dipilih sebagai sebagai ketua umum kongres nasional atau ketua parlemen sekaligus menjadi kepala negara sementara.

Dalam proses menuju demokrasi, parlemen Libya memilih Mustafa Abu Shagur yang sebelumnya menjadi wakil perdana menteri Libya menjadi perdana menteri baru pada 12 September 2012. Perdana menteri yang baru ini ditugasi membentuk kabinetnya dalam satu bulan dan diharapkan langkah ini mengubah pemerintahan Libya.

Shagur pun membuat proposal pembentukan kabinet dengan mengajukan 29 menteri dalam kabinetnya. Namun parlemen yang terdiri dari beragam suku di Libya tersebut menolak usulan Shagur dengan alasan bahwa komposisi yang ditawarkan Shagur tidak beragam dalam kabinetnya.

Dalam daftar menteri yang diajukan Shagur itu, ia memasukkan sejumlah tokoh pemerintahan transisi. Namun tokoh-tokoh tersebut tidak terkenal dan dinilai tidak memenuhi unsur perwakilan dari kelompok. Shagur pun kembali mengajukan susunan kabinetnya. Kali ini Shagur mengusulkan 10 menteri. Namun kembali ditolak.

“Dalam menghadapi bahaya yang mengancam negara, saya menyerahkan kepada Anda pemerintahan darurat dengan jumlah 10 menteri, menolak semua pertimbangan geografis,” kata Shagur kepada BBC.

Infografik Libya Pasca Rezim Muamar Gaddafi

Parlemen yang Lemah

Dalam pemilihan menteri, Mustafa Abu Shagur memang tidak mempertimbangkan unsur regionalisme atau kesukuan. Ini lah yang kemudian dirasa tidak proporsional oleh parlemen. Shagur pun dipaksa mengundurkan diri dari kursi perdana menteri dan pada Oktober 2012, parlemen memilih Ali Zeidan dari partai oposisi dan pemimpin dalam perang sipil dipilih menjadi perdana menteri sementara Libya.

Tuntutan mundurnya Shagur dianggap oleh pakar politik dan pakar Afrika Utara di Nottingham University, Imad al Anis, sebagai masalah menyangkut pengertian negara. Bagi rakyat di daerah terpencil di tenggara Libya secara tradisional melihat diri mereka sebagai anggota suku dan bukan sebagai penduduk dalam suatu kesatuan yang berpusat di Tripoli.

Identitas sebagai anggota suku ini menjadikan mereka merasa harus terwakilkan dalam kongres atau perlemen. Padahal di sisi lain, dalam pemilihan kabinet, sudah seharusnya memilih mereka yang mampu mengemban tugasnya, bukan berdasarkan suku.

“Terutama di bagian selatan sangat sulit mencari orang yang mampu mewakili suku dan daerah, dan juga handal pada bidang tertentu. Masalah ini berperan besar di Libya di tahun-tahun sebelumnya,” kata Anis, seperti dikutip Deutsch Welle.

Pemilu parlemen Libya yang menghasilkan parlemen dan pemerintahan yang lemah serta parlemen yang kadang tidak sejalan dengan perdana menteri semakin melemahkan negara tersebut. Pemerintah yang lemah tentu berpengaruh kepada keamanan negara. Libya semakin larut dalam permasalahan rumit setelah gejolak politik dan kekosongan keamanan di negara tersebut dimanfaatkan ISIS untuk melebarkan sayapnya pada 2014.

Perang pun makin memanas. Pasukan pro pemerintah yang dipimpin Khalifa Haftar terus berjuang untuk menggulingkan kelompok-kelompok Islam dan berhasil merebut kembali kawasan bandara serta kamp-kamp militer yang disita kelompok Islam. Namun, kelompok-kelompok Islam tetap mempertahankan kontrol atas pelabuhan dan daerah perumahan Lithi. Bahkan pada 2015, ISIS bahkan berhasil menguasai penuh wilayah Sirte berhasil menyerang dan menguasai ladang minyak Ras Lanuf.

Perang yang terus terjadi membuat PBB mengumumkan agar kantor perwakilan di Tripoli ditutup dan mengevakuasi warga ke tempat yang lebih aman. Bandara internasional Tripoli pun hancur akibat pertempuran.

Kaya Minyak

Situs resmi OPEC mengungkapkan Libya adalah negara yang kaya akan minyak. Libya juga kaya akan gas alam dan gypsum. Ekonominya tergantung pada sektor minyak yang mewakili 95 persen dari ekspor. Selain itu sektor minyak dan gas menyumbang 60 persen PDB negara tersebut. Pendapatan besar pada sektor energi dengan jumlah populasi yang tak lebih dari 7 juta jiwa tersebut membuat Libya menjadi salah satu negara di Afrika dengan pendapatan per kapita tertinggi.

"Ketika kami berdemonstrasi menentang rezim [Gaddafi], kami memimpikan kebebasan dan menikmati kekayaan kami. Namun, kami sekarang dikelilingi oleh penjahat dan gembong perang. Bukannya menikmati kekayaan minyak kami, kemiskinan telah meningkat dan warga tak berdaya," kata seorang pengajar di universitas di Libya, Jalal Fituri, seperti dikutip Antara.

Adam Roberts ahli hubungan internasional di Oxford University, dalam tulisannya di The Guardian mengungkapkan bahwa menyingkirkan rezim otoriter dan pemerintah yang korup saja tidaklah cukup. Hal yang paling penting setelah itu adalah sesungguhnya membangun institusi-institusi yang demokratis dan menjadi hal yang paling sulit setelah menjatuhkan rezim otoriter. Namun membangun institusi yang demokratis tentu menjadi sulit di tengah gelombang konflik yang terus menerpa Libya.

Jatuhnya rezim Gaddafi memang menciptakan skenario terburuk di negara tersebut: wilayah selatan negara menjadi surga teroris karena sisa pengikut Gaddafi berhasil mengonsolidasi diri di wilayah selatan dan membangun kekuatan bersenjata. Selain itu para tetangga seperti Mesir, Aljazair dan Tunisia menutup semua perbatasan dengan Libya. Membuat warga Libya terkepung dalam konflik.

Meski demikian, Mohamed An-Nemi, seorang gerilyawan dari Tripoli tidak kehilangan harapan untuk negerinya. "Kami akan bersabar dan kami memiliki keyakinan pada tujuan kami meskipun kekacauan melanda negeri kami. Kami tetap optimistis mengenai masa depan kami," katanya.

Baca juga artikel terkait LIBYA atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Politik
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani