Menuju konten utama

Jalan Berliku Jadi Kaya Sebagai Juragan SPBU

Jadi pengusaha SPBU sering diasosiasikan dengan keuntungan besar, tapi untuk memulainya bukan perkara mudah.

Jalan Berliku Jadi Kaya Sebagai Juragan SPBU
SPBU Pertamina. FOTO/Wikicommon

tirto.id - "Jualan bensin nggak kenal namanya dagangan nggak laku. Pasti habis terus."

Celotehan netizen di salah satu forum internet ini mewakili anggapan umum bahwa jadi pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) khususnya Pertamina pasti untung, bahkan bisa untung besar bila berada di lokasi strategis.

Benarkah demikian?

Mari kita tengok data-data yang ada. PT Pertamina (Persero) mencatat penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) naik 4 persen dari 31,47 juta kiloliter (KL) menjadi 32,6 juta KL sepanjang Semester I-2017. Tren konsumsi BBM setiap tahun memang selalu mengalami peningkatan seiring bertambahnya produksi dan penjualan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat.

Sehingga sangat wajar menjalankan bisnis ini dianggap menggiurkan, dengan potensi omzet miliaran rupiah. Dalam catatan Himpunan wiraswasta nasional minyak dan gas (DPP Hiswana Migas) setidaknya dalam sehari rata-rata BBM untuk semua jenis yang terjual di setiap SPBU Pertamina mencapai 15-17 ribu liter.

Setiap liter BBM subsidi, margin yang bisa diambil SPBU sebesar Rp280 per liter. Sedangkan untuk BBM nonsubsidi, marginnya sekitar Rp375 hingga Rp420 per liter. Bagi SPBU yang masuk kategori "Pasti Pas" akan mendapat margin lebih besar.

“Tergantung golongan SPBU-nya, prestasi SPBU-nya dan lainnya,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat DPP Hiswana Migas Eri Purnomohadi kepada Tirto.

Mari berhitung, misalnya dari 17 ribu liter yang terjual dalam sehari, sebagian adalah BBM subsidi, selebihnya BBM nonsubsidi. Artinya, sejumlah 8.500 liter dikalikan Rp280 dan 8.500 liter dikalikan Rp375 (margin minimum). Hasilnya mencapai Rp5.567.500, sebagai margin kotor pengusaha SPBU dalam sehari. Bila dikalikan lagi 30 hari operasional maka bisa mencapai Rp167 juta per bulan.

Tentu angka ini belum dipotong dari penyusutan dari penguapan BBM, biaya operasional, biaya tenaga kerja, dan sebagainya. Pendapatan bisa digenjot lebih besar dengan cara menjual lebih banyak BBM nonsubsidi kepada konsumen. Pundi-pundi kekayaan pun bisa diraih lebih banyak lagi.

“Memang pengusaha SPBU itu lebih suka menjual BBM nonsubsidi karena marginnya lebih besar,” ucap Eri.

Namun di balik pendapatan dan keuntungan yang menggiurkan ada aspek yang tak mudah dilewati oleh pengusaha SPBU. Modal besar siap menanti mulai dari lahan hingga sarana dan prasarana SPBU. Sedikitnya calon pengusaha SPBU harus mengeluarkan modal sekitar Rp5-8 miliar untuk membangun sebuah SPBU. Butuh waktu sekitar 6-12 tahun untuk mengembalikan modal investasi.

Infografik Yuk Jadi Juragan Bensin

Jalan Panjang Jadi Juragan SPBU

Ada dua bentuk kerja sama kemitraan yang ditawarkan oleh Pertamina dalam berbisnis SPBU. Pertama, kerja sama dengan Pertamina berupa pemanfaatan lahan milik perusahaan atau individu untuk dibangun SPBU atau biasa disebut dengan istilah CODO (Company Owned Dealer Operated).

Kedua, bentuk kerja sama tanggung jawab lokasi dan investasi dilakukan seluruhnya oleh individu calon mitra Pertamina untuk mengembangkan SPBU. Kerja sama ini biasa disebut DODO (Dealer Owned Dealer Operated).

Cara mendaftar untuk menjadi mitra bisa dilakukan secara online melalui situs resmi milik Pertamina. Dalam tahapan ini pendaftar wajib mengisi data perusahaan, data pribadi dan memilih lokasi pengajuan SPBU. Hingga akhir tahun lalu saja sudah ada 5 ribu lebih SPBU yang dimiliki pengusaha dan Pertamina sendiri (COCO) di seluruh Indonesia.

Untuk lokasi, pendaftar bisa memilih sesuai dengan yang sudah ditentukan Pertamina atau mengajukan lokasi sendiri yang kemudian akan diverifikasi dahulu oleh Pertamina. Sementara itu, untuk dokumen kelengkapan, pendaftar harus memiliki scan KTP, akta pendirian perusahaan, NPWP perusahaan, bukti kepemilikan lahan, rekening koran satu tahun terakhir, rekening tabungan, deposito, dan rekening giro satu tahun terakhir.

“Minimum deposito untuk mendirikan SPBU Pertamina sekitar Rp3 miliar, dan biaya operasional mencakup perizinan lahan pembangunan di Pemda setempat, pembangunan SPBU, dispenser BBM/BBK dan lain-lain,” kata Staff E-mail Contact Pertamina, Kiki kepada Tirto.

Setelah syarat-syarat administrasi tadi terpenuhi, maka selanjutnya akan dilakukan verifikasi awal berupa seleksi kesiapan finansial dan seleksi kesiapan lahan. Hasil verifikasi akan menentukan layak atau tidak data pribadi dan dokumen lahan. Proses seleksi ini akan memakan waktu maksimal hingga dua bulan. Jika lolos, maka akan berlanjut ke proses verifikasi lapangan.

Tujuannya untuk menyesuaikan data yang telah dimasukkan oleh calon mitra dengan fakta yang ada di lapangan. Jika calon mitra ini dinyatakan layak dalam verifikasi lapangan, maka akan mendapatkan persetujuan kelayakan secara bisnis dari pihak Pertamina. Persetujuan inilah yang kemudian digunakan oleh calon mitra untuk mengurus semua bentuk-bentuk perizinan ke Pemerintah daerah setempat.

Setelah pengajuan disetujui, proses konstruksi SPBU pun bisa dimulai. Standar bangunan serta sarana dan prasarana harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur Pertamina. Secara keseluruhan, proses pengajuan ke Pertamina hingga bisa menghasilkan persetujuan memakan waktu hingga enam bulan.

Waktu ini belum termasuk alotnya proses mengurus perizinan ke Pemda setempat. Dalam urusan ini kesabaran pengusaha diuji. Selain banyaknya izin yang harus dibuat, sistem birokrasi yang ada di pemerintahan daerah kerap membuat pengusaha harus banyak mengelus dada.

“Itu variatif dan tergantung daerahnya. Karena banyak yang diurus. Ada yang enam bulan tidak keluar (perizinan), ada yang tiga bulan sudah keluar. Ada juga yang sampai setahun nggak keluar-keluar,” katanya.

Merujuk pada aturan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi DKI Jakarta misalnya, perizinan yang harus diurus ketika hendak memulai bisnis SPBU antara lain Izin Gangguan (UUG/HO), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dokumen lingkungan, Izin Membangun Prasarana (IMP), Izin Peil Lantai Bangunan (PLB).

Juga ada syarat berita acara uji tangki dan jalur pipa dari Dinas Perindustrian dan Energi, surat rekomendasi taknis pelaksanaan pemasangan peralatan dan instalasi dari Dinas Perindustrian dan Energi, Surat keterangan domisi perusahaan (SKDP), dan surat kontrak kesediaan bahan bakar minyak.

“Tidak bisa diprediksi atau dikasih patokan berapa lamanya. Yang diurus banyak, ribetlah. Pengusaha itu ya jangan dipersulit, terus biaya investasi juga kan harusnya lebih murah.”

Namun, bagi mereka yang modalnya pas-pasan dan tak ingin pusing dengan perizinan lebih panjang, bisa melirik SPBU mini legal dengan konsep G-Lite. SPBU ini menjual BBM berjenis Pertalite atau dengan kadar oktan 90. G-Lite mendapat lisensi dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas), antara lain soal kualitas BBM, keamanan, distribusi agen resmi, dan izin lokasi.

Modal yang dikeluarkan sekitar Rp15 juta per lokasi. Bahkan salah satu bank BUMN menyiapkan pembiayaan untuk jenis usaha ini. Memulai mimpi jadi juragan SPBU barangkali bisa dimulai dari yang kecil.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Dano Akbar M Daeng

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dano Akbar M Daeng
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra