Menuju konten utama

Jalan Andika Jadi Panglima TNI Terbuka Setelah Jokowi Berkuasa

Andika Perkasa pada 2013 sibuk bertugas di bagian kehumasan. Sejak Jokowi berkuasa kariernya mulai menanjak naik dan kini telah pasti menjadi Panglima TNI.

Jalan Andika Jadi Panglima TNI Terbuka Setelah Jokowi Berkuasa
Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Andika Perkasa. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Satu hari di tahun 1995, Diah Erwiany Hendropriyono mengajak seorang pria ke rumah ayahnya, Abdullah Mahmud Hendropriyono. Diah memperkenalkan Kapten TNI itu sebagai kekasihnya. Nama pria itu adalah Andika Perkasa. Kelak, 26 tahun kemudian, orang ini dipilih pemerintah dan DPR menjadi Panglima TNI.

Badan Andika dulu kurus. Menurut Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Diaz Hendropriyono yang tidak lain kakak kandung Diah, Andika mulai akrab dengan angkat beban setelah resmi menjadi bagian dari keluarga besar mereka. Setelah keluarga Hendropriyono mulai jarang meneruskan aktivitas tersebut, Andika sudah ketagihan. Itu sudah jadi gaya hidupnya. Sampai menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Darat pada 2018 sekalipun, hobi tersebut terus dia lakukan. Akun resmi Youtube TNI AD bahkan kerap mengunggah video Andika melakukan aktivitas di gimnasium.

Karier militer Andika sebenarnya tak terlalu mencolok. Dalam arti, dia tidak menyandang jabatan yang strategis atau di daerah-daerah konflik. Andika lebih banyak di belakang layar.

Pada 2013, misalnya, Andika diangkat menjadi Kepala Dinas Penerangan TNI AD. Sepanjang sejarah Reformasi, belum ada tentara dari Angkatan Darat yang sebelumnya bekerja menjadi kepala kehumasan bisa menjadi Panglima TNI. Rekam jejak Moeldoko, Djoko Santoso, Gatot Nurmantyo, dan Endriartono Sutarto sebelum menjadi Panglima TNI selalu berada di tengah-tengah pasukan. Semuanya setidaknya pernah memimpin pasukan di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) sebelum akhirnya menjadi Pangkostrad atau Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) atau keduanya dan lanjut menjadi Panglima TNI.

Karir Andika tampak mulai terang sejak 2014. Dia ditarik oleh Jokowi untuk menjadi Komandan Paspampres. Dua tahun kemudian dia mendapat penugasan sebagai Pangdam XII/Tanjungpura dan pada 2018 menjadi Pangkostrad. Belum setahun menjabat, Andika mendapat kursi sebagai orang tertinggi di AD, Kasad, dengan pangkat jenderal.

Hanya dalam setahun, dia mendapat kenaikan dua bintang.

Sejak Jokowi menang Pilpres 2014 Andika memang sudah diprediksi punya masa depan gemilang. Banyak orang memperkirakan Andika akan menjadi Panglima TNI–yang sekarang menjadi kenyataan. Dia memutuskan kecenderungan selama puluhan tahun bahwa Kadispenad atau petugas kehumasan TNI tidak akan bisa mendapatkan posisi Panglima TNI.

Beberapa pihak menilai karier militer Andika ditopang oleh sang mertua yang dekat dengan Jokowi dan bahkan membantunya memenangkan Pilpres 2014. Pada 2014, misalnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan pemilihan Andika sebagai Komandan Paspampres adalah “tindakan transaksional politik.”

Andika dikenalkan kepada Jokowi yang masih menjabat Wali Kota Solo oleh Hendropriyono–yang juga orang dekat Megawati Sukarnoputri–pada 2012.

Andika tahu dugaan-dugaan tersebut dan memilih tak ambil pusing. Saat baru dilantik menjadi Kasad, misalnya, dia mengatakan, “Orang kalau mau ngomong apa saja ya wis monggo. Saya enggak bisa berkomentar dan enggak perlu [berkomentar]. Semuanya beliau [Presiden] yang memutuskan. Saya tidak tahu apa yang ada di dalam penilaian beliau, yang penting dari dulu ya begini-begini saja,” kata Andika.

Tepat?

Andika Perkasa lahir pada 21 Desember 1964. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur bahwa usia maksimal dinas bagi perwira TNI adalah 58 tahun. Karena akhir tahun nanti ini Andika berusia 57, maka ia hanya akan menjabat sebagai Panglima TNI selama satu tahun.

Dia akan menjadi Panglima TNI dengan masa jabatan tersingkat sepanjang Reformasi. Sebelumnya, rekor ini dipegang oleh Marsekal TNI Djoko Suyanto yang menjabat dari Februari 2006 hingga Desember 2007. Sedangkan di masa Orde Baru ada Jenderal (purn) TNI Edi Sudradjat yang hanya menjabat 3 bulan. Tapi dia mundur karena rangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan.

Selain karena masa jabatan yang singkat dengan beragam persoalan yang harus ditangani, Andika juga disorot karena rekam jejaknya dalam kasus hak asasi manusia (HAM). Andika pernah diduga terlibat dalam usaha menutupi kasus pembunuhan Ketua Dewan Presidium Papua Theys Eluay pada 1998. Mengutip Kontras, saat kasus diinvestigasi, Andika sempat mendatangi keluarga Kapten Rionardo–salah seorang tersangka pembunuhan–diduga dalam rangkak menutupi keterlibatan mertuanya.

Andika, sekali lagi, tahu perkara ini dan dia juga tak ambil pusing. “Tak ada alasan bagi saya melarang mereka (para aktivis dan organisasi HAM, ed) menelusuri tuduhan itu,” katanya pada November 2018.

Meski keluarga Theys sudah mengikhlaskan, kasus ini belum pernah benar-benar diselidiki hingga tuntas. Hendardji Supandji, Komandan Puspom TNI Brigjen saat itu, mengatakan tidak akan menanyakan kebenaran laporan dari saksi tersebut.

Dengan kepemimpinan militer berada di tangan Andika, seorang aktivis HAM memandang bahwa agenda menghapus impunitas militer akan semakin jauh panggang dari api.

Soal lain adalah keinginan Jokowi sendiri untuk menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia.

Pemerintah tahu bahwa faktor keamanan di perairan menjadi salah satu kunci untuk bisa mewujudkan impian tersebut. Karenanya pada target anggaran 2021 TNI Angkatan Laut sudah mendapat porsi yang cukup tinggi. Misalnya soal modernisasi dan perawatan alat utama sistem senjata (alutsista). Angkatan Darat mendapat Rp 2.651 miliar untuk pengadaan material dan perawatan helikopter. TNI AU mengupayakan Rp1.193 miliar untuk pengadaan Penangkal Serangan Udara (PSU) dan perawatan pesawat Rp7.004 miliar. Sedangkan TNI AL mendapat Rp3.751 miliar untuk pengadaan kapal patroli dan Rp4.281 miliar untuk pemeliharaan.

Sementara dalam outlook APBN 2020, program dukungan kesiapan matra darat ada di angka Rp3.455 miliar, sedangkan matra laut sebesar Rp3.640 miliar dan udara Rp4.638 miliar. Tahun sebelumnya, matra laut hanya mendapat Rp2.979 miliar dan jadi matra dengan alokasi anggaran dukungan kesiapan paling rendah.

Probo Darono Yakti dalam penelitiannya berjudul TNI Angkatan Laut sebagai World Class Navy pada Strategi Pertahanan Indonesia dalam Mewujudkan Poros Maritim Dunia (2017) menyebut bahwa kendati anggaran pertahanan menempati posisi paling tinggi, “namun Indonesia masih jauh dari indikator pertahanan laut yang memadai.” Salah satu yang jadi masalah besar adalah sulitnya koordinasi. “Selama ini belum ada aturan hukum yang benar-benar menjelaskan perbedaan peran antara tiga (TNI AL, Bakamla, Polair) institusi penegak hukum di perairan Indonesia,” catat Probo.

Hal yang sama dicatat oleh mahasiswa Universitas Pertahanan Yusrah Muhammad Haras. Dia berargumen bahwa dalam mewujudkan poros maritim dunia, tugas dari TNI AL untuk menjaga keamanan sudah jelas sesuai aturan hukum. Namun, pada praktiknya, hal itu tidak terlihat signifikan. Sebabnya ada aturan tentang kewenangan instansi yang berkaitan seperti Bakamla dan Polair yang ditafsirkan berbeda.

Sebab lainnya, seperti dicatat Yusrah dalam “Peran TNI AL Dalam Mendukung Terwujudnya Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia Perspektif Manajemen Pertahanan” (2017), adalah “jumlah kapal yang dimiliki TNI Angkatan Laut untuk melaksanakan pengawasan di laut tidak sebanding dengan wilayah perairan.”

Selain tantangan internal karena masalah armada dan koordinasi, Indonesia juga masih punya kendala untuk mewujudkan negara perairan berdaulat karena sengketa di Laut China Selatan.

Infografik Andika Perkasa

Infografik Andika Perkasa. tirto.id/Sabit

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengatakan semestinya yang menjabat Panglima TNI adalah dari matra Angkatan Laut. Selain itu, karena memang umumnya ada kecenderungan Panglima TNI diisi secara bergantian dari masing-masing matra. Angkatan Laut dianggap sudah waktunya memimpin karena dua Panglima TNI sebelumnya berasal dari darat (Gatot Nurmantyo) dan udara (Hadi Tjahjanto).

Karena itu pula selain Andika, Laksamana Yudo Margono digadang-gadang akan menjabat sebagai Panglima TNI yang baru.

Namun Muradi, pengamat militer dari Universitas Padjajaran, pernah mengatakan bahwa pengangkatan perwira tinggi biasanya memang dilandasi masalah loyalitas dan kenyamanan dengan presiden. Hal ini ia katakan ketika Andika diangkat sebagai Kasad. “konteks pengangkatan Pak Andika ada di arah sana,” katanya.

Pernyataan tersebut tampaknya masih relevan. Laksamana TNI Yudo Margono pun harus menerima realitas pentingnya koneksi dalam kenaikan jabatan.

Baca juga artikel terkait PANGLIMA TNI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino