Menuju konten utama
Obituari

Jalaluddin Rakhmat, Ia yang Berkhidmat untuk Ilmu dan Umat

Jalaluddin Rakhmat bukan intelektual yang cuma berkutat di dunia pemikiran. Ia membangun sekolah dan sibuk mengurus umat.

Jalaluddin Rakhmat, Ia yang Berkhidmat untuk Ilmu dan Umat
Prof. Dr. Jalaludin Rakhmat. ANTARA/Agus Bebeng/Koz/pd/pri

tirto.id - Senin sore, 15 Februari 2021, pesan singkat yang mengejutkan datang dari seorang teman. Ia mengabarkan Jalaluddin Rakhmat telah pergi. Kang Jalal, begitu sapaan akrabnya, adalah salah seorang cendekiawan yang banyak memengaruhi pemikiran Islam Indonesia era 1980-an hingga 1990-an. Laman media sosial segera dibanjiri ucapan bela sungkawa oleh berbagai kalangan: dari aktivis sampai akademisi, dari politikus hingga selebritas. Mereka seperti terikat oleh memori bersama ketika bersinggungan dengan karya-karya kang Jalal yang memberikan warna keislaman berbeda.

Dengan masih diselimuti rasa duka mendalam, saya mencoba membongkar serpihan memori tahun 1996-1998 ketika masih berstatus sebagai pelajar di SMU plus Muthahhari, sekolah unggulan yang dirintis Kang Jalal pada 1992. Saya adalah siswi angkatan awal-awal ketika Pak Jalal, begitu kami memanggilnya, masih menjadi kepala sekolah.

Suasana pendidikan yang terbuka dan dinamis membuat kami merasa lebih dewasa dari usia kebanyakan remaja. Kang Jalal sering mengundang tokoh-tokoh lintas mazhab dan agama untuk berdiskusi dengan para siswa hingga atmosfer kebebasan berpendapat sudah terbiasa kami sesap.

Setiap hari, di perpustakaan yang terletak di samping gedung sekolah, kami menyaksikan proses ilmu lahir dan bertumbuh. Sering kali terlihat di salah satu meja perpustakaan tumpukan buku dengan tulisan: “Mohon tidak memindahkan buku-buku ini”. Bu Yani, penjaga perpustakaan, akan rajin mengingatkan kami bahwa buku-buku itu sedang dibaca Kang Jalal untuk sebuah proyek buku atau artikel. Tidak jarang juga kami memergoki Pak Jalal sedang tenggelam dalam tumpukan buku, di antara para pelajar yang berseragam putih abu-abu.

Buku memang menjadi benda paling berharga bagi Kang Jalal. Usmif, putra pertamanya, pernah bertutur, “Bagi Bapak, surga adalah tempat yang dipenuhi banyak buku untuk dibaca.” Dalam sebuah kesempatan, Kang Jalal juga bercerita di hadapan siswa-siswinya bagaimana ia berburu buku-buku terbaru yang ada di berbagai belahan dunia. Ada yang dibelinya langsung melalui toko online, padahal saat itu layanan internet belum secanggih hari ini. Ada juga yang dititip melalui para pelajar yang sedang menimba ilmu di berbagai negara. Penguasaannya terhadap beberapa bahasa asing selain Inggris dan Arab seperti Jerman, Belanda, Perancis, dan Persia membuatnya selangkah lebih maju dalam mengakses berbagai literatur dalam bahasa asli.

Kekayaan literatur ini membuat tulisan-tulisan kang Jalal tidak hanya segar dan baru, tapi juga dalam dan tajam. Meski demikian, kepiawaiannya dalam ilmu komunikasi membuat tulisan-tulisan itu tetap renyah dikunyah dan dinikmati. Setidaknya, dua buku yang ditulisnya sekembali dari Amerika Serikat pada 1981, Islam Alternatif (1986) dan Islam Aktual (1991), pernah digandrungi dan menjadi semacam bacaan wajib para aktivis muslim di berbagai kampus.

Ketertarikan Kang Jalal pada ranah tasawuf bermula ketika mengikuti sebuah konferensi di Kolombia pada 1984 bersama Haidar Bagir dan Endang Saefuddin. Dalam konferensi tersebut, ia bertemu dengan banyak pemikir asal Iran. Perjumpaan inilah yang akhirnya menerbangkannya ke negeri Persia, tempat kelahiran banyak sufi besar semisal Imam Ghazali, Rumi, Athar Nishaburi, Bayazid Bastami, Saadi, dan Hafez.

Sekembali dari Iran, corak pemikiran kang Jalal menjadi lebih sufistik. Pada fase ini, lahir banyak buku tasawuf seperti Reformasi Sufistik (1998), Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (2000), The Road to Allah (2007), Jalan Rahmat: Mengetuk pintu Tuhan (2011), dan sebagainya.

Tasawuf yang dikembangkan Kang Jalal tidak ke arah tarekat, tapi lebih kepada tasawuf modern yang mengambil gagasan para tokoh sufi untuk membentuk tatanan masyarakat madani. Dalam hal ini, jalan sufistik dipilih sebagai metode menggali ruang-ruang pertemuan antarmazhab dan agama hingga lahirlah ide-ide pluralisme dan etika sosial. Dalam fase ini, karya-karya sufistik kang Jalal tak hanya bercorak ketuhanan, lahir juga buku-buku bertema humanis seperti Dahulukan Akhlak di atas Fiqih (2002), Psikologi Agama (2003), juga Islam dan Pluralisme (2006).

Jalan Panjang Pengkhidmatan

Sebagai seorang cendekiawan, dedikasi Kang Jalal dalam dunia keilmuan memang menonjol. Namun tak banyak yang mengetahui kiprahnya dalam memperjuangkan mustadh'afin (kaum terpinggirkan). “Kita dapat menemukan Tuhan dalam pengkhidmatan kepada sesama,” begitu pesan yang kerap diulang-ulang kepada murid-muridnya di SMU plus Muthahhari atau disampaikan dalam pengajian Minggu pagi di masjid dekat rumahnya, Almunawarah. Bukan sekadar retorika, visi itu selalu ia pegang sejak awal membangun Yayasan Muthahhari.

Sekitar 1994, kang Jalal menginisiasi sebuah program bernama ‘spiritual camp’ untuk anak didiknya. Para siswa, yang sebagian besar berasal dari latar belakang keluarga menengah atas, dibawa ke suatu daerah terpencil selama seminggu untuk mengasah empati dan spiritualitas.

Pada malam hari, di tengah berbagai kesibukan, Kang Jalal menyempatkan datang dan menemani para siswa berdiskusi tentang isu kebangsaan hingga kemanusiaan. Siang harinya, secara berkelompok, kami ditempatkan di rumah-rumah penduduk yang kurang mampu untuk menghayati sekaligus membantu berbagai keperluan mereka. Salah satu dampak positif program ini adalah banyak siswa yang mendaftar sebagai relawan untuk memberikan bimbel gratis kepada anak-anak tidak mampu di sekitar sekolah.

Infografik Jalaluddin Rakhmat

Infografik Jalaluddin Rakhmat 29 Agustus 1947 - 15 Februari 2021. tirto.id/Fuad

Komitmen untuk memperjuangkan kaum mustadh'afin terus menjadi cita-cita Kang Jalal, terutama kesetaraan pendidikan yang menjadi kunci perubahan masyarakat dan bangsa. Ia selalu berusaha untuk menyelamatkan siswa-siswi yang secara ekonomi tidak mampu membayar administrasi sekolah, namun memiliki minat dan semangat belajar yang sungguh-sungguh. Di sisi lain, kang Jalal tetap ingin menjaga kualitas pendidikan dengan konsep fun learning yang menelan biaya operasional cukup besar.

Sekitar 1997, kang Jalal berhasil meyakinkan sebuah komunitas pengajian kelas menengah untuk menanggung biaya administrasi siswa-siswi tersebut. Sehingga para murid dari berbagai latar belakang ekonomi tetap mendapat kualitas pendidikan yang setara.

Tidak puas sampai di situ, di tahun yang sama kang Jalal mendirikan SMP Muthahhari dan As-Sajjadiyyah di Cicalengka, Bandung yang dikhususkan bagi siswa dan keluarga yang tidak mampu. Dalam salah satu pernyataanya yang dimuat di laman resmi Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI), Kang Jalal membeberkan mimpinya tentang kesetaraan pendidikan: “Obsesi saya yang lain, melihat SMP Mutahhari berdiri di seluruh pelosok tanah air sehingga anak-anak miskin tidak terputus aksesnya dari pendidikan. Mereka tidak bayar apapun, namun semua fasilitas disediakan dan tetap memperoleh pendidikan yang bermutu.”

Masih banyak lagi aktivitas Kang Jalal untuk berkontribusi kepada masyarakat dan bangsa melalui pendidikan. Misalnya, ia banyak membantu para pelajar yang akan meneruskan pendidikan ke Timur Tengah maupun Eropa. Dari mulai menanggung biaya tiket sampai memberikan uang saku. Tak jarang, itu ia lakukan dengan merogoh kantong sendiri.

Kini Kang Jalal telah pergi dengan meninggalkan cita-cita panjang pengkhidmatan kepada kelompok mustadh'afin. Dalam malam gerimis, jasadnya dikebumikan di kompleks SMP Muthahhari Cicalengka. Seperti pesannya yang sering ia sampaikan di berbagai kesempatan: “Saya ingin dimakamkan di sebuah tempat, di mana terdengar riuh suara-suara orang yang sedang belajar.”

Saya kemudian teringat sebuah kalimat yang ditulis Kang Jalal di buku The Road to Allah (hlm. 268): “Banyak jalan untuk mendekati Tuhan, sebanyak bilangan napas para pencari Tuhan. Tapi jalan yang paling dekat kepada Allah adalah membahagiakan orang lain di sekitarmu. Engkau berkhidmat kepada mereka.”

Selamat jalan, Kang Jalal. Tugasmu telah purna. Semoga jejak-jejak kebaikanmu terus menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.

==========

Afifah Ahmad adalah traveller dan penulis lepas yang meminati kajian seni-budaya. Menulis buku The Road to Persia (2016).

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Afifah Ahmad

tirto.id - Humaniora
Penulis: Afifah Ahmad
Editor: Ivan Aulia Ahsan