Menuju konten utama

Jakob Oetama dan Bagaimana Kisahnya Mendirikan Kompas?

Jakob Oetama meninggal dunia, Rabu, 9 September 2020. Ia dikenal karena mendirikan Kompas Gramedia.

Jakob Oetama dan Bagaimana Kisahnya Mendirikan Kompas?
Jakob Oetama. Dok. Kompas Gramedia/Rilis

tirto.id - Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia meninggal dunia hari ini, Rabu, 9 September 2020 di Jakarta. Ia meninggal tepat di usia 88 tahun. Kabar itu disampaikan oleh Direktur Komunikasi Kompas Gramedia, Rusdi Amral.

“Jakob Oetama adalah legenda, jurnalis sejati yang tidak hanya meninggalkan nama baik, tetapi juga kebanggaan serta nilai-nilai kehidupan bagi Kompas Gramedia,” kata Rusdi Amral lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto, (9/9/2020).

Semasa hidup, Jakob pernah menerima penghargaan Bintang Mahaputera pada 1973. Selain itu, ia juga mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 2003.

Jakob Oetama merupakan lulusan Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan. Sambil mengajar SMP, ia pernah mengikuti Kursus B-1 Ilmu Sejarah hingga lulus.

Dari sana, ia melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Jurusan Ilmu Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada sampai tahun 1961.

Jakob dikenal sebagai tokoh pers yang memulai karier jurnalistiknya dengan menjadi redaktur Mingguan Penabur pada tahun 1956. Kemudian, bersama Petrus Kanisius (P.K) Ojong, Jakob mulai mendirikan majalah Intisari di tahun 1963.

Setelah berkembang dari sisi bisnis, barulah Jakob dan Ojong mendirikan Harian Kompas yang dikelolanya hingga kini.

Sejarah Kompas

Pada April 1965, Letjen Ahmad Yani yang kala itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat menelepon Menteri Perkebunan Frans Seda untuk menyarankan agar Partai Katolik memiliki sebuah koran.

Alasannya, menurut Ahmad Yani, karena hampir semua partai politik memiliki media, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memiliki Bintang Timur dan Warta Bakti, demikian sebagaima tertulis dalam Syukur Tiada Akhir (hlm 107) yang disusun St. Sularto.

Awalnya, langkah untuk merealisasikan ide itu terasa berat, sampai pada akhirnya Frans Seda bertemu dengan Ignatius Joseph Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik, P.K. Ojong dan Jakob Oetama.

Kala itu, P.K. Ojong pernah punya pengalaman menjadi Pemimpin Redaksi Star Weekly dan Keng Po yang sudah berhenti beroperasi. Sementara Jakob Oetama adalah mantan redaktur Penabur. Lagi pula, Jakob dan Ojong pun sudah punya pengalaman mengelola majalah Intisari selama dua tahun.

Singkat kata, Ojong dan Jakob sepakat untuk mendirikan koran baru, tetapi bukan jadi corong partai, karena mereka ingin mengakomodasi semua golongan karena berdasar pada kemajemukan Indonesia.

Maka, dibentuklah Yayasan Bentara Rakyat sebagai penerbitnya karena koran baru yang direncanakan itu bernama Bentara Rakyat. Nama itu tercetus saat Jakob berbicara dengan Seda yang artinya "pembantu raja yang bertugas menyampaikan perintah raja."

Selain itu, Jakob bilang, nama itu juga dipilih karena terinspirasi dengan majalah Bentara yang terbit di Flores. Sebab, ia kagum dengan Kanis Pari, seorang aktivis Partai Katolik yang sering menulis artikel politik di Penabur. Sementara menurut Seda, nama Penabur dipilih untuk memenuhi selera orang Flores karena majalah itu terkenal di sana.

Kendati demikian, ada syarat terakhir yang harus mereka lewati agar koran itu bisa terbit, yakni bukti pelanggan sekurang-kurangnya 3.000 orang. Namun, atas bantuan Frans Seda, akhirnya mereka mendapat 3.000 tanda tangan.

Suatu kali, kabar soal mereka ingin mendirikan koran ini didengar oleh Presiden Sukarno. Setelah bertemu dengan Frans Seda, Bung Karno pun bertanya: "Frans saya dengar jij [red: kamu] mau menerbitkan koran. Apa nama korannya?"

"Bentara Rakyat, Bung!" jawab Seda sebagaimana tertulis dalam buku Syukur Tiada Akhir (hlm 114).

"Aku memberi nama yang lebih bagus, Kompas! Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba," pungkas Sukarno.

Saran Bung Karno itu disampaikan Frans Seda ke redaksi dan yayasan dan mereka setuju untuk mengubah nama Bentara Rakyat menjadi Kompas.

Hingga lebih dari setengah abad kemudian Kompas Gramedia berkembang menjadi bisnis multi-industri, yang memiliki unit usaha mulai dari media, retail dan publishing, perhotelan, manufaktur, properti, pendidikan, event, hingga merambah ke ranah digital.

Baca juga artikel terkait JAKOB OETAMA MENINGGAL atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH