Menuju konten utama

Jakarta dan Mimpi Kota Masa Depan

Banyak yang bermimpi Jakarta menjadi kota metropolitan yang ideal bagi penghuninya. Pembenahan mulai dilakukan dengan merevisi Rancangan Tata Ruang Wilayah 2030 yang mengatur beberapa wilayah agar tata ruangnya sesuai peruntukan.

Jakarta dan Mimpi Kota Masa Depan
Sejumlah kendaraan melintasi banjir di Jalan Agus Salim, kawasan Menteng,Jakarta Pusat, Selasa (30/8). Hujan lebat yang mengguyur Jakarta, membuat sejumlah jalan tergenang, akibat buruknya sistem drainase di kawasan tersebut. ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww/16.

tirto.id - Gedung-gedung bertingkat area perkantoran seolah mencium langit. Di sisi kanan dan kirinya, berjejer perumahan rakyat lengkap dengan Ruang Terbuka Hijau serta fasilitas umum yang mudah ditemui. Perumahan dan kawasan perkantoran tertata dengan rapi dengan jalan yang membentang dikelilingi pepohonan hijau nan rindang. Gambaran tentang Jakarta yang nyaman, seolah mengajak para penghuninya melupakan kepenatan ibukota.

Visualisasi kota Jakarta di masa depan itu bisa dilihat di Jakarta City Planning Gallery di Dinas Penataan Kota Provinsi DKI Jakarta. Maket itu membawa setiap orang merasakan wujud kota Jakarta di masa yang akan datang. Namun, semuanya masih dalam rencana yang tertuang dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030 yang diteken Gubernur Fauzi Bowo pada Januari 2010. RTRW 2030 dan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ) itu kini dalam proses revisi.

Sejatinya, mimpi Jakarta menjadi kota layak bagi para penghuninya telah dilakukan sejak era Gubernur Fauzi Bowo, Gubernur Joko Widodo, hingga Basuki Tjahaja Purnama. Berkali-kali kebijakan Ahok, sapaan akrab Basuki Tjahaja Purnama, kerap membuat kontroversi. Di sisi lain, ada yang menilai kebijakan untuk merapihkan kota Jakarta dinilai bagus, tetapi banyak juga kemudian mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan Ahok.

Ahok sendiri sebetulnya sudah melakukan pembenahan untuk membuat Jakarta menjadi layak huni bagi warganya. Warga yang tinggal di kawasan kumuh pun direlokasi ke rumah susun. Termasuk juga upaya mengembalikan Ruang Terbuka Hijau yang kini justru banyak berubah fungsi peruntukan lahan. Namun, upaya itu tidak serta merta dilakukan dalam waktu singkat. Butuh waktu untuk melakukan perubahan tersebut.

Momentum banjir Kemang sebetulnya bisa dijadikan Ahok untuk membenahi tata ruang yang carut marut. Dia pun berjanji bakal mengkaji perizinan bangunan di wilayah tersebut, termasuk berencana menjadikan daerah itu waduk. Rencana telah muncul ketika mendampingi Jokowi. "Kita sudah mau beli, sudah dua tahun atau tiga tahun yang lalu," ujar Ahok, di Balai Kota Jakarta, Senin lalu.

Kebayoran Baru Jadi Model

Jika momentum banjir kawasan Kemang benar-benar dimanfaatkan Ahok untuk membenahi carut marutnya tata ruang, bukan mustahil jika target penambahan Ruang Terbuka Hijau yang kini hanya tersisa sekitar 9 persen bisa tercapai. Jika hal itu bisa diatasi, mimpi Jakarta menjadi kota impian layak huni pun bisa jadi tercapai sesuai dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah 2030 yang saat ini sedang direvisi. Kesuksesannya pun bisa dijadikan percontohan pengembangan wilayah lain di Indonesia.

Melongok ke belakang, jauh sebelum Rencana Induk Djakarta 1965 dibuat, sebetulnya penataan kota Jakarta sudah dimulai sejak perang dunia dua berakhir. Pauline KM Rosmalen dalam “Sejarah Penataan Ruang di Indonesia” menuliskan, bahwa pada 1948 dan 1962, Jakarta menjadi penentu dan tempat menguji perkembangan baru, termasuk juga tata ruang kota.

Pada 1948, rencana membangun kota baru setelah kemerdekaan, diwujudkan dengan membangun kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pembangunan bertujuan menghentikan laju penduduk Batavia dan kurangnya perumahan. Maka sejak saat itu, ketika batal memindahkan ibukota ke daerah Depok, maka daerah Kebayoran Baru dipilih untuk dibangun perumahan sebagai kota baru. Penentuannya pun merujuk pada nol kilometer Jakarta yaitu Monumen Nasional dan dekat dengan pusat pemerintahan kala itu.

Selain daerah Kebayoran Baru, Rosmalen juga menulis daerah Pulo Mas di Jakarta Timur yang merupakan contoh model tata kota dan perumahan bagi golongan pendapatan rendah. Pembangunannya pun merupakan pionir proyek perumahan biaya rendah yang prestisius di wilayah Jakarta. Pembangunanya juga menjadi contoh pembangunan nasional untuk menunjukkan keuntungan dari solusi terencana masalah perhunian massal golongan pendapatan rendah dan penghunian lahan.

“Rencana ini dimaksudkan untuk menjadi model proyek perumahan bagi kelompok berpendapatan rendah dan dimaksudkan untuk diterapkan di bagian-bagian lain di Jakarta dan di kota-kota lainnya di Indonesia,” tulis Rosmalin.

Namun, sejak dikeluarkannya Rancangan Induk Djakarta 1965, pembagian tata ruang itu kemudian menjadi masalah bagi ibukota. Puncaknya dimulai setelah keluarnya Rancangan Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2005, pembangunan masif ke arah Timur dan Barat menjadi sumber masalah. Kemudian berlanjut dengan keluarnya Master Plan Jakarta dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW 2010), wilayah pengembangan utara yang tadinya dibatasi pun menjadi salah satu daerah yang gencar dibangun. Ujungnya, ruang terbuka hijau dari pengaturan tata ruang itupun kini menjadi masalah.

Menurut pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, pelanggaran tata ruang sejatinya sudah terjadi sejak tahun 1985 hingga kini. Akibat kesalahan peruntukan tata ruang yang terus diulang, kini mendatangkan bencana lingkungan bagi para penghuninya. Contohnya banjir dan kemacetan yang menjadi momok bagi kota Jakarta.

“80 persen tata ruang sudah bermasalah, penyalahan tata ruang itu pun terjadi sejak tahun 1985,” ujar Nirwono.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Mild report
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho