Menuju konten utama
Ismail Basbeth:

"JAFF Ada untuk Memperkenalkan Film Asia di Indonesia"

JAFF diharapkan bisa memberikan perspektif baru, dan ia membela pengetahuan.

Ilustrasi Ismail Basbeth. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tahun ini merupakan ke-12 kalinya Jogja-Netpac Asian Film Festival diadakan. Semangat awal pendiriannya untuk memperkenalkan film-film Asia di Indonesia, dengan harapan orang semakin menyadari bahwa perbedaan itu nyata. JAFF juga menjadi tempat bagi komunitas film untuk bertemu dengan film maker profesional.

Bicara JAFF, maka tak lepas dari nama-nama seperti Garin Nugroho, Budi Irawanto, Philip Cheah, dan Ismail Basbeth yang mendirikan JAFF pada 2006 lalu. Pada 2 November 2017 lalu, Ismail Basbeth selaku Direktur Program JAFF tahun ini berbagi cerita pada Tirto.id. Ismail bukan orang baru dalam dunia perfilman Indonesia. Ia adalah seorang sineas autodidak yang pernah belajar di Berlinale Talent Campus di Jerman dan Asian Film Academy di Korea Selatan. Sederet film pernah disutradrainya, seperti Another Trip to the Moon (2015), Mencari Hilal (2015), dan Talak Tiga (2016).

Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran (2017) adalah film panjang keempatnya yang ikut diputar dalam perhelatan JAFF tahun ini. Kali ini, ia berkisah soal semangat pendirian JAFF dan bagaimana posisinya di antara festival film lain di Indonesia saat ini. Berikut wawancara Dipna Videlia dari Tirto dengan Ismail Basbeth.

Bagaimana posisi JAFF dalam festival film di Indonesia?

Kalau bicara posisi JAFF, saya harus bicara JAFF dari awal pendirian. Saya ada di JAFF sejak tahun pertama didirikan, waktu itu saya volunteer program. Mas Garin ingin bikin festival film bersama Philip Cheah, dari NETPAC. Dia pengin bikin di Jogja.

Kemudian, waktu itu Mas Budi, Mas Garin dan Philip bertemu dengan komunitas film se-Jogja diajak semua, piye caranya harus mengirim perwakilan untuk jadi panitia. Yang bertahan sampai saat ini masih ada. Sejak awal lahir, posisi JAFF itu memang posisinya festival film komunitas.

Sponsor kami banyak, artinya kami enggak punya duit. Kalau festival besar kan sponsornya sedikit, karena duitnya banyak. Ada banyak sekali yang mendukung kita sampai sekarang. Kami justru berbahagia atas itu, kami menikmati itu, itu yang membuat kami tumbuh menjadi festival film independen yang terbuka dan cukup hangat untuk bekerja sama dan merayakan film bareng siapa pun.

Yang menarik, banyak sekali anak komunitas yang bikin film, kemudian banyak yang jadi sutradara dan kemudian punya cukup pengaruh di Asia maupun di internasional. Ini yang membuat festival kami didengar dan diperhitungkan oleh para pembuat film. Festivalnya kecil, paling banter film yang diputar itu di angka 120-an. Kami pertama tumbuh dari komunitas, kedua dari film maker.

Ketiga, ada juga akademisi. Di festival JAFF ada juga public lecture. Baru pertama kali ini kami kerja sama dengan Pusat Studi Sosial Science UGM. Banyak anak muda juga yang daftar, itu poin keempat. Jadi JAFF elemen itu empat ini, komunitas film dalam arti luas, film maker, akademisi, dan anak-anak muda. Keempat ini lah elemen paling kuat, JAFF itu mereka.

Kalau ngomongin poin Asia, apakah di Asia ini kami jadi penting, kami enggak berpikir seperti itu. Justru kami mempromosikan film-film Asia di Indonesia. Tanpa kami sengaja, baru tahun ini dilakukan sebaliknya, makanya tahun ini ada Jogja Future Project.

Karena lahir dari komunitas itu ya makanya di JAFF ini ada screening film dari komunitas?

JAFF itu tahu diri: dia lahir dari komunitas. Jadi sampai sebesar apa pun, JAFF itu akan selalu memberikan program untuk komunitas, jangan sampai JAFF memanfaatkan komunitas, tapi dimanfaatkan komunitas.

Supaya teman-teman berkumpul setahun sekali itu ya karena dapat sesuatu betul di JAFF. Di mana lagi tempat di Indonesia, kamu bisa ngobrol dan ngopi santai dengan Garin Nugroho, Nicholas Saputra, Reza Rahadian, kalau bukan di JAFF? Dan ga bayar.

Film seperti apa yang bisa berkompetisi atau diputar di JAFF?

JAFF kan punya program banyak, Asian Future itu untuk film-film panjang Asia, angle-nya ada dua, awarding ada dua, mulai tahun ini, Asian Future yang memperebutkan Golden dan Silver Hanoman, versi juri JAFF.

Lalu ada film pendek dalam program Light of Asia, ada award-nya juga di situ. Ini kita ngomongin Asia, jadi film Indonesia yang masuk situ adalah yang bisa berkompetisi dengan film-film Asia.

Mulai tahun ini kami ada program Asian Perspective, kami memutar film-film Asia yang lain, film-film yang nonkompetisi untuk sutradara baru kah, untuk karya maestro kah, atau sutradara up and coming yang mungkin sudah tidak membutuhkan kompetisi, tapi punya nilai tawar yang lain.

Misalnya film Sound of Silence karya Bijukumar. Dia itu sudah sutradara besar, dia menang award di India sudah 3 kali, jadi kami memutar film itu di sini karena dia maestro.

Kadang ada film yang enggak cocok dimasukin di Asian Future tapi beda. Atau karyanya terlalu unik sehingga resonansi ke audiensnya enggak kuat, tapi film ini tetap penting, kami ambil itu.

Misalnya kaya karya Ing K (Bangkok Joyride Part 2 “Shutdown Bangkok”), dokumentasi protes di Bangkok yang dianggap tidak ada oleh pemerintah Thailand sekarang. Peristiwa ini penting untuk dikabarkan ke semua orang, tapi film ini dihilangkan oleh pemerintah Thailand. Itu kan menarik, jadi kami putar di JAFF.

Enggak bisa kami enggak, kami akan membela film maker, sutradara, atau film yang memang memiliki sikap yang unik, yang khas, dan penting untuk kita tonton, karena di mana lagi mau kita tonton itu.

Berapa negara yang ikut dalam JAFF tahun ini?

Ada 24 negara, 114 film. Setiap tahun nambah, meskipun 2 atau 3, artinya kan lama-lama orang percaya.

Festival ini kan festival internasional, tapi diadakan di daerah, kenapa?

Dahulu sih sebenarnya kami melihat supaya film enggak hanya di Jakarta. Idealnya tiap teritori kan punya festival sendiri. Misalnya Seoul punya festival sendiri, Busan punya sendiri, Cannes, kan itu semua nama kota. Berlin kan nama kota, festival itu memang berdirinya di kota bukan di negara.

Negara-negara maju tiap kota punya festival film dan itu sama pentingnya, sama uniknya. Nah waktu itu FFD (Festival Film Dokumenter) diadakan tahun 2001, paling tua itu FFD. Di Asia Tenggara itu salah satu festival film dokumenter pertama. Kalau JAFF itu teritori mainnya. Fokusnya sendiri-sendiri dan enggak ada masalah.

Busan itu hanya salah satu dari tujuh festival yang ada di sana, dan semuanya dibiayai pemerintah. Kita itu kalau ngomongin kultur film ketinggalan sekali. Penonton film kita itu 4 juta, kalau 7 juta udah happy-nya setengah modar, padahal penduduk Indonesia 250 juta. Di Korea penduduknya 50 juta, penontonnya tiap tahun rata-rata 15 juta, itu orang dari mana. Jadi wajar karena dirangsang karena apresiasinya dengan ada festival film.

Kami percaya masyarakat film adalah masyarakat yang majemuk. Kami enggak mungkin memperlombakan atau mengkompetisikan satu jenis film. Itu enggak mungkin. Karena ide dilahirkannya JAFF itu lahir dari pengakuan yang jelas terhadap Asia yang majemuk, Jogja yang majemuk, Indonesia yang majemuk.

Kalau kita ngomongin film Asia, hanya empat yang menonjol: Korea, Jepang, India, dan Iran. Padahal negara Asia banyak sekali dan pertumbuhan filmnya sendiri. Dan enggak bisa kamu mengukur bagusnya film Kazakhstan dengan bagusnya film Jepang, enggak bisa. Bagus di Jepang belum tentu bagus di Kazakhstan. Itu kenapa itu festival kami, kami punya kurator Philip Cheah, dia yang memetakan. Karena kalau kami enggak punya kurator, enggak mungkin kami bisa memulai festival ini.

Karena kami enggak punya duit juga sih.

Tahun ini program Focus on memilih Sutradara Joko Anwar, kenapa?

Program Focus on itu tadinya ke negara. Kemarin kami mengalami beberapa kendala, terus kemudian kami mengembangkan ide, ya sudah sutradara saja, sutradara yang menarik, kami mulai dari Indonesia. Kami memilih sutradara yang punya estetika khas, sikapnya jelas, atau ada transisi yang unik. Sebelumnya Djenar Maesa Ayu, sebelumnya lagi Teddy Soeriaatmadja.

Joko Anwar itu kami tetapkan sebelum ada Pengabdi Setan, jadi Pengabdi Setan ini jadi bonus buat kami. Itu tahun lalu kami memutuskannya. Alhamdulilah Pengabdi Setan booming, jadi pas kan, semesta ikut mendukung.

Joko Anwar itu sutradara komersil, tapi sikap estetikanya jelas, filmnya aneh, angle-nya dia selalu unik, lalu ada irisan-irisan yang berulang, tentang keluarga yang tidak lengkap, homoseksual. Kan enggak banyak film yang komersil tapi sikap sutradaranya jelas.

Kenapa Djenar dan Teddy yang dipilih awalnya?

Kami mulai dari pertemanan dahulu, dari yang kenal dahulu. Lalu kalau Teddy itu dia salah satu sutradara yang menarik karena transisinya. Teddy dikenal sebagai sutradara A, tiba-tiba dia menghilang, lalu dia dikenal sebagai sutradara B, sudah jadi beda banget dia.

Kedua, Djenar itu kan perjuangannya untuk hak-hak perempuan kan juga luar biasa. Ketika ngomongin Asia, Indonesia secara umum, tokoh-tokoh seperti Djenar ini kan perlu didengar. Orang Jakarta mungkin sudah tahu kalau film maker itu harus jelas posisi politiknya di mana, tidak hanya film sebagai estetika, tapi juga dia meletakkan dirinya di film itu. Tapi kan enggak hanya di Jakarta, orang dengan akses film yang terbatas kan juga perlu tahu itu.

Ada rencana untuk menambah program untuk film anak di JAFF?

Di JAFF belum ada, sudah bolak balik ngobrol tapi aksesnya belum ada. Kami juga enggak sepenuhnya ahli di bidangnya. Jaringan belum ada, karena memilih film anak itu enggak mudah. Film anak seperti apa, animasi kah, action kah, dan belum ada yang fokus ke anak. Itu ceruk yang lain, jadi sulit untuk digabungin. Kami sudah mikir ke situ, tapi enggak gampang, ra ndue duit barang e mbak.

Kalau cuma ide mah banyak, tapi mengeksekusinya itu kan faktornya banyak.

Apakah JAFF ada kerja sama dengan pemerintah?

Kami kerja sama intim dengan pemerintah baru tiga tahun ini. Tahun ini kami kerja sama dengan Bekraf. Tapi pemerintah kan ya pemerintah to, mereka punya logic-nya sendiri. Tapi kami tanya, kamu pemerintah pengin apa. Pemilik dana yang terlibat dengan kami itu justru kami tanya, kamu pengennya apa, kepentingannya apa.

Kalau Bekraf kepengennya apa?

Bekraf kan Badan Ekonomi Kreatif jadi harus ada hubungannya dengan ekonomi. Gimana ya? Kita tu pengen lho bikin film market atau Jogja Future Projet yang mempertemukan pembuat film baru dengan profesionalnya. Yang film market-nya belum jadi tapi Jogja Future Project tahun ini kami mulai.

Kalau kami ide banyak, tapi kamu sebagai pemilik dana pengennya apa. Dan Insyaalah ketemu programnya dan berguna untuk banyak orang.

Jogja Future Project itu programnya seperti apa?

Kami mengumpulkan sepuluh pembuat film yang masih dalam beberapa tahapan gitu untuk dipertemukan dan membuat janji dengan para profesional yang datang ke festival ini baik sutradara, produser atau apapun. Ada jurinya, dari tiga juri ini akan memilih empat award untuk proyek-proyek ini. Misalnya film ini berpotensi untuk apa, kami beri award, gitu.

Untuk pemilihan juri di JAFF sendiri bagaimana?

Kami dari banyak disiplin seni. Itu yang jadi patokannya JAFF, enggak boleh hanya dari satu lini. Ada dari sutradara, kritikus film, ada aktor, ada dosen, macam-macam

Ada juri yang dari penonton enggak?

Dahulu awal pernah, tapi enggak lanjut. Kami enggak mampu ngurusinnya, ngontrolnya masih enak kalau jurinya tiga orang, jadi jelas gitu lo.

Kalau dari pemilihan tempat, kenapa di TBY (Taman Budaya Yogyakarta)?

Karena sejarah ya, sebelum ada bioskop kan mutar film juga di sini (TBY), ruang kesenian kan cuma ada TBY to. Kami juga kerja sama dengan XXI, CGV. Ini pertama kalinya dengan CGV.

Kalau di Tebing Breksi itu lebih karena Open Air Cinema. Itu dimulai pertama kali untuk menghibur korban gempa, nah itu diteruskan sampai sekarang. Kami putuskan di Tebing Breksi, ternyata berhasil, yaudah kami coba dua minggu di situ.

Film-film yang dipilih memang untuk publik langsung, hati-hati pemilihannya yang kira-kira publik ramah, yang menarik.

Tahun ini ada film komersil Indonesia seperti Cek Toko Sebelah juga ya?

Itu film yang diputar dalam program JAFF Indonesian Screen Award. Dulunya nonkompetisi, tahun ini kami putuskan untuk kompetisi. Kami memilih 10 film Indonesia, terbaru, terbaik yang origin country-nya hanya Indonesia saja. Ada Cek Toko Sebelah, Posesif, The Gift, My Generation kalau dilihat itu semua beda.

Ada kebaruan dari film Indonesia di beberapa tahun terakhir, seperti Cek Toko Sebelah yang mengangkat isu sangat sensitif tapi diangkat dengan cara yang simpel banget. The Gift juga menarik, karena Hanung dalam film itu berbeda dengan Hanung biasanya. Lalu My Generation dari perspektif Upi itu kan juga menarik. Film-film ini diproduksi oleh orang-orang lokal. Origin country-nya Indonesia.

Jadi JAFF mulai mengkompetisikan film komersil dalam festival film independen?

Kami percaya pada perspektif. Kami percaya bahwa sutradara di bidang manapun yang percaya pada gagasan yang dia bela, ya pantas dibela. Film komersil itu juga butuh sutradara-sutradara bagus juga kan. Independen itu kan spiritnya, pengetahuannya. Tapi pada pratiknya apa kamu pernah jadi independen sepenuhnya? Enggak.

Sebagai festival film, kami sadar itu. Kami festival film independen, tapi tanpa kehadiran volunteer, kami enggak pernah ada. Emang kami mau bayar pakai apa? Enggak ada. Kami tahu kami memanfaatkan independensi kami untuk memihak sesuatu yang kami percaya benar, yaitu pengetahuan. Yang kami bela itu pengetahuan.

Kami melihat Asia dari perspektif Asia. Jadi harapan kami: semakin banyak kami melihat film, bertemu film maker, akan banyak perspektif yang muncul dan lahir. Lahir itu artinya tampil di dalam filmnya. Jadi kita bisa jadi manusia yang lebih paham akan perbedaan.

Baca juga artikel terkait ISMAIL BASBETH atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Mild report
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Nuran Wibisono