Menuju konten utama

Jacobs Johannes, Orang Indonesia Pertama yang Menjadi Pilot?

Beberapa tahun sebelum Perang Dunia II, para pemuda Indonesia telah belajar menjadi penerbang.

Jacobs Johannes, Orang Indonesia Pertama yang Menjadi Pilot?
Ilustrasi Pesawat. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Meski ada orang-orang Indonesia yang bekerja di bagian penerbangan, namun Belanda kurang memberikan kesempatan terbang kepada mereka. Orang-orang Indonesia ini biasanya hanya menjadi pembantu teknisi di bengkel-bengkel pesawat dengan pangkat rendah. Beberapa di antaranya bahkan bertugas sebagai petugas jaga, tukang kayu, tukang kulit, atau pekerjaan yang dianggap rendah lainnya.

Tercatat hanya ada dua orang yang pernah ikut terbang, yaitu Prajurit Kelas Satu Mertosurono dengan nomor stamboek 95820, dan Prajurit Kelas Satu Amat Kasirun dengan nomor stamboek 4794. Namun, dua serdadu ini bernasib tragis. Seperti terdapat dalam Jejak Langkah Penerbangan di Nusantara (2005:6-9), keduanya gugur dalam kecelakaan pesawat Fokker FC-IV 417T. Pesawat yang diterbangkan oleh Letnan Penerbang Infanteri P. van Livieren itu jatuh pada 14 April 1936 di Cililin, Jawa Barat.

Dalam Marsekal TNI Suryadi Suryadarma (1985:13) yang disusun oleh Sutrisno disebutkan bahwa sampai tahun 1932, di sekolah penerbangan militer hanya ada satu orang Indonesia yang tercatat sebagai siswa pengintai, yaitu Kapten Wardiman.

Hal sesuai dengan yang ditulis oleh Nana Nurliana Suyono dan kawan-kawan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 (2007:4). Mereka menyebutkan bahwa penerbang pribumi pertama yang direkrut Belanda ialah Kapten Wardiman Wirjosaputro sebagai navigator (waarnemer). Tahun 1945, seperti dicatat oleh Didi Kartasasmita, Wardiman adalah salah satu bekas perwira KNIL yang memberikan dukungannya kepada Republik Indonesia.

Setelah Wardiman, barulah muncul nama Soerjadi Soerjadarma sebagai navigator KNIL yang lain. Ia kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) pertama. Tahun 1937, kesempatan belajar terbang bagi para pemuda Indonesia mulai dibuka cukup lebar di Kalijati, Subang.

Menurut Nana Nurliana Suyono dan kawan-kawan, para pemuda yang dilatih menjadi penerbang militer adalah Sambujo Hurip, Adisutjipto, Husein Sastranegara, Sulistiyo, Murkijo, Sujono, Bajuri, Sunarto, Harjono, dan Tugijo. Namun yang berhasil mendapat Klein Militaire Vlieger Brevet (KMVB) hanya Adisutjipto, Sambujo Hurip, Sulistyo, Husein Sastranegara, dan Sujono.

Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 09 Juli 1940 melaporkan bahwa Agustinus Adisoetjipto dari Salatiga, Soedjiman dari Surabaya, Toegijo dari Solo, dan Hubertus Sujono dari Blitar, sebagai calon penerbang militer untuk dinas terbang Militair Luchvaart (ML).

Dalam sejarah AURI, Adisutjipto pernah menjadi kepala sekolah penerbang Angkatan Udara pertama di Yogyakarta. Sementara Sujono pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) versi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Ketika Jepang akan menyerbu Hindia Belanda, para pemuda Indonesia yang dilatih menjadi penerbang kian bertambah. Dua di antaranya ialah pahlawan nasional Iswahjudi, dan pendiri pasukan payung Muhammad Soedjono. Keduanya sempat dibawa ke Australia.

Pemuda Ambon dalam Penerbangan Kelautan

Di luar para pemuda yang dilatih oleh KNIL, ada juga pemuda Indonesia yang pernah mendapat latihan dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda alias Koninklijk Marine (KM), dalam dinas penerbangannya yang bernama Marine Luchtvaart Dienst (MLD).

Menurut De Militair--media bulanan untuk para tentara berbahasa melayu pasar--edisi 04 Februari 1928, dan Pandji Poestaka--surat kabar terbitan Balai Pustaka yang juga berbahasa melayu pasar nomor (24/01/1928) melaporkan, sejak 1925 MLD sudah memberikan kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk belajar terbang.

”Adapun yang mendapat kehormatan memperoleh nama vliegenier (penerbang) itu yang pertama-tama ialah Tuan Jacobs Johannes, orang Ambon,” tulis De Militair.

Jika Adisutjipto dan Sujono adalah lulusan sekolah menengah Algemene Middelsbare School (AMS), maka pendidikan formal Jacobs Johannes lebih rendah dari mereka.

”Tuan Jacobs Johannes dilahirkan di Ambon tahun 1901. Ia mula-mula belajar di sekolah kelas II, kemudian diperolehnya juga pengajaran bahasa Belanda,” imbuh De Militair.

Infografik Pilot Tentara Berdarah Indonesia

Infografik Pilot Tentara Berdarah Indonesia. tirto.id/Fuadi

Sekolah kelas II yang dimaksud adalah semacam Sekolah Ongko Loro, yang kelasnya di bawahEurope Lager School (ELS) yang berbahasa Belanda. Tahun 1917, Jacobs kemudian masuk Kweekschool voor Inlandsch Scheepelingen (KIS) di Makassar. Setelah itu, ia memulai karier sebagai matroos (kelasi) kelas tiga di KM.

Pangkatnya perlahan naik. Tahun 1921, ia sudah bekerja di bagian administrasi. Pangkatnya sudah sersan ketika dilatih sebagai penerbang. Sebelum 1945, pangkat yang disandang seorang penerbang tidak hanya letnan seperti sekarang.

Tahun 1925, ia mulai punya kesempatan untuk belajar terbang setelah mengikuti tes fisik dan diterima. Awal Desember 1927, Jacobs Johannes sudah bisa terbang sendiri. Dan Januari tahun berikutnya, ia mendapat bravet terbang internasional. Nahas, beberapa waktu setelah itu, ia mengalami kecelakaan saat melakukan pendaratan. Setelah itu, tak ada lagi kabar hebat tentangnya.

Setelah kisah Jacobs Johannes, tepatnya pada masa Perang Dunia II, KM kembali memberikan kesempatan kepada para pemuda Indonesia untuk menjadi penerbang. Bimanto Moekardanoe, Hartojo Moekardanoe, dan Abdul Halim Perdanakusuma adalah beberapa orang yang mengambil kesempatan tersebut.

Moekardanoe bersaudara mesti berlayar hingga ke Amerika dan Eropa, tentu dengan risiko yang tidak kecil. Bimanto harus mati muda di Amerika sebelum jadi penerbang tempur. Sementara adiknya, berhasil jadi penerbang Angkatan Laut. Hartojo atau Harry adalah salah satu penyerang KRI Matjan Tutul dengan pesawatnya di Laut Aru. Dan Abdul Halim Perdanakusuma pernah ikut dalam operasi udara Sekutu ke wilayah pendudukan Jerman, sebelum akhirnya bergabung dengan Angkatan Udara Republik Indonesia.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh