Menuju konten utama

J. Marliem dan Peliknya Perlindungan Saksi Lintas Negara

Kematian Johannes Marliem, saksi penting dalam kasus e-KTP, menguak peliknya isu perlindungan saksi.

J. Marliem dan Peliknya Perlindungan Saksi Lintas Negara
Kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). FOTO/Istimewa

tirto.id - Keberadaan saksi dalam penyelidikan hingga penyelesaian perkara hukum amat penting. Tanpa saksi, penanganan suatu perkara terancam bakal jalan di tempat. Walaupun keberadaannya amat dinantikan, akan tetapi intimidasi hingga ancaman pembunuhan menghantui kehidupan saksi berikut keluarganya. Apalagi saksi tersebut menjadi kunci penuntasan kasus pelanggaran hukum yang melibatkan para pejabat publik atau kasus-kasus besar.

Baru-baru ini, saksi kasus korupsi e-KTP Johannes Marliem meninggal di apartemen tempat tinggalnya di Los Angeles, Amerika Serikat. Dia adalah provider produk Automated Finger Print Identification System (AFIS) merek L-1 di proyek e-KTP. Meski situs resmi Department of Medical Examiner-Coroner Los Angeles County mengumumkan Johannes meninggal karena bunuh diri, spekulasi tetap bermunculan.

Apakah sebelumnya ada ancaman terhadap Marliem sehingga membuatnya depresi? Lantas, bagaimana seharusnya perlindungan yang mesti diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada saksi, utamanya yang sedang berada di luar negeri dan mendapat ancaman?

Birokrasi Perlindungan Saksi

Menurut Pasal 1 (26) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Pada 2010, Mahkamah Konstitusi memperluas pengertian tersebut dengan memasukkan kriteria, “Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Kebijakan tersebut tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Sementara itu, Indonesia juga telah memiliki aturan terkait perlindungan terhadap saksi. Payung hukum itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban -- yang dimutakhirkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Aturan yang sama mewadahi pembentukan dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini,” demikian termaktub dalam UU No 13 tahun 2006 iyu.

Berdasarkan aturan tersebut saksi memiliki sejumlah hak perlindungan. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyatakan saksi memiliki 16 hak, salah satunya memperoleh perlindungan atas keamanan prbadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Pasal yang sama juga menyebutkan seorang saksi bahkan berhak "dirahasiakan identitasnya" dan "membuat identitas baru".

Baca juga:

Sayangnya tidak semua saksi mendapat hak-hak perlindungan. Hanya dalam kasus tertentu saja, sesuai dengan keputusan LPSK, saksi mendapatkan hak tersebut.

“Ada empat kriteria yang digunakan sebagai parameter LPSK untuk memberikan perlindungan terhadap saksi: investigasi peran saksi, bentuk ancaman yang datang kepada saksi, kondisi psikis dan medis, serta track record kriminal saksi,” ujar Wakil Ketua LPSK, Edwin Pariogi saat diminta keterangan oleh Tirto.

Serangkaian proses birokrasi pun mesti dilalui para saksi untuk memperoleh perlindungan. Mula-mula mereka harus mengajukan permohonan kepada LPSK melalui telepon atau mengisi formulir di website lpsk.go.id. Selanjutnya, laporan tersebut akan dibahas dalam rapat pleno pimpinan LPSK. Rapat pleno ini menentukan diberikan atau tidaknya perlindungan kepada saksi.

Edwin mengatakan ada sekitar 1600 permohonan perlindungan yang diajukan saksi atau korban kepada LPSK setiap tahunnya. Sedangkan LPSK melindungi sekitar 3000 orang dalam satu tahun.

Jangka waktu antara laporan hingga rapat pleno berlangsung selama 1 bulan. Jika permohonan disetujui, LPSK akan memberikan perlindungan selama 6 bulan, dan dapat diperpanjang sesuai hasil evaluasi. LPSK juga memberikan mekanisme khusus bagi saksi yang menurut mereka sangat terancam.

“Ada situasi di mana kondisi keselamatan pelapor, salah satu korban, yang terancam sehingga perlu kami evakuasi dan kami tempatkan dalam rumah aman. Ada kasus korupsi di Sumatera. Ada saksi datang dalam keadaan tertekan. Beberapa kepala daerah di sana sering melakukan teror. Kami memberi perlindungan kepada yang bersangkutan. Ada dua kasus menyangkut pelaporan korupsi di Jawa. Saksi ini mengetahui secara langsung bagaimana proses suap terhadap pejabat tinggi daerah,” ujar Edwin.

Ketika ditanya perlindungan apa yang akan didapatkan oleh saksi yang sedang berada di luar Indonesia, Edwin mengatakan perlindungan tersebut akan diberikan ketika saksi yang berada di Indonesia, atau kepada keluarganya yang berada di Indonesia.

“Kita tidak punya kewenangan di luar negeri, ya. LPSK, kan, hanya pada proses hukum yang berlangsung di Indonesia. Kalau proses hukum di Indonesia itu saksi (atau korban) bisa warga negara Indonesia atau warga negara asing. Ketika dia menjadi saksi dalam proses peradilan, penyidikan, maupun di pengadilan, di situ kami bisa memberikan perlindungan,” ungkap Edwin.

Lintas Negara Masih Jadi Kendala

Kendala dalam penanganan perlindungan saksi lintas negara tidak hanya dihadapi Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pun masih gagap menyikapinya. Peneliti dari University of Nebraska – Lincoln, Tarik Abdel-Monem, dalam Foreign Nationals in the United States Witness Security Program: A Remedy for Every Wrong? mengisahkan nasib tragis yang menimpa John Harold Mena, seorang warga negara Kolombia penyuplai narkoba ke AS.

Mena ditangkap otoritas federal AS pada 1992. Tidak ingin dihukum seumur hidup, Mena pun mengajukan permohonan kerja sama untuk bersaksi melawan mafia yang menjadi bosnya di Kolombia. Drug Eforcement Administration (DEA) AS pun berjanji melindungi semua anggota keluarganya di Kolombia.

infografik hak saksi dan korban

“(Bos saya) tahu bahwa saya bersaksi melawannya dan dia bersumpah untuk melawan balik saya dan keluarga saya. Dia telah mengatakan akan membunuh setiap anggota keluarga saya yang dapat dia temukan. Saya hanya meminta DEA untuk melindungi keluarga saya. Itulah perjanjian yang saya buat,” tulis Mena kepada hakim federal AS.

Tapi, naas, lima anggota keluarganya dibunuh secara kejam. DEA menolak bertanggung jawab dan menyatakan wafatnya anggota keluarga Mena tersebut tidak berhubungan dengan kesaksian Mena di AS. Padahal, sebelumnya, DEA menolak memindahkan 18 anggota keluarga Mena dari Kolombia ke AS untuk mendapatkan perlindungan.

Tarik juga mencatat perlakuan pemerintah AS terhadap Adnan Awad, pria yang diberi julukan “salah satu pahlawan sejati dalam perang internasional melawan terorisme” oleh Senator Joseph Lieberman. Tahun 1982, sebuah organisasi teroris memberi tugas kepada Awad untuk mengebom sebuah hotel di Swiss. Awad pun pergi ke Swiss, tapi dia "belok arah". Di sana dia malah pergi ke kantor polisi guna melaporkan rencananya. Atas jasanya, Awad diberi kewarganegaraan Swiss dan Libanon.

Pada 1984, pemerintah AS mengundangnya datang ke AS dan mengikuti program Witness Security (WITSEC). Kejaksaan AS berjanji memberikan Awad kewarganegaraan dan paspor AS. Dia juga diminta memberikan paspor Swiss dan Libanon yang dimilikinya. Katanya, setelah program WITSEC selesai, Awad dapat mengambil kedua paspornya itu.

Berselang dua tahun, Awad keluar dari WITSEC, tapi dokumen Awad yang disimpan AS tidak dikembalikan. Awad pun tidak dapat pergi ke Swiss dan Libanon, dan tidak dapat keluar dari AS. Awad baru mendapatkan paspornya lagi pada 2000, selang 16 tahun kemudian. Hal ini amat merugikan Awad.

“Jika kamu (Pemerintah AS) tidak dapat mengemabalikan papor saya, pemerintah Swiss tidak memberikan saya sesuatu untuk meninggalkan negara ini. Saya tidak dapat bergerak – tidak ada dokumen, tidak ada nama. Saya merasa menjadi tawanan di negeri ini,” sebut Awad seperti dikutip dari penelitian Tarik.

Sulitnya kerja sama antarinsitusi, terutama dengan lembaga imigrasi, disinyalir menjadi penyebab berbagai kendala yang terjadi terhadap perlindungan saksi lintas negara.

Baca juga artikel terkait SAKSI atau tulisan lainnya dari Husein Abdul Salam

tirto.id - Hukum
Reporter: Husein Abdul Salam
Penulis: Husein Abdul Salam
Editor: Zen RS