Menuju konten utama

Izin Kedaluwarsa Reklamasi Teluk Benoa dan Kemenangan Rakyat Bali

Izin proyek reklamasi di Teluk Benoa kedaluwarsa. Masyarakat Bali boleh bernapas lega. Setidaknya untuk sementara.

Izin Kedaluwarsa Reklamasi Teluk Benoa dan Kemenangan Rakyat Bali
Warga menggelar aksi unjuk rasa menolak reklamasi Teluk Benoa di depan kantor Gubernur Bali, Denpasar, Bali, Sabtu (26/5/2018). ANTARA FOTO/Wira Suryantala

tirto.id - Keseharian masyarakat Bali yang mustahil dilepaskan dari pariwisata laksana rantai makanan di lautan. Kira-kira begitulah I Ngurah Suryawan, penulis buku Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata (2010), menggambarkannya sebagai lukisan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, yang ia ambil dari judul sebuah novel karya YB. Mangunwijaya.

Menurut Suryawan, Ikan Hiu menggambarkan kuasa modal, Ikan Ido mencitrakan ketamakan penguasa lokal (negara) yang memakan Ikan Homa, yaitu rakyatnya sendiri. Dalam rantai makanan, pada akhirnya Ikan Ido akan dimakan oleh Ikan Hiu. Rakyat, dengan kata lain, selalu jadi korban yang pertama kali dimangsa.

Namun, perumpamaan tersebut tak berlaku—atau setidaknya ditangguhkan—pada 25 Agustus 2018. Tepat pada tanggal itulah izin reklamasi Teluk Benoa di Bali yang dipegang PT. Tirta Wahana Bali Internasional dinyatakan kedaluwarsa.

Masyarakat Bali yang penentang reklamasi Teluk Benoa garapan para pengembang, sementara ini bisa bernapas lega karena perizinan yang masih tertahan di meja pemerintah.

“Akhirnya perjuangan masyarakat Bali selama lima tahun dapat meraih kemenangan. Semoga kemenangan ini bisa menjadi pemantik bagi masyarakat untuk terus mengkritisi pembangunan yang tidak adil dan menjadi pembelajaran bagi pengusaha yang berinvestasi di Bali untuk memperhatikan lingkungan dan kepentingan masyarakat,” ujar Gendo Suardana, Koordinator Umum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (For BALI).

Aliansi masyarakat sipil Bali lintas sektoral yang terdiri dari lembaga dan perorangan ini—mulai dari mahasiswa, LSM, pemuda, seniman, musisi, akademisi, dan siapapun yang peduli lingkungan hidup—yakin bahwa reklamasi Teluk Benoa hanya akan membawa bencana lingkungan dan sosial masyarakat Bali.

Salah satu contoh nyata yang mengukuhkan keyakinan mereka adalah kasus reklamasi Pulau Serangan yang letaknya berdekatan dengan Teluk Benoa. Proyek yang dikerjakan pada tahun 1990-an oleh pengembang kawasan wisata PT. Bali Turtle Island Development ini nyatanya terbengkalai dan hanya menyisakan kerusakan lingkungan. Pulau yang diperluas dari yang semula 112 hektare menjadi 148 hektare ini menyebabkan kerusakan ekosistem pantai.

“Lumpur mengotori perairan, sirkulasi air macet, sehingga terumbu karang pelan-pelan mati. Akibatnya, berbagai jenis penyu, ikan hias, dan ikan-ikan karang seperti kerapu, kakap, napoleon, dan berbagai jenis udang, yang sebelumnya hidup di perairan Serangan, secara drastis menghilang,” tulis Gatra pada Desember 2004.

Selain bencana ekologis, masih menurut laporan Gatra, proyek reklamasi Pulau Serangan yang akhirnya mangkrak karena krisis ekonomi tahun 1997 telah menyebabkan sebagian nelayan beralih profesi menjadi penambang batu karang. Kendati diprotes masyarakat, proyek reklamasi terus berlangsung berkat perlindungan rezim Orde Baru.

Master plan-nya sangat bagus. Sama [seperti master plan Teluk Benoa sekarang] akan dibuat resor, dibuat hotel, dibuat wisara marine, dan segala macam. Penyunya hilang, mangrove-nya hilang, terumbu karangnya hilang, ini refleksi terbesar. Reklamasi di Serangan sampai sekarang tidak jadi apa-apa. Pemerintah Bali [harus] belajar dari reklamasi Serangan, karena antara Serangan dan lokasi yang mau di reklamasi di Teluk Benoa ini kan dekat,” ujar Gendo Suardana pada 2016.

Keberatan juga datang dari kalangan agamawan. Menurut tokoh keagamaan Bali Ida Pedanda Gede Made Gunung, para pengembang yang berniat mereklamasi Serangan dan Teluk Benoa mengabaikan filosofi orang Bali yang mayoritas beragama Hindu, yaitu Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebahagiaan. Menurut Ida Pedanda Gede Made Gunung, Tri Hita Karana meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam sekitar.

“Mengembangkan boleh, enggak ada orang melarang, cuma saja tetap pada garis-garis yang telah disiapkan,” tuturnya dua tahun silam.

Teluk Benoa punya makna sakral bagi orang Bali. "Hanya orang yang bebal saja tak memahami hal ini. Hanya satu tempat di Bali, laut bersambungan dengan teluk dan Gunung Agung. Saujana itu pemandangan spirit batiniah yang entah berapa nilainya yang akan dihancurkan jika reklamasi,” ujar Sugi Lanus kepada Mongabay. Sugi Lanus adalah peneliti sejarah dan kebudayaan yang telah memetakan menyusun secara rinci tempat-tempat dan titik hubung kawasan suci di sekitar kawasan Teluk Benoa.

Surat-Surat Sakti Aparat Negeri

Rencana reklamasi Teluk Benoa mulai muncul ke permukaan setelah SK 2138/02-C/HK/2012 (PDF) tentang Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pada 26 Desember 2012, diberitakan secara besar-besaran oleh media.

Pemberitaan ini mengundang perhatian masyarakat Bali dan semakin santer karena pada Juli 2013, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengesahkan Peraturan Menteri (PDF) yang mengizinkan reklamasi di zona non-inti.

Setelah kabar mengenai rencana reklamasi tersebar dan ditentang secara luas oleh masyarakat dan sejumlah aktivis lingkungan hidup, pada Agustus 2013 Gubernur Bali mencabut SK 2138/02-C/HK/2012. Namun, langkah yang dilakukan Gubernur Bali ternyata lagi-lagi dinilai kontroversial oleh masyarakat. Pasalnya, setelah mencabut satu SK, Made Mangku Pastika menerbitkan SK lainnya (PDF) tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa.

Selama beberapa bulan izin untuk mereklamasi Teluk Benoa simpang siur, karena surat keputusan yang menjadi landasan hukum bagi pengembang berkali-kali ditentang oleh masyarakat. Namun, pada 30 Mei 2014, kesimpangsiuran itu berakhir dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 (PDF) yang isinya mengizinkan reklamasi reklamasi di kawasan konservasi Teluk Benoa.

Infografik Teluk Benoa

Menolak Tunduk

Aliansi masyarakat sipil Bali yang tergabung dalam ForBALI berkali-kali melakukan upaya untuk menghentikan rencana reklamasi tersebut, di antaranya dengan melaporkan Gubernur dan DPRD Bali ke Ombudsman (PDF) atas dugaan maladministrasi dalam keluarnya izin reklamasi Teluk Benoa.

Selain itu, mereka juga sempat melayangkan surat kepada Rektor Universitas Udayana, yang isinya mendesak agar pimpinan universitas melarang akademisinya terlibat dalam studi kelayakan reklamasi Teluk Benoa.

Pada 22 Januari 2014, ForBALI menggelar demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta. Selang sebulan kemudian, masyarakat Bali melakukan aksi damai dengan membacakan penolakan atas rencana reklamasi. Tanda tangan dan cap jempol darah pun dikumpulkan untuk menguatkan tekanan publik.

Setelah terkatung-katung selama beberapa tahun, untuk sementara kasus ini berakhir dengan kedaluwarsanya izin yang dipegang PT. Tirta Wahana Bali Internasional per tanggal 25 Agustus 2018.

Ulangi: berakhir sementara. Pasalnya, selama Presiden Jokowi tak mencabut Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014, kerja-kerja untuk menggagalkan rencana reklamasi Teluk Benoa masih panjang. Sewaktu-waktu, rencana serupa bisa muncul lagi entah dengan nama yang sama atau sama sekali berbeda.

Baca juga artikel terkait PROYEK REKLAMASI atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Windu Jusuf