Menuju konten utama
11 Juli 2008

Iswadi Idris: Insiden Pra Piala Dunia & Hampir Membobol Dynamo Kiev

Kisah salah satu bintang PSSI yang terganjal isu suap. Ia adalah pemain Indonesia pertama yang bermain di luar negeri.

Ilustrasi Mozaik Iswadi Idris. tirto.id/Nauval

tirto.id - Isu suap berdengung kencang setelah timnas Indonesia kalah 1-4 dari Hongkong dalam pertandingan pembuka Pra Piala Dunia 1978 di Singapura. Sempat unggul pada menit ke-12, penampilan Indonesia tiba-tiba melempem bak kena guna-guna. Saat Chung Chor Wei, Wun Chee Keung, Kwok Ka Ming, dan Lau Wing Yip bergantian membobol gawang Ronny Pasla, para pemain Indonesia hanya bisa pasrah. Iswadi Idris, pemain Indonesia yang tampil paling buruk dalam pertandingan itu lantas dituduh sebagai pelakunya.

Majalah Tempo (19 Maret 1977) melaporkan bahwa tuduhan tersebut menghajar Iswadi nyaris tanpa jeda. Selain merusak reputasinya sebagai salah satu pemain paling dihormati di Indonesia pada periode 1970-an, keluarganya juga kena imbas. Desas desus itu, tulis Tempo, tampak seperti pukulan batin yang kuat bagi keluarga Iswadi. Akibatnya, “Ibunya langsung terjatuh di kamar mandi sewaktu seorang anggota keluarga keceplosan membicarakannya. Istrinya, Esly, harus meluangkan waktu untuk melayani tetangga yang terus-terusan menanyakan kasus tersebut dengan heboh,” imbuh Tempo.

Menurut pengakuan Iswadi, isu itu pertama kali diberitakan oleh salah satu koran Singapura. Sebelum laga melawan Hongkong, surat kabar itu menyebut Iswadi diam-diam keluar dari hotel tempat timnas Indonesia menginap dan pergi ke Karpak, salah satu klub malam di Singapura. Di tempat itulah, menurut koran tersebut, Iswadi mendapatkan sogokan dari Hongkong dan diminta untuk mengalah. Namun, kata Iswadi, “Kalau saya butuh duit, mengapa tidak dari dulu saja saya lakukan ketika saya masih berjaya?”

Seain itu, Iswadi juga tak luput menjelaskan bahwa berita tersebut hanyalah karangan belaka. Sueb Rizal, rekan sekamarnya, saat itu tahu betul bahwa ia tak ke mana-mana. Rizal adalah sahabat kental Iswadi dan mereka hampir selalu pergi bersama-sama. Dari sanalah Iswadi lantas mengambil kesimpulan: berita itu sengaja dibuat untuk meruntuhkan mental bertanding Indonesia ketika melawan timnas Singapura. Terlebih Singapura memang membutuhkan kemenangan dari Indonesia untuk finis di peringkat pertama Grup 1 kualifikasi Piala Dunia 1978.

Pengakuan Iswadi memang belum tentu kebenarannya. Namun, siapa pun yang mengenal Iswadi, tentu tak memandangnya sebelah mata. Iswadi adalah pemain yang akan melakukan apa saja untuk kemenangan timnya, bahkan jika harus sampai adu jotos dengan pemain lawan. Maka saat rekan-rekannya masih percaya seratus persen dengan integritasnya, Iswadi tahu bagaimana cara membalasnya.

Pada pertandingan terakhir kualifikasi Pra Piala Dunia 1978, Indonesia menghajar tuan rumah Singapura empat gol tanpa balas. Iswadi tampil kesetanan dalam laga itu. Kapten Indonesia tersebut mencetak gol penutup kemenangan sekaligus menjadi bintang Indonesia.

Pemain Cerdas

Lahir di Banda Aceh pada 18 Maret 1948, Iswadi Idris tumbuh dan besar di Jakarta. Sewaktu kecil, lantaran mempunyai kecepatan ia bercita-cita menjadi pelari kelas atas Indonesia. Namun setelah membaca koran Pedoman Rakyat dan mengetahui temannya bermain untuk Persija Junior, cita-citanya itu menguap. Ia banting setir ingin menjadi pesepakbola.

Menurut laporan Sumohadi Marsis (Kompas, 31 Mei 1980), Iswadi kecil lantas bergabung dengan MBFA, salah satu “klub anak-anak gawang” di Jakarta. Di klub itu ia dilatih oleh Joel Lambert, yang kelak ia sebut sebagai “pelatih dengan dedikasi luar biasa.”

Singkat cerita, berkat tangan dingin Lambert, kemampuan olah bola Iswadi mengalami peningkatan pesat. Jika sebelumnya Iswadi mengenal sepakbola lewat kecepatannya, ia juga mulai mengerti bahwa sepakbola membutuhkan kecerdasan. Dan perpaduan antara kecepatan dan kecerdasan Iswadi inilah yang lantas membuatnya menjadi andalan Persija dan timnas Indonesia.

Ia kemudian dikenal sebagai salah satu pesepakbola terbaik di Indonesia, tak kalah hebat dari Ramang, Ronny Pattinasarany, hingga Soetjipto Soentoro. Sebagai seorang gelandang kanan, ia cepat, tajam, dan memiliki visi luar biasa. Saat pemain-pemain lawan mengira ia akan mengumpan, Iswadi akan menggunakan kecepatannya untuk melewati mereka. Sebaliknya, saat pemain-pemain lawan mengira ia akan melewatinya, Iswadi bisa mengumpan ke kotak penalti atau langsung menembak ke arah gawang.

“Entah sudah berapa gol yang aku cetak, yang jelas sudah lebih dari 100 gol kalau dijumlah dari awal hingga akhir karier,” ujarnya kepada Kompas.

Tak hanya itu, Iswadi juga pemain serba guna: ia bisa bermain sebagai pemain sayap, gelandang tengah, hingga gelandang bertahan. Bahkan saat kecepatannya mulai menurun di pengujung kariernya, ia juga bisa bermain sebagai sweeper atau libero pada akhir 1970-an.

“Iswadi adalah satu pemain PSSI yang bisa tampil dengan otak dan selalu ingin maju,” kata Mangindaan, mantan pelatih PSSI.

Karena kemampuan ini pula, nama Iswadi dicatat dengan tinta emas dalam sejarah sepakbola Indonesia: ia menjadi pemain Indonesia pertama yang berkiprah di luar negeri. Pada tahun 1974-1975, ia bergabung bersama Western Suburbs Club (WSC), salah satu klub semi profesional asal Sydney, Australia.

Menurut laporan majalah Tempo (14 September 2015), Iswadi memikat WSC setelah tampil ciamik bersama timnas Indonesia dalam Kualifikasi Piala Dunia 1974 di Australia. Meski Indonesia tak pernah menang dalam tiga laga, bersama Ronny Pasla, Widodo, dan Anwar Ujang, penampilan Iswadi hampir selalu mengundang decak kagum para penonton. Bahkan, Martin Royale, salah satu komentator televisi ternama Australia saat itu, sampai menyebut “mereka adalah jantung hati para penonton.”

Dari sana WSC sempat ingin memboyong empat pemain tersebut sekaligus. Namun setelah menimbang-nimbang, Mike Laing, pelatih WSC memutuskan hanya mendatangkan Iswadi seorang. Penyebabnya jelas, saat pemain-pemain lain mengaku akan sulit beradaptasi karena perbedaan bahasa, budaya, dan hal-hal lain di luar sepakbola, Iswadi berbicara dengan bahasa sepakbola.

“Kesukaran pertama yang akan saya hadapi di Australia nanti adalah soal pengukuran operan bola kepada kawan (jangkauan kaki pemain-pemain WSC berbeda dengan pemain Indonesia). Dengan operan yang kurang satu centimeter saja bisa merugikan suatu peluang pada tim,” kata Iswadi.

Infografik Mozaik Iswadi Idris

Infografik Mozaik Iswadi Idris. tirto.id/Nauval

Berkarakter Kuat

Sebagai salah satu pemain terbaik Indonesia, Iswadi mempunyai banyak kenangan indah. Ia hampir membawa timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Montreal 1976 dan dua kali membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan. Namun, ketimbang mengenang kejayaannya, Iswadi lebih senang mengingat kegagalan-kegagalannya.

Saat Indonesia bertandingan melawan Dynamo Kiev pada tahun 1972, Iswadi ingat betul bahwa ia sempat punya peluang emas untuk membobol gawang Kiev yang dikawal Lev Yashin, penjaga gawang terbaik dunia. Ia mendapatkan umpan terobosan dari Soetjipto Soentoro dan sudah berdiri bebas. Namun, peluang itu akhirnya sia-sia belaka.

“Saya justru mengumpankan bola ke arah Jacob Sihasale. Dia tidak siap karena saya biasanya menendang sendiri dan gol. Habis pertandingan, pelatih Djamiat Dalhar pun marah besar kepada saya.”

Yang menarik, menurut Anjas Asmara, kebiasaan Iswadi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa ia sangat dikagumi rekan-rekannya dan pantas menjadi kapten Indonesia. Saat ia gagal, ia tak pernah menyalahkan rekan-rekannya dan tahu bagaimana harus menyikapinya. Lain itu, kebiasaannya itu juga hampir selalu ingin menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap apa saja. Soal ini, Anjas punya cerita.

Suatu kali, Persija menjalani pertandingan sengit melawan PSMS Medan. Dalam pertandingan itu, PSMS yang terkenal dengan gaya rap-rap, bermain keras dan bahkan menjurus kasar. Nobon, pemain PSMS mencederai Anjas. Seketika, kata Anjas, Iswadi memukul wajah Nobon. Meski perbuatan itu tak dapat dibenarkan, Iswadi setidaknya alasan punya kuat: selain untuk membela rekan setim, ia tahu kalau Nobon dibesarkan oleh orang tua Anjas.

Perbuatan tersebut, menurut Anjas, bahkan tidak satu dua-kali dilakukan Iswadi. Dalam setiap pertandingan, ia hampir selalu maju paling depan ketika rekan-rekannya mendapatkan masalah. Soal rekannya itu benar atau salah, itu masalah belakangan. Asalkan mereka bermain dengan seragam yang sama, Iswadi akan selalu pasang badan.

Karakter Iswadi tak berubah sampai ia gantung sepatu. Sebelum wafat pada 11 Juli 2008, tepat hari ini 12 tahun lalu, Iswadi punya kenang-kenangan menarik: ia tak mau berkunjung ke Plaza Senayan karena salah satu pusat perbelanjaan itu didirikan di bekas tempat latihan PSSI.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA INDONESA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Irfan Teguh
-->