Menuju konten utama

Istilah Kuota Hare dan Sainte Lague dalam RUU Pemilu

Sejauh ini perdebatan soal konversi suara menjadi kursi di parlemen sudah mengerucut pada dua opsi, yaitu: Kuota Hare dan Sainte Lague murni.

Istilah Kuota Hare dan Sainte Lague dalam RUU Pemilu
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menghadiri rapat dengan Panitia khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/6). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Proses pembahasan RUU Pemilu antara DPR dan pemerintah masih menyisakan lima isu krusial yang menjadi aturan inti penyelenggaraan pesta demokrasi 2019. Salah satunya terkait metode konversi perhitungan hasil suara untuk jumlah kursi parlemen yang diperebutkan di masing-masing daerah pemilihan.

Sejumlah fraksi masih belum satu suara soal metode yang akan digunakan dalam penghitungan alokasi kursi tersebut. Akan tetapi, sejauh ini perdebatan soal konversi suara menjadi kursi di parlemen sudah mengerucut pada dua opsi, yaitu: Kuota Hare dan Sainte Lague murni.

Dalam konteks ini, metode penghitungan suara merupakan variabel utama dari sistem pemilu yang bertugas untuk mengkonversi suara perolehan partai dalam Pemilu menjadi kursi di parlemen. Karena itu, sejumlah fraksi di DPR masih belum mencapai kesepakatan terkait metode konversi suara yang nantinya akan digunakan.

Hasil kajian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada 2016 menyebutkan bahwa metode penghitungan suara ini paling tidak berpengaruh pada tiga hal, yaitu: derajat proporsionalitas suara, jumlah perolehan kursi partai politik, dan sistem kepartaian.

Dalam sistem pemilu proporsional seperti Indonesia, ada dua rumpun metode penghitungan suara yang bisa digunakan, yaitu Kuota dan Divisor.

Dalam Naskah Akademik Rancangan UU Penyelenggaraan Pemilu (September 2016) disebutkan bahwa Metode Divisor ini menggunakan nilai rata-rata tertinggi atau biasa disebut BP (Bilangan Pembagi). Sementara Metode Kuota adalah suara sisa terbesar.

Pada rumpun metode penghitungan kuota ini terdapat dua teknik penghitungan suara, yakni Kuota Hare dan Kuota Droop. Kuota Hare ini merupakan salah satu teknik penghitungan suara yang tidak asing di Indonesia karena metode ini paling sering digunakan dari pemilu ke pemilu.

Berbeda dengan rumpun metode penghitungan suara Kuota, metode penghitungan Divisor tidak menerapkan harga satu kursi sebagai bilangan pembagi untuk mencari perolehan kursi masing-masing partai.

Metode penghitungan Divisor memiliki bilangan tetap untuk membagi perolehan suara masing-masing partai dengan logika jumlah perolehan suara tertinggi dari hasil pembagian di urutkan sesuai dengan alokasi kursi yang disediakan dalam satu daerah pemilih, berhak untuk memperoleh kursi.

infografik kuota hare sainte lague

Mengenal Metode Kuota Hare dan Sainte Lague

Pembahasan RUU Pemilu sudah mengerucut pada dua pilihan, yaitu menggunakan metode Sainte Lague dan Kuota Hare. Kedua opsi ini dinilai lebih menguntungkan partai kecil daripada metode lainnya.

Berdasarkan Naskah Akademik Rancangan UU Penyelenggaraan Pemilu, disebutkan bahwa Kuota Hare adalah metode konversi suara dengan cara dihitung berdasarkan jumlah total suara yang sah (vote atau v) dibagi dengan jumlah kursi yang disediakan dalam suatu distrik (seat atau s).

Dalam hal ini, terdapat dua tahapan yang perlu dilalui untuk mengkonversi suara menjadi kursi di parlemen melalui teknik penghitungan Kuota Hare atau yang lebih dikenal dengan istilah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) ini. Pertama, menentukan harga satu kursi dalam satu daerah pemilihan dengan menggunakan rumus v/s.

Pada tahap kedua: menghitung jumlah perolehan kursi masing-masing partai politik dalam satu daerah pemilihan dengan cara jumlah perolehan suara partai di satu daerah pemilihan di bagi dengan hasil hitung harga satu kursi.

Sebagai ilustrasi, katakanlah ada sembilan partai politik yang bertarung dalam satu dapil dan memperebutkan enam kursi. Jumlah total suara di dapil tersebut adalah 866.454 dan BPP-nya 144.409.

Partai yang mendapatkan suara melebihi BPP hanya dua parpol: Partai F yang mendapatkan 222.213 suara dan Partai I dengan 186.477 suara. Enam partai lainnya perolehan suaranya tidak mencapai BPP. Misalnya, Partai A mendapatkan suara 31.484, Partai B (41.028 suara), Partai C (103.617 suara), Partai D (79.846 suara), Partai E (31.436 suara), Partai G (88.418 suara), dan Partai H (81.935 suara).

Cara mengkonversi perolehan suara menjadi kursi di parlemen dilakukan dengan dua tahap. Pertama, yang mendapatkan kursi di dapil tersebut adalah Partai F dan I yang memperoleh suaranya di atas BPP. Artinya, masih ada sisa 4 kursi sisa yang masih dapat diperebutkan.

Sisa 4 kursi yang belum dikonversi ini kemudian menjadi hak partai yang memperoleh suara tertinggi berikutnya, yaitu Partai C, Partai D, Partai G, dan Partai H. Sedangkan Partai A, B, dan E sama sekali tidak mendapatkan jatah kursi.

Metode Sainte Lague masuk ke dalam kategori Metode Divisor, yaitu menggunakan nilai rata-rata tertinggi atau biasa disebut BP (Bilangan Pembagi). Artinya, kursi-kursi yang tersedia pertama-tama akan diberikan kepada partai politik yang mempunyai jumlah suara rata-rata tertinggi, kemudian rata-rata tersebut akan terus menurun berdasarkan nilai bilangan pembagi. Prosedur ini akan terus berlaku sampai semua kursi terbagi habis.

Baca juga artikel terkait RUU PEMILU atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani