Menuju konten utama
Insan Muda Sinema Indonesia

Ismail Basbeth dan Perjalanannya Mencari Titik Tengah

Basbeth percaya bahwa kompromi dan adaptasi bukanlah sesuatu yang dilarang dilakukan oleh para sutradara.

Ismail Basbeth dan Perjalanannya Mencari Titik Tengah
Ilustrasi Ismail Basbeth. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 1990, Akira Kurosawa merilis Dreams, film ke 30-nya. Film ini menampilkan delapan sekuens, terinspirasi oleh pelbagai folklor Jepang dan mimpi sang sutradara asal Jepang itu.

Dalam perjalanannya, Dreams menyajikan banyak visual mewah, bertumpu pada narasi-narasi unik seperti pandangan anak kecil akan apokaliptik; seorang laki-laki yang terjebak pernikahan rubah di hutan; perjumpaan prajurit dengan hantu tentara perang; serta krisis pembangkit listrik yang menghantam lanskap pantai dengan asap radioaktif.

Diselingi dengan refleksi tentang kekuatan penebusan serta penciptaan, termasuk pula penghormatan akan karya-karya surealis Vincent van Gogh, Dreams merupakan karya Kurosawa paling personal—untuk belas kasih dunia dan ketidaktahuan umat manusia.

Film inilah yang kemudian menjadi inspirasi penting bagi sutradara asal Yogyakarta, Ismail Basbeth. Bagi Basbeth, Dreams memberikan perspektif baru akan film, sekaligus turut punya andil dalam membentuk gaya sinematiknya.

“Kalau ditanya [film yang berpengaruh], aku rasa Dreams-nya Kurosawa itu jawabannya,” ucap Basbeth, kala dihubungi Tirto, Selasa (21/5) malam, via telepon.

Pengalaman menonton Dreams didapatkan Basbeth ketika ia bekerja sebagai penjaga di toko rental DVD yang dimiliki Darwin Nugraha, sutradara dokumenter yang kemudian mengenalkan Basbeth kepada Ifa Isfansyah, sosok di belakang munculnya Sang Penari (2011) & Pendekar Tongkat Emas (2014). Kelak, perkenalan dengan Ifa membawa Basbeth untuk bekerja di JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival).

Pengaruh Kurosawa—atau tepatnya Dreams—tersebut setidaknya muncul di film panjang pertama Basbeth, Another Trip to the Moon (2015). Gagrak surealis menjadi pijakan Basbeth untuk membungkus narasi yang hendak disampaikan Another Trip to the Moon.

Di film itu Anda akan menjumpai kisah dua perempuan, Asa (Tara Basro) dan Laras (Ratu Anandita), yang tinggal di hutan. Keduanya hidup dalam semesta yang tak pasti, dengan realita dan logikanya sendiri. Banyak hal ganjil yang muncul sekaligus menemani hari-hari Asa dan Laras: dari perempuan zaman purba, anjing setengah manusia, hingga mesin UFO yang mengudara seenak hati.

Lewat Another Trip to the Moon, Basbeth seperti hendak menegaskan: realita terkadang bergerak lentur. Ia bisa dimainkan sesuai perspektif, imajinasi, dan tak selalu berpatokan pada kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan.

Bermula dari Film Pendek

Saya menyaksikan Another Trip to the Moon sekitar empat tahun silam, di sebuah festival film yang diselenggarakan oleh anak-anak fakultas tempat saya belajar. Kebetulan, Another Trip to the Moon jadi salah satu sajian utama festival. Debut tersebut sekaligus menjadi perkenalan saya dengan film-film Basbeth.

Nama Basbeth sendiri jelas tak asing, terutama di dunia film independen. Sutradara kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, ini memulai perjalanan kreatifnya delapan tahun sebelum Another Trip to the Moon dirilis, tepatnya kala ia membikin film pendek berjudul Hide and Sleep (2008). Film itu berkisah tentang pengalaman seorang lelaki yang tiba-tiba terbangun dengan beberapa perempuan di sampingnya—tanpa tahu apa penyebabnya.

Makbul Mubarak dalam “Kekhasan Bentuk Film Pendek: Kelumit Karya Ismail Basbeth” (2012) menyebut bahwa Hide and Sleep merupakan cerita psikologis yang bertumpu pada narasi sederhana.

“[...] yang membuatnya menarik adalah psikologi kamera. Tanpa shot-shot yang risau, impresi serupa tak akan bisa ditangkap para pemirsa,” demikian tulis Makbul.

Usai Hide and Sleep lepas ke publik, Basbeth mulai rutin membikin film-film pendek, dalam kurun waktu kurang lebih empat tahun, dari 2008 sampai 2012. Beberapa film pendek garapan Basbeth antara lain Harry Van Yogya (2010), Shelter (2011), Ritual (2012), serta Who the Fuck Is Ismail Beth (2012).

Film-film pendek Basbeth mengambil inspirasi cerita yang beragam: dari bagaimana seorang tukang becak memandang dinamika dunia maupun eksistensi sebuah cermin yang bisa membuka tabir kenyataan. Semuanya dibungkus secara subtil, terkadang irasional, dan seringkali menyimpan terang akal.

Lima buah film pendek dalam empat tahun kiranya dirasa cukup bagi Basbeth sebagai modal untuk menapaki babak eksplorasi berikutnya: film panjang. Sepak terjang pertama Basbeth lahir dalam wujud Another Trip to the Moon. Masih di tahun yang sama, Basbeth membuat Mencari Hilal, yang mengantarkannya masuk nominasi Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2015.

Setahun berselang, selepas kesuksesan Mencari Hilal, Basbeth kembali membuat film bertajuk Talak 3, yang lantas disusul Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran (2017), Arini (2018), serta yang terbaru, Taufiq: Lelaki yang Menantang Badai (2019).

Proses kreatif Basbeth berangkat dari pemahamannya akan teori. Untuk Basbeth, teori adalah elemen krusial yang wajib dimiliki manakala seorang sutradara sudah memutuskan masuk dalam fase pembuatan film.

“Ada proses yang simple, ada juga yang complicated,” tegas lelaki kelahiran 1985 ini kepada saya. “Namun, yang pasti, dasarnya itu teori. Kalau teorinya enggak paham, ya, jadinya film [yang dibikin] sulit untuk maksimal.”

Soal teori, Basbeth memperolehnya secara proporsional. Ia, misalnya, sempat belajar musik tradisional di Sekolah Tinggi Seni Indonesia—sekarang ISI—di Bandung selama setahun, sebelum pindah ke Kota Gudeg pada 2004 untuk mengambil studi ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Di luar pendidikan formalnya, Basbeth berkesempatan menimba ilmu di Asian Film Academy (AFA) di Busan, Korea Selatan, dan memenangkan BFC & SHOCS Scholarsip Fund pada 2011. Lalu, setahun setelahnya, Basbeth terpilih dalam program Berlinale Talent Campus yang diadakan Berlinale International Film Festival di Jerman.

Selain dari lembaga resmi, Basbeth juga berguru pada dua sosok untuk memantapkan teorinya dalam film: Hanung Bramantyo dan Garin Nugroho.

“Kedua orang ini guru saya ketika mempelajari film,” aku Basbeth. “Pengaruh mereka cukup besar bagi film-film saya.”

Kompromi Adalah Kunci

Tak bisa dipungkiri, saya cukup kaget melihat Basbeth membikin Mencari Hilal. Pasalnya, bila dibandingkan film yang pertama, gaya Mencari Hilal sangatlah jauh berbeda: tak ada ekspresi visual yang njlimet serta kisahnya cenderung mudah dicerna dan lebih populer di mata orang awam.

Rupanya, memang seperti itulah gaya sinematik seorang Basbeth. Meski begitu piawai mengolah narasi di ranah independen, ia juga tak canggung ketika memasuki wilayah mainstream dan komersil. Tidak banyak sutradara di Indonesia yang bisa melakukan apa yang Basbeth lakukan. Dan bagi Basbeth, pencapaian tersebut merupakan bagian dari proses kreatifnya.

“Aku melihat [proses] film dalam tiga sudut pandang. Sebagai artistik, yang berada di tengah-tengah, serta film sebagai komersil,” terangnya.

infografik Ismail Basbeth

infografik Ismail Basbeth

Film sebagai artistik, Basbeth bilang, merupakan proses di mana film menjadi perwujudan visi maupun eksperimen seorang sutradara. Kemudian film yang berada di tengah adalah proses di mana sutradara bekerjasama dengan produser untuk merealisasikan ide-ide yang ada di kepala. Yang terakhir, film sebagai komersil berpijak pada argumen bahwa film sengaja dibikin guna memenuhi ambisi dan keinginan produser.

“Kalau artistik itu ada Another Trip to the Moon dan Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran. Film di tengah ada Mencari Hilal. Lalu untuk film sebagai komersil, ada Talak 3 dan Arini,” tuturnya.

Di saat bersamaan, metode yang dipakai Basbeth ini juga memperlihatkan bagaimana dirinya berkompromi terhadap arus idealisme yang mengalir deras di kepala. Menurutnya, kompromi adalah cara untuk adaptasi sekaligus bertahan di tengah industri yang melibatkan banyak kepentingan—serta perputaran uang yang cukup besar.

“Kompromi itu wajar selama kita enggak menjualnya semata demi uang. Kalau kamu menjual idealisme hanya demi uang, itu yang bermasalah," tegasnya.

Memilih jalan kreatif semacam ini tentu tak selamanya berlangsung dengan mulus. Basbeth sering dirisak oleh para koleganya di satu lingkaran: dianggap oportunis, tak konsisten, serta hanya mementingkan pundi-pundi uang belaka. Contoh jelasnya Basbeth alami kala membikin Arini, film remake yang diadaptasi dari novel karangan Marga T.

“Aku pernah dibilang cuma cari uang ketika bikin Arini. Aku jawab ke mereka, ‘Lho, memang aku cari uang di film ini. Masalahnya di mana?’” jelasnya. “Yang penting, kan, aku profesional dan membuat [film] ini dengan cara yang benar.”

Ihwal bekerja secara profesional untuk menghasilkan uang ini diakui Basbeth merupakan salah satu jalan dalam mewujudkan kemerdekaan. Dalam perspektif Basbeth, seorang seniman setidaknya harus punya dua kemerdekaan: finansial dan pikiran. Kedua elemen ini, Basbeth menyatakan, "saling berkelindan dan mempengaruhi."

"Itu yang membuat saya tidak ragu untuk [bekerja] mendapatkan uang, selama tidak mencederai kemerdekaan satunya," tegas Basbeth.

Tak cuma berpotensi dirisak dan dipertanyakan motifnya dalam membikin film, Basbeth mengaku bahwa tak semua karyanya, entah yang dibalut secara artistik maupun sengaja dibuat untuk mendulang keuntungan, laku di pasaran.

“Film-filmku itu enggak semuanya laku, bung,” tegasnya. “Tapi, toh, ukuran film bisa disebut bagus atau enggak, kan, bukan itu. Bagiku, film yang bagus itu adalah film yang dibuat dengan dasar ilmu pengetahuan, dibuat dengan teori.”

Menyambut Fase Kedua

Perjalanan karier Ismail Basbeth dibagi ke dalam dua fase. Sepuluh tahun pertama, antara 2008 sampai 2018, merupakan periode di mana ia mencari gaya, berproses dengan melibatkan banyak kepala, serta meletakan fondasi untuk mimpi-mimpi yang hendak dicapai berikutnya.

“Untuk 10 tahun pertama ini bisa dibilang aku sudah lulus. Berbagai kesempatan dan peluang yang berkontribusi dalam pembentukan karierku sudah aku jajaki,” tuturnya.

Warsa 2019, kata Basbeth, menandai dimulainya fase kedua dalam kariernya sebagai sutradara dan seniman. Di fase ini, Basbeth ingin menjalankan semuanya berdasarkan visinya sendiri, tanpa campur tangan pihak lain. Modal Basbeth: kemerdekaan, ruang tak terbatas, dan, yang dianggap paling krusial, institusi.

Untuk institusi, Basbeth memiliki Matta Cinema dan Bosan Berisik Lab. Masing-masing punya wilayah kerjanya sendiri. Matta Cinema merupakan production house berbasis audience. Sedangkan Bosan Berisik Lab difungsikan untuk film-film yang mengedepankan sisi artistik dan ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain, mengutip ungkapan yang populer di masa kini, “film-film art house.”

Dengan segala bekal yang sudah didapatkannya, Basbeth ingin terus mencari tahu seberapa jauh kemampuannya dapat berkembang dan seberapa banyak kemungkinan-kemungkinan yang bisa ia peroleh. Ia tak ingin (kreasinya) terbentur tembok: ia ingin terus melaju, menerabas sekat-sekat yang ada.

“Karena pada dasarnya aku percaya bahwa ada sesuatu yang besar di dalam diri Ismail Basbeth,” ucapnya optimistis. “Aku ingin mewujudkannya.”

Baca juga artikel terkait SUTRADARA FILM atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Film
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono