Menuju konten utama
Sejarah G30S 1965 & PKI

Isi TAP MPRS No. 25/1966 Terkait PKI: Apa Saja yang Dilarang?

Apa saja yang dilarang dalam TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 terkait PKI usai peristiwa G30S 1965?

Isi TAP MPRS No. 25/1966 Terkait PKI: Apa Saja yang Dilarang?
Pendukung PKI dalam Pemilu 1955. FOTO/commons.wikimedia.org/web.archive.org

tirto.id - Presiden Republik Indonesa ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, berkehendak mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Apa saja sebenarnya yang dilarang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut?

Faisal Ismail dalam buku NU: Moderatisme dan Pluralisme (2020) menuliskan, alasan Gus Dur bermaksud mencabut Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 karena ingin menghapus diskriminasi politik yang selama ini menghantui keturunan eks-PKI.

Dalam keyakinan Gus Dur, tulis Faisal Ismail, semua warga negara memiliki hak politik yang sama tanpa harus terbebani dengan apa yang dilakukan pendahulunya.

Namun, sikap Gus Dur itu ditentang dan mendapat penolakan dari sejumlah pihak, salah satunya dari Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI.

Belum lama ini, tepatnya akhir Maret 2022 lalu, isi TAP MPRS No.25 Tahun 1966 kembali menjadi perhatian publik usai Panglima TNI Jenderal TNI, Andika Perkasa, mengatakan bahwa keturunan anggota PKI boleh ikut dalam seleksi calon prajurit.

Menurut Andika Perkasa, yang dilarang itu adalah PKI, ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme, bukan keturunan PKI. Panglima TNI melanjutkan, apabila panitia seleksi menggagalkan calon prajurit karena alasan tersebut, maka keputusan itu tidak memiliki dasar hukum.

“Zaman saya tidak ada lagi (larangan terkait) keturunan. Tidak, karena saya menggunakan dasar hukum,” tegas Andika Perkasa seperti dikutip dari Antara News.

TAP MPRS No. 25/1966 Ditetapkan Usai G30S 1965

Ketetapan MPRS No. 25 Tahun 1966 dirumuskan beberapa bulan setelah terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang disebut-sebut melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sejumlah unsur militer.

Peristiwa berdarah ini menyebabkan kematian sejumlah perwira militer yang kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.

G30S 1965 atau yang kerap disebut pula dengan istilah Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965 bermula dari ketidakharmonisan yang terjadi di antara dua kekuatan di lingkungan dekat Presiden Sukarno, yakni PKI dan Angkatan Darat (AD).

Sampai saat ini, tragedi G30S 1965 memang masih menjadi tanda tanya besar, terlebih mengenai siapa dalang di balik peristiwa ini.

Seperti dikutip dari buku Membongkar Supersemar: Dari CIA Hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2007: hlm 220), sejarawan Baskara T. Wardaya menulis, pada tanggal 1 Oktober 1965, ada sebuah kelompok yang menamakan diri "Gerakan 30 September".

Mereka menculik dan membunuh enam orang Jenderal, termasuk Panglima AD. Gerakan itu juga mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi dan membubarkan Kabinet.

Namun demikian, percobaan kudeta ini bisa diatasi oleh Angkatan Darat pimpinan Soeharto, yang kemudian mengangkat dirinya sebagai Panglima AD. Peristiwa itu terjadi berlangsung pada saat Soeharto ingin berkuasa.

Militer, tulis Baskara, mengambil keuntungan dari keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September dan menuduh pihak Komunis yang bertanggungjawab penuh terhadap percobaan kudeta tersebut. Militer juga menghancurkan PKI dan membubarkannya.

Beberapa perwira tinggi AD yang diculik pada malam 30 September atau dini hari 1 Oktober 1965, termasuk Letjen Ahmad Yani, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen Siswondo Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, serta Mayjen Suprapto, diculik dan kemudian ditemukan meninggal dunia di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Kapten Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris (A.H.) Nasution, juga putri sang jenderal yakni Ade Irma Suryani, turut menjadi korban meninggal dunia, selain seorang polisi yang bertugas sebagai pengawal Wakil Perdana Menteri Dr. I. Leimena, yakni Bripka Karel Sadsuitubun.

Dari insiden berdarah itulah kemudian TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 ditetapkan oleh Ketua MPRS, Jenderal TNI A.H. Nasution pada 5 Juli 1966. Jenderal A.H. Nasution sebenarnya juga menjadi sasaran penculikan, namun ia selamat dan lolos dari pembunuhan.

Apa Saja yang Dilarang dalam Isi TAP MPRS No. 25/1966?

TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 mengatur tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Berdasarkan isi Pasal 2, TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 melarang setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segara bentuk dan manifestasinya.

Sedangkan di Pasal 3 tertulis, khusus untuk kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin.

Berikut ini isi TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 selengkapnya:

Pasal 1

Menerima baik dan menguatkan kebijaksanaan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerahan beserta semua organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No. 1/3 1966 dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS.

Pasal 2

Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segara bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta Media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang.

Pasal 3

Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR, diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.

Pasal 4

Ketentuan-ketentuan di atas, tidak mempengaruhi landasan dan sifat bebas aktif dunia politik luar negeri Republik Indonesia.

Baca juga artikel terkait TAP MPRS NOMOR 25 TAHUN 1966 atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya