Menuju konten utama

Isi Pasal 368 - 371 KUHP Tentang Tindak Pidana Pemerasan & Ancaman

asal di Indonesia yang mengatur tentang tindak pidana pemerasan dan pengancaman adalah pasal 368, 369, 370, dan 371 KUHP.

Isi Pasal 368 - 371 KUHP Tentang Tindak Pidana Pemerasan & Ancaman
Ilustrasi Penegakan Keadilan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pemerasan dan ancaman termasuk tindak kejahatan yang pelakunya bisa dikenai sanksi pidana. Pasal di Indonesia yang mengatur tentang tindak pidana pemerasan dan pengancaman adalah pasal 368, 369, 370, dan 371 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 368-371 tertuang dalam Bab XXIII Buku 2 KUHP tentang Pemerasan dan Pengancaman. Keempat pasal KUHP tersebut mengatur jenis dan lama hukuman yang bisa dijatuhkan kepada pelaku pemerasan.

KUHP sendiri merupakan landasan untuk menegakkan hukum pidana di Indonesia. KUHP awalnya merupakan produk hukum peninggalan Hindia Belanda yang dikenal dengan nama Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch Indie (WvSNI).

Setelah Indonesia merdeka, para pendiri negara mulai merancang ulang WvSNI. Hal ini karena beberapa pasalnya dianggap masih mengandung unsur-unsur kolonial, seperti soal penggunaan mata uang gulden hingga kerja rodi.

WvSNI yang sudah mengalami penyesuaian akhirnya disahkan kembali sebagai KUHP pada 1946 melalui Undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 1946.

Isi Pasal 368 - 371 KUHP Tentang Pemerasan dan Pengancaman

Isi pasal 368 - 371 mengatur tentang tindak pidana pemerasan dan pengancaman. Pasal 368 dan 369 terdiri dari dua ayat yang berisi penjelasan terkait tindak pidana pemerasan dan pengancaman serta hukuman bagi pelaku.

Sedangkan pasal 370 dan 371 berisi satu ayat yang menjelaskan bahwa pelaku kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 368 dan 369 dapat dikenakan pidana sesuai dengan pasal 367 dan pasal 35 nomor 1 - 4.

Berdasarkan dokumen KUHP yang diunggah oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, berikut isi atau bunyi pasal 368 - 371 KUHP:

1. Isi dan Penjelasan Pasal 368 dan 369 KUHP

Isi pasal 368 KUHP terdiri dari dua ayat dengan bunyi sebagai berikut:

(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

(2) Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Isi pasal 369 KUHP juga terdiri dari dua ayat dengan bunyi sebagai berikut:

(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan.

Berdasarkan kedua pasal di atas tampak bahwa ada perbedaan antara tindak pemerasan dengan pemaksaan. Pemerasan dilakukan dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan untuk memberikan barang atau hal lain.

Di sisi lain, pemaksaan dilakukan dengan cara mengancam korban akan mencemarkan nama baik dan membuka rahasia korban.

Baik dalam pasal 368 dan 369 sama-sama memuat unsur memaksa. Menurut Mohammad Kenny Alweni dalam jurnal Lex Crimen (2019), istilah memaksa dalam hal ini adalah menekan seseorang sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri.

Artinya, korban pemerasan dan pengancaman tidak ingin menyerahkan benda, memberi hutang, maupun menghapuskan piutang. Pemerasan maupun ancaman dilakukan oleh pelaku agar korban dapat dikalahkan atau ditundukkan sehingga pelaku terpenuhi kehendaknya.

Oleh karena itu, tindak pemerasan maupun pengancaman dapat membawa akibat bagi korban, termasuk perasaan takut, cemas, dan tidak berdaya. Kondisi tersebut menyebabkan korban akhirnya menyerahkan benda atau hal lain sesuai dengan keinginan si pelaku.

2. Isi dan Penjelasan Pasal 370 dan 371 KUHP

Pasal 370 dan 371 KUHP juga dibahas dalam Bab XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman. Berikut bunyi kedua pasal KUHP tersebut:

Pasal 370 KUHP:

Ketentuan pasal 367 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang dirumuskan dalam bab ini.

Pasal 371 KUHP:

Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam bab ini dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal 35 nomor 1 - 4.

Baik pasal 370 dan 371 melibatkan pasal dari bab lain di KUHP, yaitu pasal 367 dan pasal 35 nomor 1 sampai 4. Pasal 367 sendiri masuk ke dalam Bab XXII tentang Pencurian.

Pasal tersebut mengatur tata cara pemidanaan bagi pelaku tindak pidana yang merupakan keluarga atau pasangan yang sah secara hukum. Beberapa poin yang diatur dalam pasal 367 KUHP antara lain:

  1. Jika pelaku dan pembantu tindak pidana adalah suami atau istri korban yang tidak terpisah meja, ranjang, maupun harta kekayaan, maka tidak mungkin diadakan tuntutan pidana terhadap pelaku.
  2. Jika adalah suami atau istri yang terpisah meja, ranjang, atau harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda dari garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka pelaku akan dituntut jika ada pengaduan dari korban.
  3. Jika menurut lembaga matriarkal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain dari pada bapak kandung sendiri, maka dua ketentuan pertama berlaku juga bagi pelaku.

Sementara itu, pasal 35 KUHP mengatur hak-hak apa saja yang bisa dicabut apabila pelaku terbukti melakukan tindak pidana kejahatan. Pasal ini sebenarnya mengatur 6 jenis hak, namun dalam konteks pasal 371 KUHP hanya 4 poin pertama yang berlaku.

Berikut isi hak-hak pelaku tindak pidana yang bisa dicabut sesuai pasal 35 nomor 1 sampai 4:

  1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
  2. hak memasuki angkatan bersenjata;
  3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
  4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.

Baca juga artikel terkait KUHP atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Iswara N Raditya