Menuju konten utama

ISESS: Polisi Jadi Daya Tarik untuk Memperbesar Pengaruh

Khairul Fahmi khawatir keberadaan para polisi di kursi pemerintahan akan menimbulkan militerisme lewat polisi dengan konsep police state atau negara polisi

ISESS: Polisi Jadi Daya Tarik untuk Memperbesar Pengaruh
Petugas kepolisian berjaga di depan pintu masuk kantor DPP Partai Golkar, di Jalan Anggrek Neli, Jakarta, Rabu (4/9/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.

tirto.id - Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengritik peran serta polisi dalam politik Indonesia. Fahmi pun menganggap polisi sudah mulai mengisi sendi-sendi organisasi eksekutif dalam 20 tahun terakhir.

"Di tengah keriuhan yang merebak seiring proses seleksi calon pimpinan KPK dan agenda perubahan UU komisi antirasuah itu, sorotan tertuju pada institusi Polri. Terutama menyangkut banyaknya perwira tinggi Polri yang menduduki jabatan pimpinan tinggi di sejumlah lembaga pemerintah. Sesuatu yang saya juga sebenarnya sudah ikut memprediksi dan mengkhawatirkannya sejak lama," kata Fahmi dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Rabu (18/9/2019).

Institusi polisi memang disorot setelah Firli Bahuri, jenderal bintang dua Polri, terpilih sebagai ketua KPK. Firli mengikuti jejak rekan-rekannya di polisi yang aktif dalam kementerian dan lembaga di Indonesia.

Sebelum Firli, pemerintah telah mengangkat Jenderal (Purn) Budi Gunawan, mantan Wakil Kapolri April 2015-September 2016. Budi kini menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Selain Budi Gunawan, ada mantan Kabareskrim Komjen Budi Waseso yang kini menjadi Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog). Sebelumnya, Buwas sempat menduduki kursi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).

Alumni Akpol lain yang duduk di kursi pemerintahan adalah Komjen Heru Winarko, ia adalah mantan Deputi Penindakan KPK. Heru kini menjadi Kepala BNN. Jabatan strategis lain yang diisi polisi adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Suhardi Alius.

Eks Wakapolri, Komjen Syafruddin, juga turut meramaikan roda pemerintahan. Ia kini menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Nasional dan Reformasi Birokrasi menggantikan Asman Abnur.

Fahmi memandang, politik masih menjadi ajang perebutan kekuasaan. Menurutnya, keruntuhan Orde Baru tidak serta-merta membebaskan Indonesia dari konsep militer, tapi justru membangun kelompok baru bernama polisi.

"Di tengah menguatnya pragmatisme pada perangkat-perangkat demokrasi dan praetorianisme di tubuh militer, muncul lah kekuatan alternatif bernama Polri. Jalan demokrasi yang kita tempuh memang memberikan mandat penuh bagi mereka sebagai penegak hukum dan keamanan dalam negeri," kata Fahmi.

Para jenderal polisi, baik yang masih aktif maupun pensiunan, kini muncul di tengah pusaran kekuasaan. Fahmi yakin para jenderal turut menjadi pilar-pilar penopang kekuasaan melalui lembaga-lembaga negara dan pemerintahan.

Fahmi pun menyampaikan, peran polisi sebagai penegak hukum menjadi magnet bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan memperbesar pengaruh kekuasaan. Ini artinya, penguasa sedang menggoda polisi untuk terlibat dalam politik praktis.

Dalam pandangan Fahmi, polisi bisa dijadikan sebagai alat untuk 'mengamankan' kepentingan mereka. Dengan segala kewenangan polisionilnya, mereka bisa mengelola rasa takut dan kepatuhan di seantero negeri.

Fahmi khawatir, jalan demokrasi Indonesia justru mengarah kepada negara polisi yang lebih berbahaya karena kekuasaan mengontrol masyarakat. Hal ini menjauhkan Indonesia dari semangat demokrasi.

"Pilihan jalan demokrasi yang kita tempuh melalui reformasi 1998, bukan hendak membawa kita keluar dari militerisme, praetorianisme dan fasisme untuk jatuh ke dalam kolaborasi oligarki, otoritarianisme baru dan "Police State"," kata Fahmi.

"Police state, negara polisi. Suatu kondisi negara di mana penguasa memelihara kekuasaan dengan jalan mengawasi, menjaga, dan mencampuri lapangan kehidupan rakyat dengan alat kekuasaan. Tak usah jauh-jauh melihat contoh. Hindia Belanda adalah contoh yang nyata dan dekat. Sangat dekat dengan sejarah kita. Jangan lupa!," tandasnya.

Baca juga artikel terkait POLISI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Widia Primastika