Menuju konten utama

Ironi Unsyiah: Dosen Kritik Seleksi CPNS Malah Dipolisikan Dekan

Dosen Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Aceh, dijerat UU ITE karena mengkritik proses seleksi CPNS perguruan tinggi.

Ironi Unsyiah: Dosen Kritik Seleksi CPNS Malah Dipolisikan Dekan
ilustrasi uu ite

tirto.id - Saiful Mahdi, seorang dosen tetap di Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala, Aceh, mungkin tak menyangka pesannya di grup WhatsApp "Unsyiah KITA" pada Maret 2019 akan berbuntut ke polisi.

Kasus ini bermula saat rekannya yang dikenal kompeten dan pandai, dinyatakan tak lulus seleksi CPNS awal 2019 silam. Saiful merasa heran dan berusaha mengulik hasil penilaian berdasarkan kemampuan statistik dan ilmu matematika yang ia miliki.

Rupanya, sang rekan lulus di semua tes, kecuali pada tes kemampuan dasar atau tes tertulis. Raihan nilainya pun hanya kurang 0,50 persen dari ambang batas kelulusan.

"Kekurangan 0,50 persen itu harus di-publish, mana lembar jawaban yang bisa dihitung, sehingga [bisa dibuktikan] dia betul-betul kekurangan nilai," tutur Syahrul, Direktur LBH Banda Aceh yang memberikan pendampingan hukum terhadap Saiful, saat dihubungi reporter Tirto, Ahad (1/9/2019).

Saiful kemudian menyampaikan kegusarannya itu ke grup WhatsApp "Unsyiah KITA", yang beranggotakan sekitar 100 pengajar di Unsyiah. Pada pertengahan April 2019, ia menulis:

"Innalillahiwainnailaihirajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!! Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen hanya pada medioker atau yang terjerat “hutang” yang takut meritokrasi."

Grup itu sebenarnya hanya sarana diskusi antardosen. Ada semacam "ketentuan tak tertulis" bahwa tiap obrolan di grup tak boleh dibawa keluar.

Namun, pesan itu ternyata tersebar hingga sampai ke Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufiq Saidi. Taufiq lantas melaporkan Saiful ke senat universitas. Pada 18 Maret 2019, senat memanggil Saiful guna meminta klarifikasi.

Pada 6 Mei 2019, Rektor Unsyiah Samsu Rizal mengirim surat untuk Saiful. Intinya, rektor menganggap Saiful melanggar etik dan memintanya menyampaikan permohonan maaf di Grup WhatsApp "Unsyiah KITA" dan "Pusat Riset dan Pengembangan" dalam waktu 1x24 jam sejak surat diterima.

Merasa tak bersalah, Saiful mengirim surat balasan pada 15 Mei 2019. Ia intinya menyatakan keberatan atas vonis pelanggaran etik yang diberikan lantaran ia merasa tak pernah menjalani sidang etik.

Dua bulan berselang, Saiful kembali mendapat surat, tapi kali ini datang dari Polres Banda Aceh. Saiful diminta hadir untuk diperiksa sebagai saksi terlapor pada 4 Juli 2019. Dekan Taufiq Saidi rupanya melaporkan Saiful atas tuduhan tindak pidana pencemaran nama baik dengan menggunakan sarana elektronik.

Ia diduga melanggar pasal 27 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Saiful dipanggil lagi sebagai saksi pada 11 Juli 2019.

Empat hari lalu, surat pemanggilan dari kepolisian kembali ia terima. Saiful diperiksa Senin (2/9/2019). Hanya saja, dalam surat itu ia telah ditetapkan sebagai tersangka.

Sahrul, selaku pendamping Saiful, tentu menilai kasus ini sebagai ironi. Sebab, perguruan tinggi harusnya jadi laboratorium pemikiran yang menjamin perbedaan pendapat. Alih-alih melaporkan ke polisi, kampus justru harus mengembangkan pemikiran kritis di kalangan mahasiswa dan dosennya.

"Namun dengan kejadian ini, kampus Unsyiah malah menjadi pelaku kriminalisasi terhadap kebebasan-kebebasan akademis yang semestinya menjadi tanggung jawab peradaban perguruan tinggi," ujarnya.

Penjelasan Taufiq Saidi

Pada kesempatan terpisah, Taufiq Saidi mengaku tak ingin membawa kasus ini ke ranah hukum. Mediasi antara dirinya dan Saiful, kata Taufiq, sudah beberapa kali di lakukan di antaranya yang digelar komite etik Unsyiah dan terakhir digelar di Polresta Banda Aceh saat kasus dalam proses penyelidikan.

Dari hasil mediasi, kata Taufiq, Saiful sudah menerima penjesan bahwa seleksi CPNS tidak dilakukan kampus, melainkan kementerian. Karenanya, tudingan Syaiful di grup Whatsapp yang menyasar pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah salah sasaran.

"Jadi saran rekomendasi komisi etik hanya Pak Saiful diminta meminta maaf di grup Whatsapp saja," kata Taufiq saat dihubungi reporter Tirto, Senin (2/9/2019).

Namun, kata Taufiq, Saiful menolak meminta maaf dan ia juga enggan disalahkan apalagi dituduh macam-macam karena ketidaklulusan seorang dosen. Taufiq akhirnya membawa kasus ini ke kepolisian dengan harapan Saiful dapat membuktikan tuduhannya.

Kapolresta Banda Aceh, Kombes Trisno Riyanto pun mengakui polisi pernah memediasi kedua belah pihak tapi tak menemui titik temu. Akhirnya, Trisno bilang, polisi pun menangani laporan Taufiq sesuai standar yang berlaku.

"Jadi kami masih terus melakukan penyidikan, kami sudah melakukam gelar perkara," ujar Trisno kepada reporter Tirto, kemarin.

Dalam proses itu, kepolisian telah memanggil ahli bahasa maupun ahli teknologi informatika untuk menjelaskan kasus ini. Akhirnya, polisi menyimpulkan memang ada tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik sehingga perkara ditingkatkan ke penyidikan. Saiful pun ditetapkan sebagai tersangka.

UU ITE Perusak Demokrasi

Ketua Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad menyebut kasus ini menjadi bukti UU ITE telah merusak tidak hanya demokrasi, tapi juga relasi personal dan profesional seseorang. Soalnya, tak ada niatan Saiful mencemarkan nama baik seseorang dalam kasus ini.

Arsyad menyebut, Saiful tak sama sekali menyebut nama seseorang dalam pesan di grup WhatsApp dan dianggap sebagai biang masalah. Oleh karena itu, Arsyad menyebut, kasus ini hanya kesalahpahaman yang sebenarnya bisa diselesaikan lewat dialog. Namun, karena adanya pasal karet itu, semua urusan kesalahpahaman dan ketersinggungan berpotensi berujung penjara.

Berdasar catatannya, ini bukan kasus yang pertama. Di Kalimantan, ada pula dosen yang dilaporkan dengan UU ITE karena mengkritik kebijakan kampusnya. Lalu ada pula orang yang dilaporkan saudara iparnya karena menagih utang Rp450 juta lewat Facebook.

"Kalaupun hasilnya orang itu dihukum bersalah apakah akan mengembalikan hubungan sesama manusia seperti antarsaudara atau hubungan antardosen ini? Jadi ini tidak menyelesaikan masalah" kata Arsyad.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Hendra Friana & Mufti Sholih