Menuju konten utama

Ironi Predator di Rumah Aman dan Negara yang Gagal Lindungi Korban

Kasus Lampung Timur membuktikan negara gagal melindungi korban kekerasan seksual.

Ironi Predator di Rumah Aman dan Negara yang Gagal Lindungi Korban
Ilustrasi anak korban kekerasan seksual. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sempat melarikan diri, Dian Ansori akhirnya menyerahkan diri ke Polda Lampung pada 10 Juli 2020. Ia memerkosa seorang perempuan, NV, berusia 13, saat tengah berlindung di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. NV dikirim ayahnya ke sana karena berstatus korban pemerkosaan.

Polisi menyebut Dian Ansori sebagai Kepala P2TP2A Kabupaten Lampung Timur, lembaga yang ironisnya didirikan untuk “melindungi perempuan dan anak dari berbagai jenis diskriminasi dan tindak kekerasan.” Namun menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Nahar, Dian hanya anggota biasa. “Anggota divisi pelayanan medis dan hukum,” ujar Nahar kepada reporter Tirto, Rabu (15/7/2020). “Dia juga bukan ASN.”

Setelah diketahui bahwa Dian Ansori memang melakukan pemerkosaan kepada NV, dia dinonaktifkan sebagai anggota. Ini hasil koordinasi Kemen PPPA dengan pemerintah kabupaten Lampung Timur. “Menteri PPPA juga mengatakan kalau dia melanggar hukum, tegakkan saja hukum,” ujar Nahar.

Kemen PPPA mendaku telah memastikan korban tetap mendapatkan perlindungan dan pendampingan. Setelah kejadian tersebut, NV ditempatkan di rumah aman Dinas PPPA Provinsi Lampung. “Dilayani dan didampingi oleh petugas rumah aman,” ujarnya.

Status P2TP2A Lampung Timur

Nahar menjelaskan lebih jauh posisi P2TP2A Lampung Timur. Ia mengatakan badan ini sebenarnya sudah tidak ada. Ia sedang masa transisi untuk menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PAA). Proses transisi tak mulus karena terganjal masalah pada akhir 2019.

Karena UPTD belum dibentuk, unit pelayanan belum memiliki rumah aman. Oleh sebab itulah NV ditampung sementara di rumah anggota, yang salah satunya Dian Ansori. (Pemerkosaan terjadi saat itu. Selain oleh Dian Ansori sendiri, NV 'dijual' pula ke orang lain. NV terakhir kali diperkosa pada 28 Juni 2020.)

NV sendiri tetap bisa dikirim ke P2TP2A Lampung Timur karena “pada saat itu UPTD belum disahkan, maka P2TP2A masih melaksanakan tugas.”

Dalam masa transisi ini, kata Nahar, semua tanggung jawab dikembalikan kepada pemerintah daerah. “Karena pembentukannya oleh kepala daerah, lalu di dalam pembentukan itu ditegaskan bahwa dikelola masyarakat bekerja sama dengan pemerintah daerah,” ujarnya.

Nahar menjelaskan pergantian P2TP2A menjadi UPTD PPA karena Permen PPPA Nomor 5/2010 dan Permen PPPA Nomor 6/2015 telah dicabut, diganti oleh Permen PPPA 4/2018. Peraturan baru itu mengharuskan masing-masing daerah membentuk UPTD PPA. Dijelaskan pula anggarannya menjadi domain daerah.

“Sepenuhnya sudah tanggung jawab daerah. Pusat menganggap sudah tidak ada,” ujarnya.

Pemerkosaan yang dilakukan Dian Ansori membuat proses transisi P2TP2A ke UPTD PPA Lampung Timur menjadi cepat. “Karena memang prosedurnya sudah ditempuh. Lampung Timur sudah punya surat keputusan untuk pembentukan UPTD.”

Kewajiban Bersama

Komisioner Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan Siti Aminah mencoba memahami status transisi tersebut. Namun terlepas dari itu, ia tetap mendorong peran baik pemerintah pusat dan daerah untuk tetap menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan seksual. “Saya pikir semua pihak memiliki kewajiban saling menguatkan P2TP2A, rumah aman, agar kepentingan pelayanan perempuan dan anak bisa maksimal,” ujarnya kepada reporter Tirto.

Ia juga mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kompetensi para petugas di rumah aman maupun staf yang bekerja di P2TP2A. Evaluasi mulai dari tahap perekrutan, kompetensi, standar operasional prosedur, hingga sarana prasarana yang tersedia. Orang-orang yang bertugas di sana semestinya “bukan sembarang ASN, tapi yang menyadari dan memahami secara benar tugas dan fungsinya sebagai representasi negara untuk melindungi korban.”

Sementara Koordinator Advokasi Ending the Sexual Exploitation of Children (ECPAT) Indonesian Rio Hendra mendesak pemerintah menyusun pedoman kebijakan pelindungan di lembaga layanan yang berhubungan langsung dengan anak. Ini penting karena dalam kasus Lampung Timur, perekrutan anggota terbukti buruk.

“Apakah tidak ada seleksi ketat dalam perekrutan staf yang akan bekerja? Menurut penjelasan Kemen PPPA pelaku diangkat melalui surat keputusan Bupati Lampung Timur,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto.

Lebih lanjut, menurutnya pemerintah harus memberikan kompensasi untuk korban sebagai konsekuensi gagal melindungi dari kekerasan dan eksploitasi seksual di lembaga yang semestinya aman dan ramah anak.

“Mekanisme restitusi dalam kasus ini harus segera dijalankan dari awal proses hukum agar hak korban bisa terealisasi dan pelaku ikut bertanggung jawab dalam memenuhi hak-hak korban,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino