Menuju konten utama

Ironi Pertumbuhan Ekonomi yang Hanya Dinikmati Segelintir Orang

Kekayaan 50 orang terkaya Indonesia ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi dalam setahun terakhir. Sayangnya, hal itu tak berlaku bagi kelas menengah ke bawah.

Ironi Pertumbuhan Ekonomi yang Hanya Dinikmati Segelintir Orang
Alat berat dioperasikan untuk bongkar buat peti kemas di New Priok Container Terminal One (NPCT1), Jakarta Utara, Jumat (13/4/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Forbes Indonesia resmi merilis daftar orang terkaya di Indonesia 2018. Penilaian itu disusun berdasarkan informasi kepemilikan saham dan keuangan yang didapatkan dari keluarga dan individu, bursa efek, laporan tahunan, dan analis.

Dalam catatan Forbes tahun ini, nilai aset bersih minimum dalam Forbes Indonesia Rich List adalah 600 juta dolar AS, naik sebesar 150 juta dolar AS dari aset minimum tahun 2017 dan merupakan pencapaian tertinggi sejak tahun 2013.

Aset bersih 50 orang terkaya Indonesia itu juga mencetak rekor baru dengan total nilai 129 miliar dolar AS atau naik 3 miliar dolar AS dari tahun lalu. Peningkatan kekayaan itu ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan pasar modal setahun terakhir yang tumbuh sebesar 4,4 persen.

Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manan membenarkan bila orang-orang kaya di Indonesia merupakan kelompok utama yang menikmati pertumbuhan ekonomi di tanah air. Hal ini diketahui dari distribusi kekayaan dan pengeluaran.

Berdasarkan lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, kata Manan, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46 persen kekayaan di tingkat nasional. Menurut dia, hal ini menjadi pertanda adanya ketimpangan distribusi kekayaan.

Padahal secara year on year, kata Manan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan. Misalnya pada triwulan II dan III tahun 2017, dari 5,01 persen dan 5,06 persen menjadi 5,27 persen dan 5,17 persen di tahun 2018.

“Ini menunjukkan bahwa yang menikmati pertumbuhan ekonomi adalah mereka yang memiliki faktor produksi terutama modal dan akses sumber daya alam,” kata Manan kepada reporter Tirto, Kamis (13/12/2018).

Faktor lain, kata Manan, dapat diketahui dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang menjadi indikator ketimpangan pengeluaran masyarakat di Indonesia.

Data itu, kata Manan, menunjukkan 20 persen penduduk dengan pendapatan tinggi atau terkaya di Indonesia berkontribusi pada 46,60 persen pengeluaran nasional.

Sementara 40 persen penduduk kelas menengah dan 40 persen lainnya di kelas terbawah, masing-masing hanya berkontribusi 39,93 persen dan 16,47 persen dari pengeluaran nasional.

Menurut Manan, hal itu disebabkan lantaran mereka yang kaya bergerak di bidang korporasi besar. Mereka kerap diuntungkan saat harga minyak dunia naik karena mampu menaikan harga untuk menyeimbangkan naiknya biaya produksi.

Sebaliknya, kata Manan, konsumen yang berada di kelas menengah dan terbawah akan menerima akibat dari tingginya harga jual itu.

“Dari situ kita bisa lihat memang siapa saja yang menikmati pertumbuhan ekonomi tadi. Ya orang kaya yang bergerak di korporasi. Jadi masyarakat di kelas menengah ke bawah yang tidak bergerak di bidang itu, tidak menikmati naiknya pertumbuhan ekonomi,” kata Manan.

Pendapat serupa diungkapkan Direktur Riset Center of Economics and Reform (CORE) Indonesia Piter Abdullah. Ia menilai mereka yang memiliki akses modal merupakan orang yang menikmati pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Hal tersebut, kata dia, disebabkan sistem ekonomi Indonesia yang memiliki basis suku bunga tinggi.

Di saat kekayaan para pemilik modal meningkat, kata Piter, banyak orang kesulitan mengakses modal untuk memulai usaha atau membangun korporasi. Sebab, suku bunga tinggi berimplikasi pada mahalnya biaya pengembalian modal tersebut.

Akibatnya, kata dia, pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan oleh mereka yang tidak memiliki modal cukup.

“Rezim suku bunga dalam ekonomi kita ini memanjakan pemilik modal. Dari kue pertumbuhan ekonomi itu, mereka akan mendapat yang terbesar. Yang tidak punya akses modal hanya mendapat sedikit bahkan tidak sama sekali,” kata Piter kepada reporter Tirto, Jumat (14/12/2018).

Belum lagi, kata Piter, kehadiran korporasi yang dinilainya mampu melipatgandakan kekayaan mereka yang memiliki modal. Dengan demikian, kata dia, tidak mengherankan bila pertumbuhan kekayaan pemilik modal dapat melaju lebih cepat dibanding pertumbuhan ekonomi Indonesia itu sendiri.

Hal ini terkonfirmasi oleh data lembaga penelitian Oxfam yang dirilis pada 2017. Temuan itu menyatakan bahwa 4 orang terkaya di Indonesia memiliki harta lebih banyak dibanding gabungan harta 100 juta penduduk miskin di Indonesia.

Piter menilai angka tersebut wajar dan telah terjadi di banyak negara. Namun, ia mengatakan, hal itu perlu dikritisi dengan membenahi sistem yang kerap memberikan kesempatan hanya bagi mereka yang memiliki kekayaan.

Kebijakan pemerintah yang berupaya mengentaskan kemiskinan lewat bantuan sosial pun, kata Piter, tidak berdampak banyak. Sebab, mereka yang kerap mengalami kesulitan untuk mengakses modal tidak terbatas pada kelas ekonomi bawah, tetapi juga yang menengah.

Karena itu, Piter mendesak pemerintah untuk mengoreksi sistem ekonomi yang kerap ditopang dengan suku bunga tinggi. Ia menuntut hadirnya sebuah sistem yang dapat membantu semua kelas ekonomi secara keselurahan.

“Sistem keuangan kita seharusnya tidak berbunga tinggi. Kita perlu membuat lompatan dari yang miskin ke menengah. Dari yang menengah ke atas. Ini disebabkan lack of access pemodalan,” ucap Piter.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz