Menuju konten utama

Ironi Palapa Ring: Tak Terpakai Saat Indonesia Kesulitan Internet

Data Bappenas menunjukkan utilisasi bandwidth Palapa Ring, jaringan fiber optic milik Kominfo ini di bawah 50 persen.

Ironi Palapa Ring: Tak Terpakai Saat Indonesia Kesulitan Internet
Proyek Palapa Ring II. Foto/Kominfo

tirto.id - Sejak diresmikan pada 2019, jaringan fiber optic Palapa Ring tak juga dipakai maksimal. Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan utilisasi bandwidth Palapa Ring milik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ini di bawah 50 persen.

Utilisasi paling tinggi adalah Palapa Ring Barat, 33 persen. Dari kapasitas 300 Gbps, hanya terpakai 99 Gbps. Lalu Palapa Ring Timur hanya terutilisasi 23,16 persen. Dari kapasitas 504 Gbps hanya terpakai 116 Gbps.

Paling buruk Palapa Ring tengah yang hanya mencapai 15 persen. Dari 600 Gbps hanya terpakai 90 Gbps.

“Memang sayangnya apa yang kita bangun ini misal untuk timur tersedia 504 gigabyte hanya terpakai 23,16 persen,” ucap Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI DPR RI, Rabu (2/9/2020).

Tentu hal ini menjadi ironi di tengah sulitnya masyarakat memperoleh akses internet. Belum lagi dari akses yang ada juga tak mudah dimanfaatkan karena kendala ketimpangan jaringan dan biaya.

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan karut-marut Palapa Ring ini juga disebabkan buruknya fokus dan arah kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama.

Ia mencontohkan Menkominfo periode pertama pemerintahan Jokowi, Rudiantara, terlalu sibuk mengurusi aplikasi, startup, anti-hoaks hingga pembatasan internet (throttling) di wilayah Papua dan Jakarta saat terjadi konflik, alih-alih menyiapkan infrastruktur hingga tingkat kecamatan.

Heru juga mengkritik biaya sewa Palapa Ring yang sangat mahal sehingga tak dimanfaatkan operator. Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) misalnya, mematok tarif sewa Rp10 juta—Rp552 juta per bulan pada sisi timur, padahal menurutnya perlu digratiskan bila pemerintah ingin menggenjot aksesibilitas wilayah itu.

“Kalau konsep sekarang dijalankan dengan baik dan maksimal, harusnya masalah desa tidak ada internet sudah selesai. Sekarang di masa pandemi kita baru merasa, kebijakan menteri sebelum Jhonny totally wrong,” ucap Heru saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (2/9/2020).

Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Indonesia Nonot Harsono juga sependapat. Menurutnya, terjadi kesalahan dalam infrastruktur penyambung Palapa Ring ke warga.

Nonot mengingatkan ada tiga syarat pokok agar masyarakat bisa menikmati internet: backbone, backhaul, dan jaringan akses. Palapa Ring dalam kategori ini hanya merupakan jaringan backbone yang harus dibantu lagi dengan distribusi ke daerah (backhaul) dan jaringan akses seperti kabel optik atau Base Transceiver Station (BTS) agar bisa sampai ke rumah warga.

Masalahnya, kata Nonot, syarat-syarat ini tak terpenuhi. Pemerintah hanya sekadar menyediakan infrastruktur backbone tanpa memikirkan penghubung sampai ke masyarakat.

“Jadi Palapa Ring itu menurut saya kekurangannya di situ. Merancangnya tidak sampai ke ujung,” ucap Nonot yang juga adalah anggota Dewan Pengawas Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), Kamis (3/9/2020).

Palapa Ring, kata dia, tidak begitu menarik buat operator. Persoalannya mereka harus membangun lagi infrastruktur yang relatif mahal dan belum tentu untung. Di saat yang sama, pemerintah terus memungut Universal Service Obligation (USO) 1,25% dari Gross Revenue sesuai UU No. 36/1999 yang per tahun bisa menyerap Rp3 triliun. Lalu operator juga terbebani BHP yang menjadi kewajiban penyelenggara telekomunikasi yang tiap tahun mencapai Rp20 triliun.

Menurutnya, jika pemerintah serius, operator bisa diberi insentif dengan membebaskan USO, mengurangi BHP, sampai memberi insentif pajak untuk investasi telekomunikasi. Jika perlu pemerintah membuat strategi khusus untuk membagi kecamatan mana saja yang wajib mereka kelola dan memberi hak monopoli agar seluruh wilayah terjangkau akses.

Tidak mengherankan jika data Bappenas menunjukkan Palapa Ring hanya mampu menjangkau 57 kabupaten/kota di wilayah Terdepan, Terpencil, Tertinggal (3T). Itu pun setalah 457 di antaranya ditangani operator dengan jaringan konvensional.

Selebihnya ada 4.652 kecamatan dan 71.984 desa yang sama sekali tak terjangkau, padahal menjadi porsi Palapa Ring di wilayah 3T. Jumlah keduanya setara 65% dan 85% wilayah yang belum terjangkau operator konvensional akibat tidak ekonomis.

Sudah Tak Terurus Mau Satelit Lagi

Nonot juga mengkritik keputusan pemerintah menambah satelit Satria yang akan ditandatangani perjanjian kerja sama pembangunannya pada Kamis (3/9/2020) ini. Menurutnya, pemerintah perlu membenahi strategi ketersediaan infrastruktur pendukung backbone, alih-alih terus menambah proyek seperti satelit.

Ia yakin satelit Satria juga bakal mengulangi kesalahan yang sama seperti Palapa Ring. “Satelit Satria ini bakal mengulang kesalahan Palapa Ring. Nanti satelit nganggur aja di angkasa,” ucap Nonot.

Agar tak bernasib serupa, Nonot mengingatkan perlu pembenahan infrastruktur yang menghubungkannya ke masyarakat.

Reporter Tirto telah berupaya menghubungi Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Abrijani. Namun, baik pertanyaan tertulis maupun panggilan telepon tak memperoleh jawaban hingga artikel ini dirilis.

Baca juga artikel terkait PALAPA RING atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Teknologi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz