Menuju konten utama

Ironi Konservasi Komodo di Era Kolonial

Setelah merebutnya dari Kesultanan Bima, Belanda menggembar-gemborkan semangat melindungi komodo yang sejatinya hanya bualan.

Ironi Konservasi Komodo di Era Kolonial
header Mozaik Varanus komodoensis. tirto.id/Mojo

tirto.id - Pada September 1926, ekspedisi yang dipimpin W. Douglas Burden atas amanat American Museum of Natural History kembali dari Hindia Belanda dengan membawa dua ekor kadal raksasa.

Dipamerkan di Kebun Binatang Bronx di New York, binatang yang kemudian dikenal sebagai komodo itu menarik perhatian masyarakat Amerika Serikat.

"Karena dianggap sebagai penghubung ke masa kuno [...] berasal dari negeri yang sangat jauh nan sukar dipahami bak kisah The Lost World karya Arthur Conan Doyle," tulis Timothy P. Barnard dalam "Protecting the Dragon" (Journal of Indonesia, Vol. 92 2011),

Tak kurang dari 38.000 orang berkunjung ke kebun binatang hanya untuk menyaksikan "keturunan sang reptil raksasa".

Sejumlah jurnalis melaporkan, dengan cepat binatang yang tak dikenal dunia sebelum 1912 ini akhirnya didaulat menjadi "spesies selebritas". Ia sukses menenggelamkan pelbagai pemberitaan lain seperti tentang kian menguatnya Benito Mussolini menggenggam Italia, serta kegagalan Thomas Edison mengomersialkan radio.

Hanya dapat ditemukan di sisi terbarat Pulau Flores dan beberapa pulau di sekitarnya terutama Pulau Rinca dan Pulau Komodo, hewan ini menurut W. Douglas Burden dalam The Dragon Lizards of Komodo (1927)--dipercaya masyarakat kala itu--panjangnya dapat mencapai hingga tujuh meter.

Status spesial komodo yang berhasil disematkan Burden, mula-mula dengan mengelabui Pemerintah Belanda tentang kebijakan pelestarian alam demi menjunjung tinggi semangat "pure wetenschap" atau "ilmu murni".

Ilmu Murni dan Eksploitasi

Sebelum abad ke-20, sebagaimana dipaparkan Lewis Pyenson dalam Empire of Reason (1988), Belanda memperoleh stereotipe buruk di bidang sains.

Ini misalnya dapat dilihat dari kelakuan Belanda yang hanya mau menduplikat--alih-alih membangun kantor observasi cuacanya sendiri--hasil survei atau penelitian geofisika dari Madras di India hingga Kalimantan yang dilakukan Charles M. Elliot dari Kerajaan Inggris.

Namun sejak etika akademik Jerman masuk dalam dunia pendidikan Belanda pada dekade keenam abad ke-19, mereka tersadar akan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan.

Untuk menunjukkan pada dunia bahwa Belanda sungguh-sungguh ingin mengembangkan ilmu pengetahuan, mereka akhirnya melahirkan pelbagai kebijakan tentang pelestarian lingkungan demi menjunjung tinggi perkembangan ilmu murni.

Seturut Paul Jepson dalam "Histories of Protected Areas" (Environment and History, Vol. 8 2002), hal ini didukung oleh munculnya konsep "Naturdenkmal" atau "monumen alam" gagasan rimbawan asal Berlin, Hugo Conwentz.

Ia menggembar-gemborkan bahwa alam (lingkungan/flora/fauna) tak ubahnya seperti karya seni semisal sastra, musik, dan lukisan yang harus dirawat dan dilestarikan lewat "moral limit" atau pembatasan moral bagi manusia untuk mengeksploitasinya.

Dan ini bukan hanya diberlakukan di Belanda, tapi juga diterapkan pada koloni mereka, Hindia Belanda. Terlebih, jelang abad ke-20, lebih dari 69.000 ekor binatang eksotis dari Hindia Belanda diperjualbelikan ke pasar internasional terutama oleh makelar asal Inggris yang bermukim di Singapura bernama Frank Buck.

Melalui Nederlands Comite voor Internationaal Natuurbeheer (Komite Belanda untuk Konservasi Alam Internasional) dan Nederlands Indische Maatschappij voor Natuurbescherming (Masyarakat Hindia Belanda untuk Perlindungan Alam) yang dibentuk pada akhir dekade pertama abad ke-20, kesungguhan Belanda tentang upaya mengembangkan ilmu pengetahuan lewat pelestarian alam coba ditunjukkan.

Melalui kedua institusi tersebut, dibuat aturan mengenai perlindungan ragam flora/fauna yang ada di Belanda dan Hindia Belanda, seperti anggrek, orang utan, komodo, dan "natural people" alias orang-orang pribumi.

Lewat perundang-undangan yang dikeluarkan pada 1916, konsep "cagar Alam" atau "taman nasional" muncul di Hindia Belanda. Lokasi pertamanya adalah sebuah area pergunungan di Jawa, tepatnya di Cibodas, Cianjur.

Dalam satu dekade sejak aturan dibuat, terdapat 76 cagar alam/taman nasional di Hindia Belanda dengan 21 di antaranya berlokasi di luar Jawa, salah satunya lokasi tempat komodo berada.

Sebelum Belanda menetapkan komodo sebagai binatang dilindungi serta habitatnya sebagai cagar alam/taman nasional, hewan ini dan lokasinya sesungguhnya telah dilindungi peraturan lokal lewat keputusan Sultan Bima yang diberlakukan tak lama setelah komodo ditemukan orang Barat.

Namun, merasa bahwa Sultan Bima tak benar-benar bisa melindungi komodo--dianggap bertentangan dengan semangat pengembangan ilmu pengetahuan--Belanda menganulir keputusan penguasa lokal tersebut pada 1919 dan digantikan dengan aturan ala Belanda.

Untuk menegakkan aturan, Belanda mendelegasikannya pada administrator mereka yang berada di Flores. Mula-mula mereka melucuti wilayah administrasi Kesultanan Bima atas Pulau Komodo dan Pulau Rinca.

Awalnya, manuver Belanda atas Kesultanan Bima tak terlalu berpengaruh. Lebih modern dan lebih ramai dibandingkan lokasi manapun di wilayah Nusa Tenggara, Bima menjadi titik utama ekspedisi yang hendak berkunjung melihat komodo. Hal ini membuat Sultan Bima secara tidak langsung tetap berkuasa atas komodo dan habitatnya.

Tak terima dengan kenyataan tersebut, Belanda melakukan manuver lain dengan menyeret penasihat utama Sultan Bima, Raja Bitjara, ke pengadilan ala Belanda atas tuduhan penipuan. Setelah itu, Belanda mulai berkuasa sepenuhnya di sana.

Mereka kemudian menggembar-gemborkan semangat melindungi komodo dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sesuatu yang sejatinya hanya bualan.

INfografik Mozaik Varanus komodoensis

INfografik Mozaik Varanus komodoensis. tirto.id/Mojo

Musababnya, dalam ragam aturan soal perlindungan flora dan fauna serta kawasan cagar alam/taman nasional, Belanda menyertakan "pengecualian" yang kemudian dimanfaatkan oleh orang/institusi yang tak peduli dengan alam. Salah satunya dilakukan W. Douglas Burden yang membawa komodo ke New York.

Dalam studi lainnya, "Imagined Dragons" (Pacific Historical Review, Vol. 90 2021), Barnard mengungkap bahwa "pengecualian" yang dimanfaatkan Burden adalah "jalur diplomatik".

Tahu bahwa komodo dan habitatnya dilindungi dan karenanya perburuan dilarang oleh pemerintah, maka sejak menginjakkan kaki di Batavia pada awal 1926, Burden segera pergi ke Cibodas untuk menemui Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff yang tengah berbulan madu.

Sebagai catatan, sebagian sumber menyebut bahwa Andries Cornelis Dirk de Graeff baru menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda mulai 7 September 1926.

Tak disebutkan apa yang diucapkan Burden kala bertemu dengan pejabat tertinggi Hindia Belanda itu, namun lanjut Barnard, "dalam lima menit pertemuan berlangsung, de Graeff lantas menawarkan SS Dog, kapal bertonase 400 ton milik pemerintah, untuk digunakan Burden selama dua bulan dalam ekspedisinya menangkap dan membawa komodo."

Dibantu seorang pejabat kolonial di Flores cum makelar flora/fauna bernama H.R. Rookmaaker, dua ekor kadal raksasa yang kemudian dipamerkan di Kebun Binatang Bronx itu berhasil diperoleh Burden.

Karena pertunjukan binatang buas dari "The Lost World" itu sukses membuat dunia terpana dan membuat kebun binatang yang memamerkannya untung besar, maka komodo pun diangkut dari Nusa Tenggara ke sejumlah negara di Eropa, salah satunya dibawa ke British Museum of Natural History pada Desember 1926.

Banyak di antara komodo yang diangkut itu akhirnya mati gara-gara perlakukan yang tidak layak. Menurut Eugene Dubois, ahli paleoantropologi Belanda yang menemukan "Java Man", upaya Belanda melindungi lingkungan (flora/fauna) demi perkembangan ilmu murni hanyalah omong kosong.

Baca juga artikel terkait KOMODO atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi