Menuju konten utama

Ironi Kasus Baiq Nuril: Perempuan yang Divonis Hakim Perempuan

Baiq Nuril divonis hakim perempuan karena dituduh melanggar UU ITE. Padahal apa yang ia lakukan sebatas membela diri dari pelecehan.

Ironi Kasus Baiq Nuril: Perempuan yang Divonis Hakim Perempuan
Ilustrasi kekerasan seksual di kendaraan taksi atau taksi online. FOTO/Istimewa

tirto.id - Baiq Nuril termenung saat suaminya menunjukkan pesan di grup WhatsApp. Isinya petikan putusan Mahkamah Agung yang menyebut bekas pegawai honorer di SMAN 7 Mataram Kota Nusa Tenggara Barat tersebut divonis hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

“Sudah tidak terasa menginjak bumi kalau bahasanya beliau,” kata Joko Jumadi, salah seorang kuasa hukum Nuril kepada reporter Tirto, Selasa (13/11/2018).

Joko memastikan Nuril akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan ini. Kendati begitu, hingga saat ini berkas peninjauan kembali belum disiapkan karena salinan putusan dari MA belum diterima.

Ada segudang alasan kenapa Joko yakin kliennya tak bersalah. Yang utama: ia menganggap MA tidak melihat masalah ini dari perspektif korban.

“Posisinya, kan, bu Nuril ini korban, dia sudah berkali-kali diajak selingkuh oleh kepala sekolah,” kata Joko. “Ini kan upaya pembelaan diri sebenarnya, tapi malah kemudian dikriminalisasi oleh MA,” tambahnya.

Joko menilai putusan MA terhadap Nuril menyedihkan karena hakim ketua tak lain seorang perempuan juga, namanya Sri Murwahyuni.

“Hakimnya seorang perempuan yang mestinya punya perspektif lebih, tapi malah ambil keputusan yang jauh, tidak memiliki perspektif terhadap perempuan.”

Aktivis kesetaraan gender sekaligus pemimpin redaksi Jurnal Perempuan Anita Dhewy menyampaikan hal serupa. Maka dari itu ia mendorong Komisi Yudisial memeriksa para hakim agung yang menangani perkara ini. Ia menilai hakim telah mengesampingkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

Aturan itu dibuat agar hakim menerapkan asas non-diskriminasi, mengidentifikasi perlakuan tidak setara, serta menjamin hak perempuan.

“Poin ini justru tidak diterapkan,” kata Anita kepada reporter Tirto.

Kasus yang menimpa Nuril menambah panjang daftar catatan hitam dunia peradilan Indonesia ketika menangani perkara yang berkaitan dengan perempuan. Sebelumnya seorang perempuan berusia 15 tahun juga harus dipenjara enam bulan karena aborsi setelah diperkosa kakak kandungnya, AA, yang berusia 18 tahun.

Anita menilai, diskriminasi terhadap perempuan, entah sebagai korban, saksi, atau terdakwa, memang masih jamak terjadi. Para penegak hukum dirasa tidak memiliki sensitivitas ketika menangani perkara yang melibatkan perempuan.

“Jadi ketika ada kasus yang melibatkan perempuan, baik dia sebagai saksi, korban, atau pihak yang berhadapan dengan hukum, mereka tidak melihat kasus ini secara utuh,” ujarnya.

Misalnya saja, dalam kasus Nuril, ia menyoroti pihak kepolisian yang melanjutkan begitu saja perkara Nuril ini. Demikian pula di tingkat kejaksaan.

Memang sejauh ini sudah ada upaya-upaya untuk menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap perempuan di dunia peradilan Indonesia, misalnya dengan penerbitan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tersebut di atas. Namun masih jauh panggang dari api.

“Memang ketika satu peraturan baru muncul mesti ada sosialisasi dan segala macam. Nah ini yang perlu didorong agar hakim-hakim ini punya sensitivitas,” ujar Anita.

Baiq Nuril, perempuan 40 tahun itu dinilai melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE karena menyebarkan informasi bermuatan asusila. Konten yang dimaksud adalah rekaman percakapan telepon antara dia dengan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram bernama Muslim. Di sana, Muslim melecehkan Nuril secara verbal .

Dan itu bukan kali pertama. Itu pula alasan kenapa Nuril merekam percakapan dengan Muslim.

Rekaman itu kemudian diberikan ke Imam Mudawin, rekan Nuril. Rekaman kemudian diteruskan ke Dinas Pendidikan serta DPRD setempat. Ujungnya Muslim dimutasi. Namun sial, rupanya Imam juga menyebar rekaman percakapan tersebut.

Tak terima aksi senonohnya tersebar, Muslim melaporkan Nuril—bukan Imam, orang yang menyebar rekaman—ke kepolisian.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Mataram sebenarnya membebaskan Nuril dari semua sangkaan, tapi Jaksa Penuntut Umum malah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan ini dan kemudian dikabulkan.

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino