Menuju konten utama

Ironi Kapal Tenggelam di sela Visi Maritim Jokowi

Pemerintahan Jokowi mengindahkan transportasi laut. Tetapi kecelakaan pelayaran terus terjadi.

Ironi Kapal Tenggelam di sela Visi Maritim Jokowi
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi menyampaikan pernyataan resmi mengenai kecelakaan KM Sinar Bangun di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/6/2018). ANTARA FOTO/Desca Lidya Natalia

tirto.id - “Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya, sehingga Jalesveva Jayamahe: Di laut kita jaya.”

Begitulah sepenggal kutipan Presiden Joko Widodo saat pidato kenegaraan pertamanya di Gedung MPR pada 20 Oktober 2014. Presiden meyakini betul bahwa samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban Indonesia.

Jokowi memang punya pelbagai program terkait sektor kelautan seperti transportasi, pangan, dan logistik. Proyek tol laut adalah salah satu proyek prioritas Jokowi. Dengan tol laut, pemerintah membuka sejumlah trayek atau rute angkutan laut ke daerah-daerah terpencil guna melancarkan distribusi logistik, sekaligus merangsang ekonomi daerah.

Hingga 2018, trayek tol laut sudah bertambah menjadi 15 trayek. Dalam pelaksanaannya, pemerintah menggandeng BUMN, yakni PT Pelni, dan perusahaan swasta sesuai ketentuan dari Kementerian Perhubungan.

Pemerintah juga mengalokasikan dana APBN untuk pengadaan kapal transportasi. Pada tahun ini saja pemerintah berencana menambah 20 kapal guna mendukung program tol laut. Namun, pelbagai upaya pemerintahan Jokowi masih menyisakan rapor merah dari sisi keselamatan pelayaran. Pada mudik Lebaran tahun ini, misalnya, terjadi beberapa kecelakaan pelayaran.

Di perairan Makassar Selat Gusung, Kecamatan Ujung Tanah Makassar pada Rabu (13/6) KM Arista karam akibat terjangan ombak, dan menelan korban jiwa sebanyak 17 orang. Selang lima hari kemudian, kapal yang tenggelam kembali terjadi. Kali ini di Danau Toba, Sumatera Utara, yang menelan korban hingga 200-an orang.

Hingga Rabu (20/6), jumlah korban yang berhasil ditemukan oleh tim gabungan Polri, TNI, BPBD, BNPB, dan Basarnas mencapai 19 orang dengan satu orang ditemukan tewas. Dua kejadian kecelakaan pelayaran yang waktunya berdekatan dan memakan korban jiwa banyak menjadi pesan bahwa ada persoalan besar yang belum terselesaikan di transportasi pelayaran laut hingga danau.

Transportasi Pelayaran Paling Buruk

Catatan statistik (PDF) Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), kecelakaan pelayaran dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren meningkat. Torehannya paling buruk ketimbang tren moda transportasi lain seperti darat dan udara.

Kecelakaan pelayaran yang diinvestigasi KNKT mencapai 18 kasus pada 2016. Sementara kecelakaan penerbangan tercatat 35 kasus pada tahun yang sama.

Untuk kecelakaan moda darat atau Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), KNKT mencatat 6 kasus pada 2016, jumlah kasus yang sama untuk kecelakaan kereta api pada tahun yang sama.

Namun, data kecelakaan KNKT tak mencakup seluruh kecelakaan. Dengan kata lain, besar kemungkinan jumlah kecelakaan pada masing-masing moda transportasi jauh lebih besar.

Kecelakaan yang diinvestigasi KNKT memiliki sejumlah kriteria khusus. Contoh pada kereta api, yang diinvestigasi KNKT di antaranya kecelakaan yang mengakibatkan orang tewas atau luka parah.

Untuk LLAJ, kecelakaan yang diinvestigasi KNKT di antaranya yang menimbulkan 8 orang meninggal atau lebih. KNKT juga melakukan investigasi terhadap kecelakaan yang mengakibatkan prasarana rusak berat.

Sedangkan untuk pelayaran, kriterianya kecelakaannya sesuai aturan internasional, yakni International Maritime Organization (IMO). Sama halnya penerbangan, kriteria investigasi sesuai standar International Civil Aviation Organization (ICAO).

Dari empat moda transportasi, kecelakaan pelayaran dan penerbangan memang paling banyak diinvestigasi KNKT. Namun, untuk penerbangan, trennya sudah membaik dalam dua tahun terakhir. Bahkan, korban penumpang yang meninggal tidak ada atau zero passenger fatality.

Dunia internasional juga memberikan berbagai penghargaan kepada aviasi Indonesia, dari pemberian izin maskapai nasional terbang ke AS, dicabutnya larangan seluruh maskapai penerbangan terbang ke Uni Eropa, dan standar keselamatan penerbangan yang berada di atas rata-rata global.

“Kereta api paling baguslah kalau bicara keselamatan. Disusul udara juga mulai bagus. Darat sebenarnya paling buruk. Namun kini, pelayaran sama buruknya dengan darat,” kata Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata kepada Tirto.

Jumlah korban meninggal pada LLAJ memang paling banyak ketimbang moda transportasi lain. Pada 2016, korban yang meninggal dari LLAJ mencapai 57 orang. Disusul pelayaran sebanyak 31 orang, penerbangan 5 orang, dan kereta api 1 orang.

Infografik HL Indepth Kecelakaan Kapal di Danau Toba

Tren kecelakaan pelayaran yang meningkat tentu menjadi pertanyaan. Menurut Djoko Setijowarno, penyebab tren kecelakaan pelayaran yang meningkat lebih karena minimnya pengawasan pemerintah daerah setempat.

Wewenang pengawasan pelayaran yang dilimpahkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah tidak berjalan. Alhasil, pelaksanaan keamanan dan keselamatan di kapal, terutama di sungai dan danau, tak sesuai dengan standar.

Kurangnya perhatian dan pengawasan juga bukan serta merta salah pemerintah daerah. Alokasi anggaran pemda untuk pengawasan pelayaran terbilang kecil. Belum lagi pemda kekurangan SDM yang kompeten.

“Solusinya perlu ada alokasi anggaran yang lebih dan SDM yang kompeten. Selama ini pemda cuma bicara soal retribusi. Jakarta, misalnya, anggaran banyak, tapi SDM-nya masih kurang,” ujar Djoko.

Terkait wewenang pemda, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menuturkan tanggung jawab izin pelayaran daerah memang berada di tangan pemda. Rencananya, Kemenhub bakal mengevaluasi masalah bersama pemda.

“Kami enggak mudah untuk menangani [legalitas dan pengawasan kapal] karena itu ranahnya pemda juga. Nanti, kami akan berusaha melakukan konsolidasi dengan pemda setempat,” kata Budi kepada Tirto.

Pelaksanaan ketentuan yang mengatur syarat, izin, dan standar keamanan kapal 7-500 gross ton (GT) menjadi wewenang pemerintah pusat. Sementara kapal di bawah 7 GT menjadi wewenang pemda.

Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Jenderal Perhubungan Laut No. Um.008/9/20/DJPL-12 tentang Pemberlakuan Standar dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi Berbendera Indonesia atau Standar Kapal Non Konvensi (SKNK).

Namun, pengamat pelayaran dari lembaga The National Maritime Institute Siswanto Rusdi justru menilai pemerintah pusat, khususnya Kemenhub, turut andil atas meningkatnya kecelakaan pelayaran di daerah.

Hal itu karena pemeriksa keselamatan kapal-kapal di bawah 500 GT merupakan tanggung jawab Kemenhub. Hal itu tertuang di dalam Permenhub No. 110/2016 tentang pejabat pemeriksa keselamatan kapal.

Selain itu, pendaftaran dan kebangsaan kapal sudah seluruhnya menjadi wewenang pemerintah pusat. Hal itu tertuang di dalam Permenhub No. 39/2017 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal.

“Keselamatan seharusnya tidak didelegasikan. Tanggung jawab berada di pemerintah pusat. UU Pelayaran juga mengatakan bahwa penanggung jawab itu Menteri Perhubungan. Jadi berhenti salahkan pemda,” jelas Rusdi.

Baca juga artikel terkait KAPAL TENGGELAM atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra