Menuju konten utama

IRESS: Proses Penguasaan Blok Rokan Melanggar Konstitusi

Indonesian Resources Studies (IRESS) menyebutkan penguasaan Blok Rokan, Riau oleh Pertamina melanggar konstitusi dan ada yang tidak sesuai dengan permen ESDM.

IRESS: Proses Penguasaan Blok Rokan Melanggar Konstitusi
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar didampingi Sekjen Kementerian ESDM Ego Syahrial dan Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi memberikan keterangan pers tentang pengumuman penetapan pengelolaan blok migas Rokan di Ruang Sarula, Gedung Kementerian ESDM, pada Selasa (31/7/2018). ANTARA FOTO/HO/Humas Kementerian ESDM/Yustinus Agyl Kurniawan

tirto.id - Indonesian Resources Studies (Iress) menganggap penguasaan Blok Rokan, Riau oleh Pertamina melanggar konstitusi.

Sebab dalam prosesnya, Pertamina diwajibkan membayar signature bonus senilai 784 juta dolar AS kepada negara sesuai permen ESDM No. 30/2017.

Menurut Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara, Pasal 33 UUD 1945 mengamankan Pengelolaan migas secara langsung. Dalam hal ini, dilakukan oleh BUMN di sektor migas, yaitu PT Pertamina.

"Kebijakan (signature bonus) ini bermasalah. Ia melanggar konstitusi dan melupakan filosofi negara untuk mengelola migas secara langsung," ucap Marwan kepada Reporter Tirto usai seminar bertajuk "Menyoal Pemberlakukan Signatory Bonus Blok Rokan" di Restoran Pulau Dua pada Kamis (24/1/2019).

Marwan menyoroti adanya ketentuan dalam Permen ESDM No. 23/2018 sebagai revisi dari Permen ESDM No.15/2015 dan UU No. 22/2001 tentang Migas memberikan peluang bahwa Blok terminasi dapat dilelang ulang serta diperpanjang oleh kontraktor eksisting.

Padahal, menurutnya, jika mengacu pada UUD 1945, idealnya kedua ketentuan tersebut bukan pilihan utama yang dapat disediakan pemerintah.

Sebaliknya Marwan menjelaskan bahwa alih kelola Blok terminasi langsung diberikan kepada BUMN migas tanpa melalui lelang.

Dengan demikian, Blok Rokan yang berstatus terminasi seharusnya diberikan langsung kepada Pertamina.

Akibat dari lelang itu, kata Marwan, Pertamina mau tidak mau harus menyediakan dana signature bonus yang tidak sedikit. Bahkan harus menerbitkan global bond senilai 750 juta dolar AS demi menyaingi kemampuan penawaran signature bonus PT Chevron saat keuangan Pertamina sendiri belum cukup optimal.

"Pertamina seharusnya tidak di pertandingan seperti itu dengan asing. Apalagi saat ini kondisi keuangan Pertamina membuat sulit bersaing dengan PT Chevron," ucap Marwan.

Menurut catatan Iress, beban kredit Pertamina terus membengkak dari 25,16 miliar dolar AS di 2016 menjadi 27 miliar dolar AS di 2017 dan saat ini bertambah menjadi 37 miliar dolar AS di 2018.

Hutang obligasi pun nilainya pada Desember 2018 lalu naik menjadi 9,5 miliar dolar AS dari 8,75 miliar dolar AS pada Oktober 2018 karena pembayaran signature bonus.

Hal ini belum termasuk kondisi laba bersih Pertamina yang terus tergerus. Dari 3,15 miliar dolar AS di tahun 2016 menjadi 2,4 miliar dolar AS di 2017 atau Rp36,4 triliun.

Pada 2018 angka itu lebih rendah lagi menjadi Rp5 Triliun. Penyebabnya tidak lain dari tanggungan Pertamina untuk menjalankan kebijakan BBM Penugasan.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno