Menuju konten utama
6 Maret 2016

Ireng Maulana yang Jadi Saksi Cinta dan Pertentangan

Sayup irama.
Mencatat hidup pada
melankolia.

Ireng Maulana yang Jadi Saksi Cinta dan Pertentangan
Ilustrasi Ireng Maulana. tirto.id/Gery

tirto.id - Sore itu, di rumahnya yang terletak di Pejompongan, Jakarta Pusat, Martiani Candraputri sedang menyirami tanamannya. Cuaca sedang baik setelah beberapa hari hujan mengguyur tanpa henti. Tanamannya beraneka rupa; dari bunga melati, mawar, anggrek, kamboja, sampai pohon mangga yang berdiri dengan gagahnya.

Dengan potongan rambut sebahu, wajahnya nampak segar dan ceria. Usianya menginjak angka 70. Akan tetapi, banyak orang yang tidak percaya dengan hal itu. Mereka yang pertama berjumpa Martiani kebanyakan beranggapan bahwa usianya berada kisaran 40-50 tahun.

“Enggak pakai apa-apa. Cukup jalan-jalan pagi hari, makan banyak sayur, dan terpenting: sering melakukan aktivitas yang kita senangi,” ujarnya tentang resep awet mudanya.

Usai menyiram tanaman, ia masuk ke dalam rumah dan menuju dapur. Dari ruang tengah, saya mendengar bunyi kompor dihidupkan. Ia berkata dari dapur, menanyakan apakah saya ingin dibuatkan teh. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakannya.

Sembari menunggu, saya memperhatikan perkakas yang terdapat di ruang tengah. Di hadapan saya, berdiri rak yang berisi banyak buku. Jenisnya macam-macam; filsafat, politik, sastra, sejarah, hingga seni-budaya. Sementara di sebelahnya, terpasang deretan foto keluarga dengan ukuran bingkai yang berbeda-beda.

Kami lalu mengobrol banyak hal. Topiknya macam-macam; dari kemacetan Jakarta, keluarga, sampai kisah asmara saya. Demi menghangatkan suasana, ia memutuskan untuk memutar musik yang diambil dari koleksi piringan hitamnya. Koleksinya cukup banyak. Ia punya album David Bowie, Bruce Springsteen, Elton John, sampai Frank Zappa.

“Rasanya cukup sulit mencerna musik zaman sekarang,” jelasnya seraya tertawa. “Makanya, koleksi album di sini tak jauh dari tahun 1980an.”

Dari sekian koleksinya, Martiani paling suka dengan musik jazz. Koleksi piringan hitamnya membuktikan hal itu. Nama-nama musisi jazz seperti Oscar Peterson, Aretha Franklin, Bud Powell, Frank Sinatra, Jack Lesmana, Rien Djamain, sampai Ermy Kulit tersimpan rapi di lemari kepunyaannya. Namun, bagi Martiani hanya ada dua musisi jazz yang jadi inspirasi kehidupannya.

“Bill Evans dan Ireng Maulana,” sebutnya dengan mantap.

Ia kemudian mengambil album piringan hitam Ireng Maulana berjudul Bossanova Indonesia (1982) yang dibuat bersama penyanyi Rafika Duri dan memasangnya di pemutar. Saat memasuki lagu pertama, Martiani diam sejenak.

“Ireng jadi saksi bagaimana perjalananku bersama dia,” katanya sembari memandang fotonya bersama sang suami yang terpasang di tembok dekat lemari piringan hitam.

Hasrat Bermusik Tak Bisa Ditampik

Di mata Martiani, Ireng Maulana bukan sekadar musisi jazz semata. Ia adalah inspirasi sekaligus penanda momen kehidupannya yang terbentang panjang.

Ireng Maulana lahir di Jakarta pada 15 Juni 1944 dengan nama asli Eugene Lodewijk Willem Maulana. Ireng tumbuh dalam keluarga yang berkesenian. Ayahnya, Max Maulana, yang berasal dari Cirebon mahir memainkan banyak alat musik. Ibunya, Georgiana Sinsoe, yang asli Sulawesi Utara, adalah penyanyi. Tak ketinggalan, pamannya, Tjok Sinsoe, juga musisi jazz yang bermain di era 1940an.

Semasa kecil, Ireng dikenal bandel. Saking bandelnya, orangtuanya menitipkan Ireng ke tetangganya dengan harapan kenakalan Ireng dapat diredam. Di sinilah, saat usianya 7 tahun, nama “Ireng”—yang dalam bahasa Jawa berarti “hitam”—disematkan padanya oleh si tetangga. Kendati kulitnya putih, perubahan namanya jadi “Ireng” dimaksudkan supaya kelakuan bengalnya mampu berkurang.

Beberapa tahun kemudian, sang ayah meninggal dunia. Situasi tersebut membuat Ireng bertekad jadi “orang” agar mampu membantu memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia lantas belajar dengan tekun; mengambil jam tambahan untuk belajar bahasa Perancis, mengetik, dan akuntansi.

Meski demikian, hasrat bermusiknya muncul di umurnya yang menginjak remaja. Terlebih, kakaknya, Kibod Maulana, sudah lebih dulu menempuh jalan kesenian dengan jadi gitaris yang cukup kondang. Ireng lalu belajar musik secara otodidak. Alat musik yang dipilihnya adalah gitar. Setelah merasa yakin dengan kemampuannya, ia bergabung dengan Joes & His Band.

Semula, motivasi Ireng bermain musik hanya untuk bersenang-senang. Tapi, keadaan berkata sebaliknya. Pada suatu kesempatan, Joes & His Band menang dalam festival dan Ireng turut didapuk jadi gitaris terbaik di ajang yang sama. Hal itu kemudian semakin membulatkan tekadnya untuk menjadikan musik sebagai jalan hidupnya.

Dua Jalan yang Berbeda

Perkenalan Martiani dengan Ireng Maulana terjadi pada awal 1977. Usianya saat itu menginjak 30 tahun dan ia bekerja di Departemen Keuangan. Album yang ia dengarkan yakni Jazz Vocal Indonesia Volume 1 (1976) yang Ireng buat bersama Margie Segers.

“Itu kalau enggak salah karya perdana Ireng. Pertama kali dengar karena teman yang memberi tahu di jam pulang kerja. Aku langsung jatuh hati mendengar album itu. Terutama petikan gitar Ireng yang bisa melengkapi vokal Margie secara pas,” katanya.

Setelah perkenalan tersebut, Martiani rajin membeli rilisan Ireng. Setiap album Ireng keluar, ia rutin menyambangi toko musik di bilangan Senen yang tak jauh dari tempat kerjanya di kawasan Banteng, Jakarta Pusat. Terhitung, selama bekerja di Banteng, Martiani telah mengkoleksi lima buah album Ireng.

Menurut Martiani, waktu itu adalah fase baru dalam hidupnya. Delapan tahun sebelumnya, kala ia menempuh studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ia menjalin asmara dengan Ilyas Zulkarnaen, lelaki satu kampus yang kelak jadi pasangan hidupnya. Namun, hubungan mereka tak seindah nada-nada yang dibuat Ireng.

Ayah Martiani tidak menyetujui hubungannya dengan Ilyas. Alasannya: Ilyas berasal dari keluarga biasa dan Martiani, akan dijodohkan dengan lelaki pilihan ayahnya yang berasal dari keluarga terpandang selepas menuntaskan studinya.

“Masa-masa itu, jujur, merupakan masa paling berat. Sampai sekarang, aku masih mempertanyakan apa yang ada di benak ayah ketika ia melarang hubunganku dengan Ilyas. Seolah tidak cukup semua yang ia dapatkan: jabatan tinggi di departemen dan kondisi finansial yang sangat mencukupi,” sesalnya.

Perkelahian itu berlangsung lama. Baik Martiani dan ayahnya bersikeras memegang sikap masing-masing. Martiani menolak hidupnya terlalu diatur oleh sang ayah termasuk perkara percintaan. Hingga akhirnya, Martiani memutuskan pergi dari rumah.

Keputusan tersebut ia ambil selepas ayahnya bertindak di luar batasan: mengusir Ilyas kala ia bertandang ke rumahnya dan membahas agenda pernikahan dengan keluarga dari pria yang akan dijodohkan dengan Martiani tanpa persetujuan dirinya.

Desember 1971, Martiani dan Ilyas melangsungkan pernikahan. Saat acara pernikahan berlangsung, sang ayah tak nampak. Hanya ibu dan ketiga adiknya yang datang. Martiani sudah mengira keadaan itu bakal terjadi. Akan tetapi, ia meyakini telah mengambil keputusan tepat, sebab, Ilyas merupakan lelaki yang nantinya dapat membahagiakan dirinya dan anak-anaknya kelak.