Menuju konten utama
Harta Kekayaan Pejabat Publik

Investigasi Harta Pejabat ala Netizen & Potensi Kriminalisasi

Masyarakat harus saling menjaga supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap warga yang punya kemampuan bongkar flexing pejabat.

Investigasi Harta Pejabat ala Netizen & Potensi Kriminalisasi
Header Polemik Moge Pejabat DJP Kemenkeu. tirto.id/Ecun

tirto.id - Per Maret 2023, setidaknya sudah ada empat pejabat publik yang dipanggil KPK guna melakukan klarifikasi LHKPN. Mereka adalah mantan Pejabat Pajak, Rafael Alun Trisambodo; Kepala Kantor Bea Cukai nonaktif Yogyakarta, Eko Darmanto; Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur, Wahono Saputro; serta Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, Andhi Pramono.

Seluruh pejabat yang dipanggil komisi antirasuah untuk melakukan klarifikasi LHKPN tersebut bermula dari viralnya perilaku pamer harta kekayaan, baik yang dilakukan oleh sang pejabat maupun keluarganya.

Pemanggilan Kepala Bea dan Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono, misalnya. KPK melakukan pemanggilan terhadap Andhi sebagai respons atas beredarnya informasi bahwa Andhi memiliki sejumlah aset berupa rumah mewah bernilai fantastis.

“Hari ini kami juga dapat informasi bahwa ada di media sosial, Bea Cukai Makassar APM (Andhi Pramono) dan kami bilang LHA (PPATK) sudah kirim laporan ke KPK hasil analisa Maret 2022, dan kami sudah tindaklanjuti," kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, Rabu 8 Maret 2023.

Terkait kepemilikan rumah mewah di Cibubur, Pahala menyebut, di dalam LHKPN-nya, Andhi Pramono melaporkan dua buah rumah di Legenda Wisata.

Bak gayung bersambut, fenomena tersebut justru direspons KPK dengan seolah meminta bantuan kepada masyarakat untuk memviralkan para pejabat yang memiliki transaksi mencurigakan.

Pahala Nainggolan sempat mengapresiasi masyarakat yang telah memviralkan para pejabat yang dicurigai memiliki harta tak wajar. “Secara khusus, kami dari Direktur LHKPN berterima kasih kepada media dan masyarakat yang memviralkan," kata Pahala.

Pahala berpesan kepada masyarakat terus memantau kekayaan pejabat, termasuk dengan cara memviralkannya. “Pesan saya teruskan. Kalau ada orang yang kira-kira pamer-pamer gitu teruskan saja (viralkan)” kata Pahala.

Penegak Hukum Sedang Dipermalukan

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebut, fenomena tersebut justru sebenarnya sedang mempermalukan kinerja aparat penegak hukum.

“Masyarakat hebat dan penegak hukumnya jelek. Gitu aja. Sebenarnya mereka (masyarakat) tidak punya kemampuan dan kewenangan untuk melakukan itu. Tapi nyatanya dengan cara-cara sederhana saja mereka mampu. Ini, kan, menunjukkan bahwa penegak hukum termasuk KPK sangat buruk dalam melakukan kewenangan dan tugasnya,” kata Boyamin saat dihubungi, Senin (20/3/2023).

Selain itu, Boyamin menyebut, fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sangat peduli terhadap penyelenggaraan negara dan memaksa penegak hukum agar bekerja keras.

“Kalau tidak bekerja keras akan dipermalukan dengan cara-cara investigasi ala rakyat,” kata dia.

Terhadap hal ini, aparat penegak hukum mestinya tidak berdiam diri. Menurut Boyamin, aparat harus bekerja lebih giat karena belum berhasil memenuhi kehendak rakyat.

“Apalagi sampai KPK meminta bantuan untuk memviralkan itu, kan, namanya kurang ajar itu. Itu tugasnya KPK kok malah minta bantuan rakyat. Itu bentuk ketidakmampuan yang sungguh sangat menyakiti rakyat juga. Itu mestinya malah sadar diri kalau mereka belum memenuhi kehendak rakyat dan mestinya bekerja semakin giat," kata Boyamin.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengatakan hal yang sama. “Ada kelemahan yang diakui KPK. KPK tidak sanggup, KPK menyerah sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi, dia kemudian angkat tangan," kata Isnur.

Problem Tata Kelola Ditangani dengan Cara yang Salah

Isnur menyebut, fenomena investigasi mandiri warganet ini sebenarnya adalah bentuk dari kemarahan dan frustasi dari masyarakat. “Karena hal-hal yang substantif dari pemberantasan korupsi itu diabaikan. Akhirnya mereka marah terhadap individu yang melakukan kesalahan dan dibiarkan,” kata Isnur.

Hal-hal substantif yang dimaksud di antaranya adalah buruknya tata kelola pemerintahan yang memungkinkan seorang pejabat bisa dengan mudah memiliki dan menikmati harta yang tidak jelas asal usulnya.

“Buruknya problem integritas, problem korupsi, problem tata kelola pemerintahan di mana pengawasan internal itu nggak jalan. Jadi korupsi dinikmati bersama dan diketahui bersama secara umum. Dan itu menciptakan gap ketidakadilan yang sangat tinggi,” kata Isnur.

Masyarakat, kata Isnur, sudah paham terhadap fakta bahwa keadilan sosial bagi masyarakat itu hanya jargon Pancasila yang tidak pernah mewujud di lapangan.

Selain itu, masalah lainnya adalah salah kaprah pemerintah dalam melakukan kampanye. Kesalahan tidak mampu menegakkan prinsip antikorupsi dijawab dengan perintah tidak boleh memamerkan harta kekayaan.

“Perbaikannya seharusnya memperbaiki tata kelola. Segala potensi korupsi ditutup seharusnya. Proyek-proyek yang sangat erat dengan jabatan seharusnya dibatasi. Dan itu melalui presiden, kan, tidak memberikan contoh yang baik di sini. Bagaimana misalnya demi anak dan menantu, kekuasaan digunakan,” kata Isnur.

Hal senada diungkapkan pakar patologi sosial dari UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Novi Hidayati Afsari. Ia menyebut, perilaku masyarakat memviralkan para pejabat flexing tersebut adalah ledakan dari krisis multidimensi yang tengah dialami.

“Ini kan lagi krisis gitu ya. Krisis multidimensi. Akhirnya menyebabkan tekanan sosial yang tinggi. Nah salah satu meluapkan ketika ada pejabat atau siapapun yang flexing, rasa sensitifnya benar-benar kesentil,” kata dia.

Novi menyebut, emosi masyarakat diperparah dengan berbagai imbauan yang ditujukan kepada pejabat untuk tidak flexing. “Sebenarnya bukan masalah flexing-nya, tapi ketidakadilan lewat korupsinya,” katanya.

Selain itu, Novi menyebut, sikap masyarakat saat ini juga merupakan kontrol sosial untuk pejabat. Hal ini lahir dari lemahnya kontrol sosial yang ada, sehingga masyarakat turut menjadi 'detektif'.

“Tidak efektifnya pengawasan dari DPR, sehingga masyarakat ngawasin sendiri," katanya.

Meski demikian, Novi melihat fenomena ini sedang marak karena tren belaka. Sehingaa akan ada masanya hal ini kembali surut.

“Yang saya lihat, ada istilah FOMO (fear of missing out). Nah, hari ini lagi ngetren bagaimana kita membuka sesuatu hal itu menelusuri jejak pejabat flexing karena lagi tren. Bisa jadi ini bagian lagi tren aja mengungkap harta kekayaan pejabat. Nanti akan ada surutnya," katanya.

Sementara itu, pakar komunikasi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Iwan Awaluddin Yusuf menyebut, fenomena ini memiliki dua sisi mata uang.

“Sisi positifnya pertama ini memang salah satu ruang bagi netizen untuk menyatakan selama ini kekecewaannya terhadap penanganan kasus korupsi. Karena di media sosial terkoneksi dan memungkinkan untuk melakukan hal itu," kata dia.

Namun demikian, dampak negatif yang juga dibawa oleh fenomena ini adalah glorifikasi kekuasaan netizen. Seolah netizen yang paling berkuasa, padahal sebenarnya kewenangan masalah seperti ini ada di penegak hukum. Iwan menyebut, hal yang mengkhawatirkan ketika ini terjadi adalah praktik doxing yang justru kontraproduktif dengan demokrasi.

“Ketika netizen bergerak secara berlebihan, khawatirnya satu ini jadi langkah yang kontraproduktif terhadap demokrasi. Misalnya netizen melakukan doxing mengeluarkan data-data yang bersifat privat, tidak ada kepentingannya dengan urusan publik," katanya.

Menurut Iwan, hal ini harusnya menyadarkan masyarakat dan juga penegak hukum terhadap perlunya proses komunikasi dari para penegak hukum tanpa harus menunggu ada respons dari netizen untuk mengulik seseorang.

Iwan juga menyebut, saat ini pengaruh investigasi mandiri oleh netizen tersebut masih kuat karena turut diamplifikasi oleh media mainstream.

“Sekarang platform media sosial sangat banyak ya, sehingga kekuatannya bukan pada leadershipnya, tapi pada viralitasnya. Ketika itu menjadi viral, maka ini gayung bersambut dengan media mainstream yang menjadikan ini trending topik yang akan diangkat isu ini. Dan kemudian memancing para pejabat berkomentar," tandasnya.

Potensi Kriminalisasi yang Harus Diwaspadai

Di sisi lain, Isnur menyebut, praktik semacam ini sejatinya mengundang bahaya bagi masyarakat.

“Walaupun memang baik secara partisipasi masyarakat, tapi pertanyaan besarnya apakah ada perlindungan terhadap orang-orang yang melapor ini? Karena potensi untuk dikenakan UU ITE oleh orang yang dipublikasi sangat tinggi,” kata Isnur.

Isnur mencontohkan kasus terbaru yang dialami koordinator IPW ketika melaporkan dugaan gratifikasi seorang wakil menteri dan stafnya. Ia justru dilaporkan balik di Bareskrim dengan pasal pencemaran nama baik.

“Ini kan artinya menjerumuskan warga ke dalam kondisi yang berbahaya,” kata Isnur.

Untuk itu, kata Isnur, masyarakat saat ini harus saling menjaga supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap warga sipil yang mungkin memiliki kemampuan untuk membuka bukti flexing pejabat tersebut.

“Pertama teman-teman perlu saling menjaga. Jadi kalau ada yang berani, yang punya kemampuan menspill seperti itu harus kita sama-sama bantu. Itu prinsip ya, gotong royong warga jaga warga," kata Isnur.

Isnur menyebut, walaupun konsep investigasi ala warga ini sebenarnya salah secara bernegara, tetapi warga negara sebenarnya berhak memberikan kritik kepada pejabat.

“Jadi warga negara jangan takut untuk terus bersuara, untuk terus mengkritisi pejabat pemerintah. Karena mereka memang orang yang layak dievaluasi," kata dia.

Selain itu, kata Isnur, masyarakat perlu belajar bagaimana menyampaikan ekspresinya dengan tidak berpotensi dikriminalisasi. Itu ada trik-triknya.

“Misalnya hal yang sudah terbuka, dipublikasi ulang itu kan tidak masalah. Dan kemudian selalu disiapkan diksi bahwa ini adalah dugaan. Jadi tidak langsung menjudge," tandasnya.

Tirto juga melakukan wawancara kepada tim di balik akun Twitter yang dalam beberapa bulan terakhir giat melancarkan aksi investigasi mandiri ini. Mereka mengaku melakukan hal tersebut semata atas perintah KPK untuk memviralkan pejabat flexing.

“Karena permintaan bantuan KPK terhadap netizen. Sebelumnya kami tidak pernah melakukan ini. Tentu sekaligus sebagai bentuk tekanan publik terhadap KPK," kata tim akun tersebut.

Mereka juga mengaku memiliki dua sumber data utama, yakni dari tim internal dan juga kiriman dari warganet.

“Ada tim khusus (untuk menyisir rekam jejak flexing pejabat dan keluarganya) dan ada yang dari warganet. Khusus yang dari warganet kami seleksi dan verifikasi terlebih dahulu untuk mencegah gerakan ini dari pembusukan seperti: alat balas dendam, persaingan politik, persaingan bisnis, karier, dll. Kami tidak ingin diperalat untuk kepentingan tertentu selain untuk pemberantasan korupsi,” katanya.

Baca juga artikel terkait HARTA JUMBO PEJABAT atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz