Menuju konten utama
Kontroversi Menkes Terawan

Intrik dan Pembelokan Hasil Satgas Metode 'Cuci Otak' Terawan

Hasil kajian Satgas IAHF 2018 merekomendasikan semua praktik IAHF untuk tujuan terapi dihentikan. Namun, praktik itu masih dijalankan Terawan dan timnya.

Intrik dan Pembelokan Hasil Satgas Metode 'Cuci Otak' Terawan
Ilustrasi Kontroversi Menkes Terawan. tirto.id/Lougas

tirto.id - Sebulan sebelum Presiden Joko Widodo mengangkat dokter Terawan Agus Putranto menjadi Menteri Kesehatan, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) mengirim surat keberatan. Dalam surat itu MKEK meminta Presiden tidak mengangkat Terawan menjadi Menkes lantaran kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan Kepala RSPAD Gatot Soebroto itu.

Surat itu membuka lagi polemik lama. Pada Februari 2018, MKEK menjatuhkan sanksi pencabutan keanggotaan IDI dan izin praktik terhadap Terawan karena pelanggaran etik. Surat itu menjadi perbincangan publik.

Pelanggaran etik ini bermula dari praktik Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) untuk tujuan terapi yang dilakukan oleh Terawan sejak 2004. Metode itu diklaim Terawan merupakan modifikasi penggunaan Digital Subtraction Angiography (DSA). Sayangnya, metode itu belum memiliki landasan ilmiah.

Salah seorang perwakilan MKEK yang enggan disebutkan indentitasnya menceritakan, Terawan pernah mendatangi MKEK untuk meminta dukungan terhadap terapi IAHF untuk terapi. Saat itu, nama IAHF lebih dikenal orang dengan sebutan brainwash atau "cuci otak". Nama IAHF baru diperkenalkan Terawan dalam disertasi di Universitas Hasanuddin Makasssar tahun 2016.

MKEK meminta agar dokter militer itu segera membuat bukti ilmiah atas metode yang dia gunakan. Terawan saat itu berjanji akan mempublikasikan bukti ilmiah dalam waktu enam bulan.

“(Pertemuan itu) lebih dari lima tahun lalu, lebih juga dari tujuh tahun lalu. Intinya, beliau minta dukungan yang baik, "ucap seorang dokter perwakilan MKEK Pusat itu kepada Tirto, akhir November lalu.

"Selama itu ilmiah," tambahnya, "itu tidak masalah.”

Namun, sampai berkali-kali ditagih memberikan bukti ilmiah, Terawan tidak kunjung memberikannya. Sementara itu, praktik IAHF terus dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto.

Alih-alih memberikan bukti ilmiah, Terawan gencar mempromosikan IAHF ke publik. Karena itu, pada 5 Januari 2015, MKEK memanggil Terawan dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik. Namun, Terawan absen.

Terawan mengabaikan panggilan pada sidang berikutnya secara berturut-turut pada 30 Januari, 3 Maret, 30 April, dan 26 Mei 2015. Setelah tiga tahun kasus pelanggaran kode etik itu macet, Majelis kembali mengundang Terawan pada 16 Januari 2018. Itu pun dia absen lagi. Majelis memutuskan menggelar sidang secara in absentia.

Intrik di Dalam IDI

Karena masih tak ada respons dari Terawan, MKEK IDI menjatuhkan sanksi pencabutan keanggotaan IDI Terawan pada 12 Februari 2018.

Surat keputusan MKEK IDI menjelskan Terawan telah melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) pasal 4, pasal 18, pasal 3 ayat 17, dan pasal 6.

Pelanggaran etik meliputi empat hal: pertama, mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan untuk pengobatan dan pencegahan; kedua, tidak kooperatif pada sidang Majelis; ketiga, menarik bayaran dalam jumlah besar pada tindakan yang belum ada bukti medisnya; dan keempat, menjanjikan kesembuhan pasien.

Keputusan MKEK IDI itu tidak langsung dieksekusi oleh PB (Pengurus Besar) IDI. Sebabnya, surat sanksi MKEK itu menimbulkan polemik. Muncul pro dan kontra terhadap pengobatan yang dilakukan oleh Terawan.

Sejumlah pejabat Indonesia dan politikus Senayan yang pernah berobat kepada Terawan memberikan testimoni yang baik, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan petinggi partai Golkar Aburizal Bakrie.

Alih-alih segera menjatuhkan sanksi, Ketua Umum PB IDI saat itu, Prof dr Ilham Oetama Marsis, justru membuat forum klarifikasi dengan Terawan pada April 2018 di Hotel Borobudur. Saat itu Terawan hadir dengan didampingi sejumlah perwira TNI.

Usai pertemuan itu, Marsis melunak. Ia memutuskan penjatuhan sanksi terhadap Terawan ditunda hingga Muktamar IDI di Samarinda pada September 2018.

"PB IDI menunda melaksanakan putusan MKEK karena keadaan tertentu. Ditegaskan bahwa hingga saat ini Dokter Terawan Agus Putranto masih berstatus sebagai anggota IDI," kata Marsis dalam konferensi pers di kantor PB IDI, Jakarta, 9 April 2018.

Kegaduhan ini berujung politis.

DPR turun tangan. Memanggil Kementerian Kesehatan dan IDI membahas kasus tersebut. Hasil pertemuan itu: DPR meminta Kemenkes membentuk tim Satgas Kajian IAHF untuk tujuan terapi.

Pada 22 Mei 2018, Satgas dibentuk dengan diketuai oleh Prof. Dr. dr. Sukman Tulus Putra. Setelah pembentukan Satgas itu, polemik redup. Satgas bekerja cepat dan menyelesaikan kajian pada Juli 2018. Sayangnya, hasil kajian itu tidak pernah dipublikasi oleh Kemenkes.

Setelah hasil Satgas selesai dan Muktamar IDI di Samarinda digelar, Pengurus Besar IDI baru mengirim surat kepada Terawan. (Surata bisa dibaca di sini.)

Surat itu berisi tentang penyampaian putusan sanksi terhadap Terawan karena sudah melanggar etik kedokteran sebagaimana sudah diputuskan MKEK IDI pada 12 Februari 2018.

Dalam surat bertanggal 16 Oktober 2018, sanksi berlaku sejak surat itu dikirimkan. Sanksi atas pelanggaran itu: keanggotaan Terawan di IDI dicabut selama satu tahun. Bila dihitung, seharusnya sanksi itu berakhir pada 16 Oktober 2019, tepat seminggu sebelum Terawan diangkat menjadi Menteri Kesehatan oleh Presiden Joko Widodo.

Pembelokan Hasil Satgas IAHF

Pada November 2019, Tirto dan Tempo berkolaborasi mengusut kembali kasus Terawan dan mendapatkan dokumen kajian Satgas IAHF. (Dokumen bisa dibaca di sini.)

Hasilnya: Satgas merekomendasikan praktik IAHF untuk terapi di seluruh Indonesia dihentikan dan perlu penelitian lebih lanjut dengan metodologi yang baik dan benar.

Ada empat kesimpulan yang mendasari rekomendasi itu:

Pertama, belum ada bukti ilmiah yang menjadi dasar praktik IAHF untuk tujuan terapi;

Kedua, tidak selaras dengan etika kedokteran;

Ketiga, berpotensi melanggar berbagai undang-undang;

Keempat; standar kompetensi IAHF untuk tujuan terapi belum disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.

Meski hasil Satgas sudah merekomendasikan penghentian praktik IAHF untuk tujuan terapi di seluruh Indonesia, faktanya, praktik ini masih saja dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto.

Masih mempraktikkan IAHF untuk tujuan terapi ini tidak lepas dari surat rahasia yang dikirimkan Nila Moeloek, Menteri Kesehatan saat itu, kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), saat itu dijabat oleh Mulyono.(Dokumen surat bisa dibaca di hal 1 & hal 2.)

Surat bernomor YR.06.03/Menkes/622/2018 itu berisi pemberitahuan tentang hasil kajian Satuan Tugas (Satgas) Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) yang dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto. Surat itu dikirim Nila pada 16 Oktober 2018, tepat pada hari yang sama ketika IDI memberlakukan sanksi kepada Terawan.

Dalam surat itu Nila memutuskan metode IAHF sebagai terapi dapat dilakukan dalam rangka penelitian berbasis pelayanan. Namun, salah satu syaratnya harus melaporkan secara berkala hasil penelitian kepada Menteri Kesehatan.

Keputusan Nila itu berbeda dengan hasil Satgas, yang meminta menghentikan praktik IAHF. Namun, Nila membantah isi surat rahasianya kepada KSAD berbeda dengan hasil rekomendasi Satgas.

“Sama, berbasis penelitian,” kata Nila kepada Tirto dan Tempo saat kami menemui dia di rumahnya pada 26 November lalu.

Nila menegaskan sudah memanggil Terawan terkait masalah ini. Namun, karena alasan menghormati teman sejawat dokter, ia tidak membuka ke publik.

“Saya tidak memanggil dia di depan umum untuk membicarakan ini. Ada saksinya. Dirjen Pelayanan Kesehatan dan staf ahli saya. Kami duduk berempat."

"Saya bisa saja memutuskan di depan umum, tapi tidak saya lakukan. Saya menghormati sesama teman sejawat dokter,” ujar Nila.

INFOGRAFIK HL Terawan

Kontroversi Menkes Terawan

Tirto sudah berupaya mengonfirmasi soal surat rahasia itu kepada Mulyono. Namun, sampai artikel ini diterbitkan, tidak ada respons dari Mulyono.

Sementara itu, seorang anggota dari tim Satuan Tugas IAHF berkata tidak mengetahui surat rahasia Nila kepada Mulyono.

"Saya tidak tahu selanjutnya. Pokoknya rekomendasi telah diberikan berdasarkan kajian ilmiah dari tim Satuan Tugas,” ucap dia ketika dihubungi Tirto dan Tempo pada 29 November lalu.

“Karena itulah kami secara utuh memberikan semua hasil dan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan,” katanya, lagi.

Terawan tak ambil pusing dengan rekomendasi Satgas. Ia berkata hanya berpegang pada keputusan menteri sebagaimana tercantum dalam surat rahasia.

“Ya, biar saja. Satuan Tugas itu ending-nya surat Menteri. Surat ini mau keras, mau menjebloskan, mau apa, itu tidak penting," kata Terawan kepada Tirto dan Tempo. "Yang paling penting adalah surat keputusannya, bukan prosesnya."

___________

Laporan ini merupakan hasil kolaborasi Tirto dan Majalah Tempo. Semua hasil wawancara dan data yang didapat reporter Tirto dan Tempo digunakan bersama sebagai bahan tulisan. Reporter Tirto yang terlibat dalam liputan ini: Aulia Adam, Aditya Widya Putri, dan Adi Briantika.

Baca juga artikel terkait METODE CUCI OTAK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Indepth
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Mawa Kresna