Menuju konten utama

Internet Mati Saat Nyepi, Apa yang Terjadi Hidup Tanpa Internet?

Kebutuhan manusia masa kini terhadap internet tak bisa dipungkiri. Pertanyaannya apa yang terjadi bila hidup tanpa internet?

Ilustrasi. Dua orang pengguna laptop sedang memanfaatkan jaringan wifi. Foto/Getty Images/Patrick Lux

tirto.id - Hari Raya Nyepi jadi ritual tahunan para penganut Hindu khususnya di Bali. Ritual suci yang mewajibkan para penganutnya untuk tidak melakukan aktivitas keduniawian. Khusus tahun ini ada seruan bersama dari majelis agama dan keagamaan di Bali agar selama Nyepi pihak provider diharapkan untuk mematikan layanan internet.

Pemerintah merespons, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, menghormati seruan tersebut. Rudiantara mengeluarkan surat edaran agar seluruh Penyelenggara Telekomunikasi yang menyediakan layanan akses internet di Provinsi Bali untuk melakukan langkah-langkah dalam mendukung seruan bersama.

Namun, ada juga imbauan agar tetap menjaga kualitas layanan akses internet untuk obyek-obyek vital serta layanan kepentingan umum yang menurut sifatnya harus tetap berlangsung layanan internet. Pemerintah pada akhirnya menyerahkan ini kepada masing-masing provider.

Seruan kepada provider untuk mematikan internet saat Hari Raya Nyepi di Bali mendapat respons yang beragam. Ada yang setuju ada juga sebaliknya. I Gusti Agung Cok, salah seorang aktivis keagamaan Hindu, termasuk yang mendukung. Alasannya menghindari internet selama Nyepi, yang merupakan bagian dari bagian ritual amati pekaryan, alias tidak melakukan pekerjaan selama Nyepi.

Namun, ia juga berpendapat bahwa penduduk Bali tak 100 persen beragama Hindu dan menjalankan Nyepi. Ada penganut agama lain di Bali yang hak-hak-nya wajib dihormati. I Gede Bagus Gigih Ferdian Baskara dari Keluarga Mahasiswa Hindu Institut Teknologi Bandung (ITB) berpendapat internet tak perlu dimatikan oleh provider saat Nyepi. Ia beralasan karena internet berada di bawah kendali seseorang, maka masing-masing individu yang mengendalikannya.

Di luar persoalan seruan dan respons yang beragam ihwal internet pada Hari Raya Nyepi yang memang perlu dihormati. Namun ada pertanyaan yang mendasar, apa yang terjadi bila manusia hidup tanpa internet?

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/16/hidup-tanpa-internet--mild--rangga-01.jpg" width="860" alt="infografik hidup tanpa internet" /

Hidup Tanpa Internet

Satu hari di tahun 1975, New York Telephone Company menghentikan layanan telepon rumah di 300 blok di Manhattan, New York selama 23 hari. Dalam laporan yang ditulis BBC, berjudul What if The Internet Stopped for a Day? setelah pemadaman itu ada survei terhadap 190 warga yang kena dampak. Hasilnya empat per lima responden mengatakan bahwa mereka kehilangan kontak dengan teman dan keluarga. Selebihnya ada dua per tiga responden yang merasa terisolasi dan gelisah.

Namun, kini telepon rumah hampir dilupakan. Semenjak dekade 1990-an, dunia semakin terhubung melalui jaringan internet sebagai sarana berkomunikasi selain telepon. Pada 1995 hanya 1 persen penduduk Bumi yang online dengan internet. Kini 54,4 persen penduduk Bumi adalah pengguna internet, jaringan dan penggunaan internet telah mendominasi masyarakat dunia.

Paul Kingsley dan Terry Anderson, peneliti dari University of Ulster, Irlandia Utara, pada penelitian yang dituangkan dalam jurnal berjudul “Facing Life Without the Internet” (1998) menyatakan bahwa 26,8 persen dari 128 mahasiswa yang menjadi objek penelitiannya, mengaku sepakat akan kehilangan sesuatu yang spesial saat tak terkoneksi internet.

Selain itu, ada 40,6 persen dari responden yang menyatakan tidak setuju hidup tanpa internet. Tercatat juga ada 10,1 persen responden yang menyatakan bahwa hidup tanpa internet merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh mereka.

Pada penelitian ini terungkap, layanan email merupakan fasilitas internet yang paling dibutuhkan. Sebanyak 32,3 persen responden mengaku tidak masalah bila kehilangan akses mengakses world wide web asal tetap dapat menggunakan email.

Penelitian ini menyimpulkan alasan manusia kian tergantung pada internet karena manusia modern kini telah menjadi masyarakat yang haus informasi. Sebanyak 55,5 persen responden setuju bahwa masa depan mereka yang tidak memperoleh informasi akan menyebabkan keadaan buruk dalam hidup.

Namun, penelitian Kingsley dan Anderson memang dalam konteks penggunaan internet pada masa awal-awal kemunculannya di dunia periode 1990-an akhir. Kebutuhan orang terhadap internet pada periode makin terkini tentu makin kompleks, dan tak hanya sebatas email saja. Berbagai layanan digital yang tersambung dengan internet seperti beragam aplikasi, game, belanja online, ride sharing dan sebagainya tentu makin membuat orang bergantung dengan internet.

Michael Calore, editor senior Wired, menyatakan secara tersirat bahwa ketergantungan manusia pada internet masa ini atas kesuksesan teknologi ini "membunuh" waktu menunggu.

“Bukan hanya kemampuan untuk mendapatkan jawaban ataupun pengiriman di hari yang sama yang dipenuhi dunia online, ini karena atas kehadiran internet, aspek menunggu pada banyak hal hilang,” terang Calore pada The Atlantic.

Persoalan waktu ini pula yang bisa menggambarkan ketergantungan orang pada internet setiap hari. Data lain dari Statista menyatakan bahwa generasi milenial menghabiskan waktu selama 223 menit alias 3,7 jam sehari untuk online menggunakan perangkat mobile dengan jaringan internet. Ini menggambarkan cengkeraman internet pada manusia masa kini semakin tak terhindari. Menurut penelitian yang dilakukan perusahaan solusi teknologi informasi Excelacom, dalam 60 detik ada 2,4 juta orang yang mencari sesuatu melalui Google.

Internet masa kini juga melekat pada gadget, yang kenyataannya menjadi teman sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian yang dirilis Nielsen Mobile Shopping, Banking and Payment Report pada Oktober 2016, sebanyak 53 persen konsumen global mengatakan merasa tidak tenang jika berada jauh dari perangkat mobile.

Penelitian yang dilakukan pada 1-23 Maret 2016 dengan sampel lebih dari 30.000 konsumen online di 63 negara di seluruh Asia-Pasifik, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Utara ini menyatakan sebanyak 56 persen responden tidak dapat membayangkan hidup tanpa perangkat mobile. Sebanyak 70 persen menyatakan perangkat mobile membuat hidup mereka menjadi lebih baik.

Mengukur seberapa sanggup manusia bisa hidup tanpa internet memang sangat relatif. Namun, dari waktu yang digunakan orang untuk berinternet hingga berjam-jam per hari, dan tak menggunakan internet bisa berdampak bagi perasaan individu, maka tak bisa disangkal internet memang sudah jadi kebutuhan. Apakah kebutuhan ini bisa dikendalikan? Jawabannya tentu bisa.

Baca juga artikel terkait HARI RAYA NYEPI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra
-->