Menuju konten utama

Intangible Asset: Aset yang Menentukan Valuasi Startup

Intangible Asset atau aset tidak berwujud menjadi aspek penting dalam bisnis perusahaan rintisan.

Ilustrasi Space Startup. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Amazon, perusahaan raksasa e-commerce Amerika Serikat (AS) dikabarkan tengah dalam pembicaraan untuk menyuntikkan dana ke perusahaan rintisan ride-hailing, Gojek.

Bloomberg melaporkan, rencana ini merupakan langkah Amazon dalam rangka meningkatkan kehadiran perusahaan AS di kawasan Asia Tenggara, termasuk di pasar Indonesia.

Amazon menjadi salah satu perusahaan yang tengah melakukan negosiasi untuk bisa ikut serta dalam putaran pendanaan Gojek yang hingga saat ini masih berlangsung. Salah satu skenario yang telah dipertimbangkan adalah Amazon akan berinvestasi dengan nilai yang cukup besar di Gojek.

Menurut sumber Wall Street Journal, masih dari Bloomberg, langkah ini dapat menandai investasi Amazon paling signifikan di Indonesia. Sebelumnya, raksasa ritel yang berbasis di Seattle, Amerika Serikat, ini menanamkan modal di Singapura dengan Amazon Prime Now pada 2017 lalu.

Mulai beroperasi sejak 2015 dengan bisnis awal ride-sharing, Gojek kini berkembang menjadi 'Super App' atau aplikasi super yang menyediakan sebuah layanan ekosistem lengkap bagi pengguna mereka. Tidak hanya menjadi aplikasi penyedia jasa layanan berbagi perjalanan (ride sharing), Gojek juga melayani bisnis pengiriman makanan, pengiriman barang, sampai dengan penyedia dompet digital.

Putaran pendanaan Seri F yang digelar Gojek senilai USD10 miliar, menurut CB Insight, telah mendapat investasi dari Visa Inc., Siam Commercial Bank Plc Thailand, Mitsubishi Motors Corp, Mitsubishi Corp dan Mitsubishi UFJ Lease & Finance Co., tahun ini.

Mengapa Banyak Perusahaan Tertarik?

Hingga saat ini Gojek telah didukung cukup banyak investor dan perusahaan besar, mulai dari Astra International, Temasek Holdings, Tencent Holdings, Google, Sequoia Capital, hingga Warburg Pincus. Tirto sebelumnya pernah melaporkan, sampai dengan April 2019 setidaknya terdapat 24 investor dan perusahaan besar yang menyokong pendanaan Gojek.

Berbagai investor yang telah menyuntikkan dana tersebut mendorong Gojek mencapai status sebagai decacorn, yakni perusahaan dengan valuasi minimum senilai USD10 miliar. Dalam laporan yang dirilis CB Insight berjudul "The Global Unicorn Club," Gojek menduduki posisi ke-19 sebagai startup paling bernilai dari 300 startup di seluruh dunia.

Valuasi Gojek yang kini setara Rp142 triliun (kurs Rp14.200 per dolar AS) tersebut bernilai 14 kali lipat dibanding kapitalisasi pasar maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang berada di angka Rp11,07 triliun.

Pertanyaannya, bagaimana bisa valuasi Gojek lebih besar ketimbang Garuda Indonesia yang memiliki aset 142 armada dan aset senilai USD4,5 miliar? Padahal, Gojek hanya 'memanfaatkan' kendaraan bermotor milik mitra pengemudi dalam menjalankan bisnisnya.

Akademisi dan Guru Besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali menjelaskan, valuasi Gojek yang lebih besar karena analisis bisnis di era digital saat ini sudah berubah. Menurutnya, era digital banyak melahirkan teori maupun metode bisnis baru yang tidak relevan dengan sebelumnya.

Dengan demikian, analisis bisnis pun berubah. Kini terdapat pula aset baru berupa intangible asset atau aset tidak berwujud. Aset tidak berwujud ini merupakan aset yang tidak bisa diukur dan dicatat pada balance sheet akuntasi laporan keuangan perusahaan.

“Gojek tidak punya satu pun motor, tapi valuasinya melebihi Garuda. Apa asetnya? Intangible atau tidak berwujud, karena berupa keterampilan (skill), ide, novasi, pengetahuan, dan brain image,” jelas Rhenald kepada Tirto di acara Virtus Showcase 2019 di Hotel Mulia, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Aset ini berbeda dengan aset berwujud atau tangible asset yang biasa menjadi jaminan pinjaman perbankan untuk mendapat suntikan modal. Intangible asset menurut Rhenald, tidak bisa dijamin oleh perbankan, melainkan melekat pada diri seseorang seperti keterampilan, ide, inovasi, pengetahuan, dan brain image.

Meski tidak bisa dicatatkan menggunakan metode akuntansi, aset tidak berwujud ini banyak digunakan oleh milenial dalam membangun bisnis di era digital. “Hal inilah yang menyebabkan teori bisnis lama menjadi usang dan model bisnis tidak lagi relevan di era digital,” imbuh Rhenald.

Ia mencontohkan, perusahaan mengirim 100 orang pegawai ke luar negeri untuk belajar. Tujuannya, agar pengetahuan dan ilmu para karyawan bertambah dan berkembang. Hal ini juga tidak bisa dicatat sebagai aset dalam catatan akuntansi laporan keuangan perusahaan, namun dicatat sebagai cost atau pengeluaran sebab pengetahuan tidak memiliki wujud alias intangible.

Meski demikian, aset yang tidak berwujud ini dapat membantu mengembangkan dan memajukan bisnis start up atau perusahaan rintisan.

“Bisnis perusahaan rintisan milenial saat ini hanya memiliki sedikit aset berwujud dan lebih banyak memiliki intangible asset. Nah, aset ini tidak bisa dijaminkan ke bank untuk mendapatkan suntikan modal, tetapi valuasi bisnis perusahaan rintisan bisa mengalahkan perusahaan sudah berdiri puluhan tahun,” sebut Rhenald.

Selain itu, valuasi Gojek bernilai lebih tinggi dikarenakan memiliki nilai network effect yang lebih besar dibanding perusahaan konvensional yang berdiri sendiri (stand alone). Gojek, menurut Rhenald, memanfaatkan jaringan di luar perusahaan, yakni dengan memanfaatkan kendaraan roda dua maupun roda empat yang dimiliki oleh mitra mitra Gojek.

Selain itu, Gojek juga menjelma menjadi ekosistem sebab mengembangkan inovasi bisnis lain mulai dari layanan bisnis pengiriman makanan, pengiriman barang, sampai dengan penyedia dompet digital. Bisnis hospitality (layanan jasa kebersihan) dan juga pembelian obat pun dirambah Gojek.

Dalam skala yang lebih besar, Google melalui Android dan Apple melalui IOS pada iPhone sesungguhnya juga melakukan hal yang hampir serupa seperti Gojek. Ponsel Android dan iPhone memanfaatkan ekosistem App Store dan Google Store sehingga terbangun sebuah jaringan.

"Inilah yang membunuh Nokia yang stand alone, yang hanya mengandalkan fitur SMS dan fungsi telepon dalam ponselnya" jelas Rhenald.

Infografik Aset Tak berwujud

Infografik Aset Tak berwujud. tirto.id/Quita

Aset Tak Berwujud dan Perusahaan

Polavarapu M. Rao dalam salah satu jurnalnya berjudul "What do we know about entrepreneurship as an intangible asset?" (PDF) menuliskan, banyak kemajuan telah dibuat dalam pengukuran aset tidak berwujud dalam suatu usaha.

Perkiraan aset tidak berwujud untuk ekonomi AS, misalnya, lebih besar 36 persen ketimbang aset berwujud. “Hampir setengah dari angka itu dalam bentuk R&D (research and development) ilmiah dan non-ilmiah,” tulis Polavarapu dalam jurnal yang diterbitkan oleh Long Island University (LIU) tersebut.

Salah satu implikasi semakin pentingnya aset tidak berwujud adalah pendalaman modal dan kontribusinya terhadap pertumbuhan dalam produktivitas tenaga kerja sumber daya manusia. Maka tidak mengherankan jika estimasi tingkat aset tidak berwujud di Microsoft mencapai 96 persen pada 2006.

“Microsoft adalah sebuah contoh kisah tentang keberhasilan penggunaan input pengetahuan untuk menghasilkan output pengetahuan,” lanjut Polavarapu.

Mengelola aset tidak berwujud adalah tugas rumit dan membingungkan. Hal ini karena sistem akuntansi yang saat ini berlaku dirancang hanya untuk aset berwujud. Alhasil, banyak perusahaan yang mengabaikan aset tidak berwujud dan aset modal intelektual.

Padahal, “Aset tidak berwujud adalah faktor yang dapat mengangkat keunggulan kompetitif dan berkelanjutan kinerja perusahaan,” tulis Pankaj M. Madhani dari ICFAI Business School dalam salah satu jurnalnya berjudul "Intangible Asset: Value Drivers for Competitive Advantage" (PDF).

"Oleh karena itu, perusahaan harus menemukan cara untuk mengidentifikasi, mengukur, mengelola aset tidak berwujud utama mereka."

Baca juga artikel terkait STARTUP atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara