Menuju konten utama
3 Juli 1988

Insiden Penembakan Iran Air 665 & Arogansi Amerika Serikat

Kecerobohan USS Vincennes membuat pesawat Iran Air nomor penerbangan 665 tertembak jatuh. Sudah jelas salah, AS tetap enggan meminta maaf.

Insiden Penembakan Iran Air 665 & Arogansi Amerika Serikat
Header Mozaik Iran Air. tirto.id/Sabit

tirto.id - Amerika Serikat dan Iran adalah musuh abadi dalam percaturan politik global. Sejarah mencatat awal mula pertengkaran keduanya dimulai pada 1979. Ada dua kejadian penting di tahun tersebut yang menjadi akar perseteruan panjang kedua negara.

Pertama, Revolusi Islam Iran. Revolusi ini mengubah Iran menjadi negara Islam yang sangat garang terhadap negeri Barat, khususnya AS. Pemimpin revolusi Ayatulloh Khomeini (1902-1989) memandang eksistensi kepentingan AS di Iran selama bertahun-tahun sebelumnya sudah kelewat batas karena turut merecoki urusan internal Iran. Maka sudah saatnya Iran mengusir dan mengobarkan perlawanan terhadap Negeri Paman Sam.

Hal itu kemudian berkelindan dengan kejadian kedua, yakni pendudukan Kedutaan Besar AS di Teheran. Para ahli sejarah politik sepakat bahwa peristiwa itu merupakan titik awal perseteruan kedua negara. Pendudukan Kedutaan Besar AS itu kemudian diikuti oleh drama penyanderaan terhadap warga negara AS.

Peristiwa itu adalah pukulan telak terhadap AS, terlebih penyanderaan itu dalam waktu lama—444 hari. Pemerintah AS pun cukup kelimpungan menangangi kasus ini. Sejak saat itu, hubungan AS dan Iran tidak pernah sama lagi.

Beberapa bulan setelah dimulainya penyanderaan, terjadi pertempuran di perbatasan Iran-Irak. Pada 1980, militer Irak pimpinan Saddam Husein merangsek masuk ke teritori Iran dan memicu pecahnya Perang Iran vs Irak. Konflik ini pada akhirnya bukan hanya sebatas pertempuran dua negara.

AS, sebagai negara kontra Iran, mendukung Irak melalui bantuan persenjataan dan informasi intelijen. Lebih dari itu, AS juga mengeluarkan jurus andalannya untuk semakin menekan Negeri Para Mullah itu: sanksi dan embargo.

Di tengah perseteruan AS-Iran yang tak berkesudahan itu, terjadilah peristiwa yang membuat api kemarahan Iran semakin berkobar. Di tahun ke-8 perang, AS melakukan kesalahan fatal: menembak pesawat komersil Iran Air dengan nomor penerbangan 665.

Salah Tembak

Amerika Serikat telah melakukan pembantaian barbar. Kami bersumpah untuk membalas darah para martir kami.”

Kalimat itu disampaikan oleh elite Iran sebagai reaksi atas ditembaknya pesawat sipil maskapai Iran Air oleh AS pada Minggu, 3 Juli 1988—tepat hari ini 34 tahun silam.

Hari itu, pesawat Iran Air rute Bandar Abbas-Dubai dengan kode penerbangan 665 dijadwalkan akan lepas landas pada pukul 10.17 waktu setempat. Meski dalam kondisi perang, tidak ada yang berbeda dalam perjalanan yang menempuh jarak 225 km itu.

Pesawat tetap boleh mengudara karena tidak ada larangan terbang di sepanjang rutenya. Bagi Iran Air pun, ini adalah rute yang sangat biasa. Maskapai tersebut sudah berulang kali melewati rute serupa: melintasi Selat Hormuz sebelum akhirnya mendarat langsung di Dubai, Uni Emirat Arab.

Penerbangan 665 pagi itu diprediksi akan berjalan lancar. Kondisi cuaca, mesin pesawat, hingga kesiapan awak kabin dinyatakan tidak ada masalah. Ketika jarum jam menunjukkan tepat pukul 10.17, pesawat pun lepas landas dengan membawa 274 penumpang dan 16 awak. Pesawat pun dengan cepat melesat ke ketinggian 14 ribu kaki.

Pada waktu bersamaan, di perairan Hormuz—persis di bawah rute Penerbangan 665, terjadi kontak senjata antara militer Iran dan AS. Kapal perang Iran melakukan tembakan ke arah helikopter pengintai AS yang memasuki perairan Iran. Situasi ini membuat seluruh kapal perang AS di Hormuz berada dalam kondisi siaga untuk kontak senjata sehingga pergerakan apa pun dari arah Iran pasti akan dihabisi.

Selang beberapa menit, salah satu kapal perang AS, USS Vincennes, mendeteksi pergerakan pesawat yang menuju ke arahnya. Kapten USS Vincennes percaya itu adalah pesawat tempur F-14 milik Iran yang hendak melakukan serangan.

Tanpa basa-basi, pada pukul 10.24, USS Vincennes meluncurkan rudal untuk menghancurkan pesawat tersebut. Rudal pun tepat mengenai sasaran. Namun, mereka terkejut saat melihat puing-puing pesawat yang berhamburan di perairan. Yang mereka tembak jatuh rupanya bukanlah pesawat tempur, melainkan pesawat komersial.

Pada saat bersamaan, Penerbangan 665 dinyatakan hilang kontak. Pencarian pun dilakukan dan berujung pada kesimpulan: Iran Air Penerbangan 665 ditembak USS Vincennes.

Insiden ini ibarat menyiram minyak tanah ke dalam api. Hubungan kedua negara yang sudah panas pun semakin memanas. Elite Iran langsung mengamuk. Tidak ada lagi kata maaf untuk AS. Dunia internasional pun langsung menyoroti kecerobohan militer AS yang menembak pesawat sipil. Sementara itu, elite AS langsung sibuk mencari seribu alasan pembelaan atas kesalahannya.

AS Cuci Tangan

Penerbangan 665 menggunakan pesawat Airbus A300 yang berukuran besar dan berbadan lebar. Sementara itu, pesawat tempur F-14 berukuran lebih kecil dan ramping. Dari segi kecepatan, keduanya pun berbeda--Airbus A300 tentu lebih lambat dibanding F-14.

Dengan beberapa perbedaan mencolok itu, kesalahan menembak seharusnya tidak terjadi. Tentara AS yang kompeten semestinya mampu membedakan keduanya dengan informasi yang ada di radar, apalagi USS Vincennes terbilang kapal perang canggih.

Karenanya, wajar jika muncul pertanyaan: bagaimana mungkin militer AS salah menembak?

Pentagon awalnya tidak mengakui kalau militernya menembak pesawat sipil dan ngotot sasarannya adalah pesawat F-14. Namun, pentagon kemudian meralat dan mengakui bahwa militernya menembak Iran Air 665.

Infografik Mozaik Iran Air

Infografik Mozaik Iran Air. tirto.id/Sabit

Dalam pernyataan resmi yang dikutip Washington Post, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata sekaligus Presiden AS Ronald Reagan (1981-1989) menyampaikan duka cita dan bela sungkawa atas tragedi itu. Namun, dia enggan untuk meminta maaf secara terbuka. Bahkan, Reagan sempat menyampaikan pernyataan yang jadi blunder dan membuat AS terlihat bodoh.

Reagan menyebut bahwa tindakan USS Vincennes adalah tindakan defensif yang tepat. Sebab, pasukannya menganggap keberadaan pesawat itu sebagai ancaman. USS Vincennes berdalih bahwa kapten telah mengontak Iran Air 665 melalui transmisi radio militer, tapi tidak kunjung dijawab. Akibatnya, mereka terpaksa menembaknya demi keamanan.

Meski begitu, menurut Greg Ryan dalam US Foreign Policy Towards China, Cuba, and Iran (2018), hal itu hanya bualan semata. Pasalnya, pesawat sipil tidak menggunakan transmisi radio miiter untuk berkomunikasi.

Lebih konyolnya lagi, AS tidak mau disalahkan sendirian atas kasus ini. Meski sudah jelas bahwa peluru datang dari kapal perang AS, Paman Sam justru menyalahkan Iran atas kejadian ini.

Wakil Presiden AS George H.W. Bush juga terang-terangan menyebut bahwa Iran adalah negara yang paling bertanggung jawab atas insiden ini. Penelope Kinch dalam buku The USA-Iran Relationship (2016) menyebut AS memandang kejadian ini disebabkan oleh tingkah laku Iran yang terus berperang melawan Irak. Oleh karena itu, AS menempatkan militernya di perairan Hormuz dan penembakan itu terjadi sebagai respons terhadap Iran yang selalu mengobarkan perlawanan. Jadi, menurut Bush, militer AS tidak salah melakukan itu.

Aneh? Tentu saja. Keberanian Bush membuat pernyataan bebal semacam itu tidak terlepas dari fakta bahwa AS adalah negara adidaya yang memiliki pengaruh geo-politik kuat. Maka jangan heran ia dengan mudahnya bisa memutar fakta. Namun, jika kondisinya dibalik, seandainya Iran yang menembak pesawat sipil, AS sudah pasti akan habis-habisan menyalahkan Iran.

Pemerintah AS baru bersedia mengakui kesalahannya pada 1996 di depan Mahkamah Internasional. Ronald Reagan juga menyatakan penyesalan mendalam, sembari meminta maaf kepada pemerintah Iran atas arogansinya beberapa tahun lalu.

Baca juga artikel terkait AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi