Menuju konten utama

Insentif Pajak Diobral, Indonesia Berpotensi Gali Utang Lebih Dalam

Obral insentif pajak untuk menarik investasi dikhawatirkan bakal memperparah defisit anggaran dan membuat posisi utang kembali membengkak.

Insentif Pajak Diobral, Indonesia Berpotensi Gali Utang Lebih Dalam
Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/9/2019). Ratas itu membahas antisipasi perkembangan perekonomian dunia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.

tirto.id - Berbagai insentif pajak diobral pemerintah untuk memperkuat kinerja investasi yang belakangan melempem dan bikin kesal Presiden Joko Widodo. Namun, langkah itu dinilai bakal membebani APBN Indonesia dalam jangka pendek.

Pada tahun ini saja, pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp180 triliun gara-gara insentif tax holiday dan tax allowance. Belum lagi pertumbuhan restitusi pajak yang cukup tinggi dan akan menggerus potensi penerimaan. Hingga paruh kedua tahun 2019, pertumbuhan restitusi mencapai 29,78 persen.

Hingga Juli lalu, Kemenkeu mencatat bahwa penerimaan pajak (PPh Migas+Pajak non-migas) baru mencapai Rp670,1 triliun atau 44,7 persen dari target. Data yang sama juga menunjukkan bahwa pertumbuhan pajak masih terbatas pada level 2,68 persen, atau jauh lebih rendah ketimbang periode sama tahun 2018 yang tumbuh 11,60 persen.

Alhasil, pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk mencapai target pendapatan pajak hingga Desember mendatang. Jika ekstensifikasi pajak tak bisa dilakukan, shortfall atau tidak tercapainya penerimaan pajak tahun ini akan mencapai Rp140 triliun.

Peneliti fiskal Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, pemerintah harusnya sadar akan risiko jangka pendek dari kebijakan obral insentif tersebut.

Sebab, kondisi APBN tak semata dipengaruhi faktor dalam negeri, melainkan juga risiko global seperti anjolknya harga-harga komoditas.

Anjloknya harga komoditas di pasar global, misalnya, membuat pertumbuhan PPh migas pada Juli lalu terkoreksi hingga minus 1,84 persen. Di sisi lain, normalisasi impor untuk menekan defisit perdagangan juga membuat PPh/PPN impor seret dan mengalami pertumbuhan negatif, yakni minus 3,58 persen.

Karena itu, ia mengkritik rencana pemerintah yang justru makin jor-joran memberikan insentif pajak seperti pemangkasan PPh Badan, super deduction tax hingga pembebasan pajak untuk penanaman kembali dividen.

Apalagi belanja pemerintah tiap tahun selalu memiiki tren kenaikan. Jika capaian PNBP dan Bea Cukai tak mampu tumbuh double digit, ia memprediksi pemerintah bakal menggali utang lebih dalam untuk mengganjal pelebaran defisit.

“Dengan penurunan penerimaan negara, defisit anggaran akan lebih besar. Maka potensi utangnya juga semakin besar,” ucap Yusuf kepada Tirto.

Peneliti Institute for Development of Economics an Finance (Indef) Aviliani menilai sejumlah insentif yang direncakan pemerintah akan membuat gerak fiskal makin terbatas.

Pada tahun 2020 misalnya, target defisit dalam RAPBN 2020 berada pada angka minus Rp307,2 triliun atau lebih rendah dari 2019 yang sebesar minus Rp310,8 triliun. Kemungkinan besar, hilangnya potensi penerimaan pajak atau tax expenditure akibat insentif itu harus ditambal dengan utang.

"Pada RAPBN 2020 diperkirakan ratio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 29,4 hingga 30,1 persen," ucapnya.

Memang, jika mengacu pada Undang-Undang 17/2003 tentang keuangan Negara, posisi utang RI masih jauh di bawah ambang maksimal 60 persen terhadap PDB. Namun, ia mengingatkan, penarikan utang tetap harus memperhatikan prioritas serta mengarahkannya untuk pembiayaan produktif yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebab, Debt to Services Ratio (DSR) Indonesia saat ini masih di kisaran 27 persen, yang berarti melewati ambang batas IMF sebesar 25 persen. Tingginya DSR memberi sinyal bahwa utang pemerintah masih kurang produktif untuk mendorong kinerja ekspor Indonesia.

Yang Lebih Penting Ketimbang Insentif

Peneliti perpajakan Indef, Nailul Huda menilai, pemerintah harus mengkaji ulang efektivitas kebijakan relaksasi fiskal baik yang direncanakan maupun yang sudah berjalan.

Soalnya, peningkatan belanja pajak (proksi untuk mengukur besaran biaya insentif fiskal) dalam tiga tahun terakhir tak berbanding lurus dengan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Terakhir pada tahun 2018, belanja pajak sebesar Rp221,3 triliun. Namun yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen dan sektor industri manufaktur yang terus melambat pertumbuhannya," ucapnya.

Penurunan tarif perpajakan juga dinilai tak terlalu efektif karena hubungan dengan penerimaan pajak yang elastis. Wacana pemangkasan PPh Badan sebesar 5 persen, misalnya, tak serta merta bisa mendorong kepatuhan korporasi dan meningkatkan penerimaan pajak.

Belakangan, laporan Bank Dunia juga menyatakan bahwa minimnya penanaman modal Asing (PMA) di Indonesia tak bisa selesai hanya dengan memberikan insentif atau diskon pajak besar-besaran.

"Artinya insentif fiskal yang sebegitu besar tidak efektif dan cenderung dinikmati golongan tertentu," imbuhnya.

Karena itu, menurutnya, yang sangat mendesak untuk diperbaiki saat ini adalah aspek koordinasi antara pusat dan daerah. Misalnya, kendala pembebasan lahan, masalah ketenagakerjaan di tiap daerah, implementasi Online Single Submission (OSS) yang belum berjalan optimal, perbaikan jalur logistik, hingga kemudahan mendapatkan bahan baku.

"Selama ini setelah belasan Paket Kebijakan Ekonomi, perizinan berusaha belum juga naik secara signifikan. Jalur logistik kita juga terkenal mahal, harusnya ini yang diperbaiki oleh pemerintah," terangnya.

Struktur ekonomi Indonesia yang tercermin dari lebarnya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), lanjut Huda, juga jadi masalah krusial yang perlu segera dibenahi oleh pemerintah.

"Tentu investor akan melihat CAD sebagai indikator perekonomian suatu negara stabil atau tidak," terangnya.

Dinanti Pengusaha

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Suahasil Nuzara menuturkan, pemerintah sebenarnya menyadari bahwa biaya logistik, pasar tenaga kerja yang tak fleksibel hingga berbelit-belitnya birokrasi, masih menghambat kemudahan berbisnis dan membuat investor ogah membawa uangnya ke Indonesia.

Karena itu, dalam lima tahun belakangan, satu per-satu problem tersebut mulai diurus oleh pemerintah dengan pembangunan infrastruktur hingga perbaikan sistem OSS.

“Nah, 5 tahun terakhir udah ada yang kita mulai beresin. Kan dia (investor) mau bangun pabrik pakai duit beneran jadi ya dia memikirkan itu semua,” ucap Suahasil usai konferensi pers di Kantor Pusat Ditjen Pajak Kamis pekan lalu (5/9/2019).

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Benny Soetrisno, menyebut bahwa insentif fiskal sangat dibutuhkan oleh pengusaha di tengah kondisi perlambatan ekonomi saat ini.

Dengan keringanan pajak yang diberikan pemerintah, dunia usaha bisa melakukan ekspansi bisnis dan menambah investasi mereka. Multiplier effect-nya, lapangan kerja bertambah dan PDB yang jadi motor penggerak perekonomian bisa meningkat.

“Kami mendukung. Kalau pajak turun, kami bisa investasi lagi dari hasil usaha. Kalau kita enggak punya untung mau investasi apa lagi,” ucap Benni saat dihubungi reporter Tirto Jumat pekan lalu (6/9/2019).

Ia juga berharap wacana pelonggaran pajak bukan pepesan kosong dan mendesak pemerintah untuk segera merealisasikannya.

“Kami pengusaha melihatnya kapan itu diimplementasikan. Jadi bukan rencana bukan proyek. Kapan itu akan direalisasikan,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait UTANG PEMERINTAH atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana