Menuju konten utama

Ingin Jadi Automotive Hub ASEAN, tapi Semikonduktor RI Loyo

Indonesia berangan-angan menjadi automotive hub dan pemasok EV utama di kawasan ASEAN. Namun, belum ada progress berarti dalam industri semikonduktor.

Ingin Jadi Automotive Hub ASEAN, tapi Semikonduktor RI Loyo
Ilustrasi industri semikonduktor. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Meskipun ukurannya relatif kecil, semikonduktor telah memainkan peran penting dalam konektivitas dunia yang semakin terhubung. Perangkat ini telah bertransformasi menjadi komponen esensial dalam infrastruktur digital modern mulai dari bidang telekomunikasi hingga pertahanan.

Kemajuan Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI) berperan besar di balik permintaan semikonduktor global. Namun, kombinasi masalah rantai pasokan dan kekurangan talent menjadi ancaman terhadap sektor ini.

Ketegangan geopolitik yang berdampak pada tekanan inflasi dan kenaikan suku bunga turut memperumit keadaan sehingga mengakibatkan permintaan berkurang. Terlepas dari sederat tantangan di atas, 18th Annual KPMG Global Semiconductor Industry Outlook 2023 memperlihatkan masa depan industri ini tetap cerah.

Pada Kuartal IV/2022, KPMG LLP dan Global Semiconductor Alliance (GSA) melakukan survei terhadap 151 eksekutif semikonduktor global tentang tren, masalah, agenda keuangan, strategis, dan operasional. Hasil riset menunjukkan mereka tetap optimistis meski industri ini diterpa badai beberapa tahun terakhir.

Dari sisi keuangan, sebanyak 81% responden berharap pendapatan perusahaan mereka tumbuh dari tahun ke tahun, lalu 64% lagi mengharapkan pendapatan meningkat pada 2023. Mayoritas berencana meningkatkan pengeluaran untuk belanja modal, tenaga kerja, dan R&D.

Kemudian dari sisi pertumbuhan produk, segmen otomotif paling berperan dalam mendorong aliran pendapatan perusahaan semikonduktor. Sedangkan segmen nirkabel menjadi most-critical end market kedua yang disusul cloud, IoT, dan AI.

Sedangkan dari sisi operasional, terdapat 52% responden yang memprediksi pasokan chip akan mulai membaik pada pertengahan 2023. Lalu ada pula 24% yang yakin telah terjadi kelebihan persediaan dan krisis pasokan chip sudah berakhir. Sebanyak 46% responden akan meningkatkan keragaman geografis rantai pasokan dalam 12 bulan ke depan.

“Hampir dua pertiga pemimpin semikonduktor memperkirakan pendapatan industri akan meningkat, bukan kontrak. Ini adalah indikator positif untuk tahun mendatang mengingat ekonomi saat ini dan fakta industri hampir pada titik kelebihan persediaan,” ujar Mark Gibson, Global Sector Head of Technology, Media & Telecommunications KPMG International dikutip dari situs mereka.

Lebih lanjut, merujuk reportase Straits Times, pasar semikonduktor berpeluang meningkat hampir dua kali lipat menjadi USD1 triliun atau setara Rp14.9 triliun (kurs Rp14.900 per dolar AS) pada akhir dekade ini.

Peluang itu tersaji berkat dorongan selera ekonomi global yang disebabkan berbagai faktor, seperti tren kerja jarak jauh, pengenalan kendaraan listrik, dan aspek kehidupan yang semakin populer secara daring.

Di sisi yang sama, persaingan teknologi Sino-Amerika Serikat (AS) berpotensi menjadi keuntungan sekaligus kutukan bagi negara-negara lainnya. Upaya AS membatasi industri semikonduktor Tiongkok mengisyaratkan perusahaan bakal berekspansi dan menempuh diversifikasi dengan membangun pabrik baru di luar negeri, termasuk di Asia Tenggara.

Namun, ketegangan geopolitik menambah risiko dan ketidakpastian untuk menjalin bisnis dengan satu dari dua rival kekuatan besar yang sedang berseteru. Bagi negara-negara penghasil chip di Asia Tenggara, ada banyak hal yang dipertaruhkan.

Chip komputer tidak hanya menyumbang sebagian besar Produk Domestik Bruto (PDB) mereka. Namun, juga membantu sejumlah negara merayu perusahaan asing berteknologi tinggi untuk berinvestasi dan menumbuhkan tenaga kerja berbakat serta mendukung reputasi kawasan sebagai pusat manufaktur yang andal.

Peluang Negara-Negara ASEAN

Negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina mengandalkan produksi semikonduktor untuk sebagian besar PDB dan ekspor. Di Malaysia, sektor ini menyumbang sekitar 6% dari PDB dan 40% dari ekspor mereka. Mereka bertekad meningkatkan kontribusinya menjadi 8% pada 2025 mendatang.

Tatkala produksi chip front-end berpusat di negara-negara seperti Taiwan dan Korea Selatan, perakitan back-end menjadi fokus Asia Tenggara. Hal ini bisa saja berubah karena beberapa negara berupaya untuk meningkatkan rantai nilai.

Menurut Sumeet Gaikwad dari Asia Fund Managers, industri semikonduktor Asia Tenggara muncul sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan pasokan global. Blok ekonomi dari 10 negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan pengekspor semikonduktor terbesar kedua di dunia, dengan pangsa 22,5% dari ekspor semikonduktor global pada 2019.

Dalam laporan berjudul When Chips Are Down, EY membantu kita memahami alasan mengapa ASEAN berpeluang menjadi kunci untuk memenuhi permintaan sekaligus menjadi solusi permasalahan suplai semikonduktor global.

Ternyata, beberapa negara berada di garis depan. Singapura merupakan pelopor di antara negara-negara ASEAN dalam hal produksi chip dan menyumbang 12,4% ekspor semikonduktor global pada 2020. Lingkungan pertumbuhan yang kondusif serta dukungan pemerintah memungkinkan negara ini menguasainya. Mereka memiliki 19% pangsa pasar global untuk peralatan semikonduktor pada 2021.

Infografik Industri Semikonduktor di Indonesia

Infografik Industri Semikonduktor di Indonesia. tirto.id/Ecun

Setelah Singapura, Malaysia datang sebagai negara terpenting kedua bagi industri semikonduktor Asia Tenggara. Mereka berkontribusi 6,3% terhadap ekspor semikonduktor global pada 2020 dan telah menarik investasi asing senilai USD35 miliar atau setara Rp520 triliun dalam lima dekade terakhir.

Penyebab Indonesia Tertinggal

Meski investor asing telah melirik ASEAN, peluang ini tampaknya belum benar-benar maksimal bagi Indonesia. Statista menunjukkan bahwa pemasukan sektor semikonduktor RI masih tertinggal jauh dari sejumlah negara tetangga.

Menurut data teranyar, pemasukan Indonesia dari sektor tersebut hanya USD1,63 miliar atau setara Rp24 triliun. Sementara itu, Negeri Singa mampu mengantongi pendapatan hingga Rp695,8 triliun atau setara USD46,7 miliar

Indonesia belum mampu memproduksi sendiri komponen penting otomotif di tengah tekad pemerintah untuk menjadi automotive hub dan mengembangkan Electronic Vehicle (EV). Beberapa upaya sebenarnya sudah dilakukan, seperti menarik perhatian investor asing asal AS dan Jerman.

Dalam laporan penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) berjudul Economic Impacts of Local Content Requirements in Indonesia (2022), ada beberapa sektor yang kemungkinan besar tidak akan dikembangkan di Indonesia dalam jangka panjang. Di antaranya adalah perakitan semikonduktor.

Sektor ini menghadapi hambatan masuk yang tinggi dengan lebih dari 48% rantai pasokan global dan 75% manufaktur global berada di Asia Timur saja, belum lagi konsentrasi aktivitas research and development (R&D) di AS dan Eropa.

Taiwan, Tiongkok, dan Korea Selatan adalah produsen teknologi tinggi seperti microchip semikonduktor terbesar. Niat Indonesia untuk membuat microchip sendiri akan membutuhkan investasi yang besar.

Hal itu disebabkan karena ekosistemnya belum terbentuk dan produk ini bukanlah produk yang memiliki keunggulan kompetitif laten di Indonesia. Oleh karena itu, biaya peluang pembuatan microchip akan cukup tinggi.

Dilansir dari Asian Times, Ronald Tundang dan Bryan Mercurio menjelaskan mengapa kurva inovasi Indonesia terbelakang meski punya potensi yang besar. Untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi, Indonesia wajib lebih kompetitif mengingat peringkatnya ada di urutan 50 dari 141 negara pada 2019.

Saat ini, Pemerintah Indonesia tampak lebih serius berinvestasi dan meningkatkan inovasi sebagai sarana pembangunan ekonomi. Tetapi strateginya abai dari komponen penting, yakni intellectual property (IP) atau kekayaan intelektual.

Pemerintah RI dinilai belum menyadari bahwa kekayaan intelektual berperan vital mendorong kapasitas inovatif dan komponen dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dengan jumlah populasi penduduk yang banyak, pengeluaran pemerintah cenderung difokuskan pada kesejahteraan sosial, bukan pada pendidikan atau kemajuan individu. Indonesia memiliki pengeluaran R&D dan pendidikan tersier terendah di antara negara-negara G20.

Karena alasan ini, kemampuan inovatif RI tertinggal dari perkembangan dunia. Merujuk data World Intelectual Property Organization (WIPO) jumlah aplikasi hak paten oleh penduduk Indonesia di tahun 2021 sebesar 1.397. Namun hanya 736 aplikasi atau 53% yang kemudian diterbitkan hak patennya.

Persentase tingkat kelolosan tersebut berbeda jauh dengan kondisi aplikasi yang didaftarkan oleh Warga Negara Asing (WNA) yang ada di Indonesia.

Sebagai contohnya, di tahun 2021 terdapat 7.403 aplikasi yang didaftarkan WNA, dimana 6.114 diantaranya atau sekitar 83% lolos kualifikasi dan mendapatkan hak paten.

Lebih lanjut, kebijakan industri Indonesia dalam satu dekade terakhir berfokus pada upaya mendorong langkah-langkah non-tarif seperti persyaratan kandungan lokal serta insentif pajak untuk mengarahkan investasi hilir di berbagai sektor, mulai dari pertambangan hingga manufaktur.

Prospek keberhasilan pendekatan semacam itu patut dipertanyakan. Sebab faktanya, kebijakan tersebut belum bisa mendorong daya saing global. Sektor manufaktur masih bergantung pada permintaan domestik dan hanya beberapa produk yang menjadi komoditas ekspor paling signifikan.

Menurut Ronald Tundang dan Bryan Mercurio, sudah waktunya bagi Indonesia untuk memikirkan ulang prioritas dan kebijakan industri agar menganut gagasan ekonomi inovatif. Akumulasi pengetahuan melalui pendidikan tinggi dan keterampilan memungkinkan negara untuk mewujudkan impiannya.

Dengan cara ini, Indonesia dapat mengakses ide dan teknologi asing sebelum mengembangkannya lebih jauh seperti yang dilakukan ekonomi Asia awal industrialisasi pada era 1960-1990-an.

“Untuk melakukannya, Indonesia harus memadukan inisiatif kebijakan dengan benar. Dorongan harus tentang mendorong inovasi dan penemuan dengan cara yang akan membenarkan perlindungan IP yang lebih kuat,” tulis mereka.

Baca juga artikel terkait KENDARAAN LISTRIK atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Bisnis
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas