Menuju konten utama
2 Desember 2010

Infrastruktur Piala Dunia 2022 Qatar adalah Hasil Perbudakan Modern

Nasib buruh migran: lembur melulu, upah minim atau telat, akomodasi tak manusiawi, tak bisa “resign” atau pulang sebab paspor disita.

Infrastruktur Piala Dunia 2022 Qatar adalah Hasil Perbudakan Modern
Ilustrasi Mozaik Piala Dunia Perbudakan Modern. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada 2 Desember 2010, tepat hari ini 11 tahun lalu, Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Namun, Qatar belum membereskan desakan dari Amnesty International untuk menyempurnakan reformasi undang-undang ketenagakerjaan. UU ini menyangkut nasib para buruh yang bertugas membangun stadion serta infrastruktur penunjang lainnya.

Seperti dilaporkan BBC Sport, Rabu (6/2/2019), pemerintah Qatar sebenarnya telah menjajaki “langkah penting” dengan menandatangani kesepakatan dengan International Labour Organization (ILO) pada 2017.

Satu tahun kemudian Amnesty International melakukan evaluasi terhadap penerapan kesepakatan. Dalam laporan berjudul “Reality Check”, mereka menegaskan masih banyak yang belum mencapai target. Salah satu yang paling krusial adalah masih berlangsungnya praktik “eksploitasi dan kekerasan”.

Reformasi aturan belum dilaksanakan secara menyeluruh. Misal, masih ada kontraktor yang melanggar larangan jam kerja di musim panas. Atau mengacu pada hasil audit 19 kontraktor yang bertanggungjawab atas beberapa situs Piala Dunia, terdapat pelanggaran jam kerja yang melampaui kesepakatan.

Pemerintah Qatar menanggapi penilaian Amnesty International dengan berjanji akan menambal kinerja yang masih berlubang. "Perubahan yang praktis, efisien dan langgeng membutuhkan waktu, dan itulah komitmen kami,” kata mereka.

Proses dialektikanya belum berubah sejak beberapa tahun silam: harus ada tekanan dari lembaga internasional dulu, baru kemudian otoritas Qatar mau meninjau serta meredam permasalahannya.

Meregang Nyawa

Isu ini pertama kali muncul pada 2013 melalui laporan eksklusif Guardian yang dipublikasikan dalam seri "Modern-day Slavery in Focus". Mereka melaporkan temuan International Trade Union Confederation (ITUC) yang menyebutkan proyek pembangunan di Qatar untuk Piala Dunia 2022 telah memakan 4.000 nyawa buruh migran.

ITUC fokus pada isu kematian buruh migran di Qatar sejak 2011, atau setahun setelah Qatar berhasil menyingkirkan Amerika Serikat, Australia, Korea Selatan, dan Jepang dalam perebutan tuan rumah Piala Dunia 2022.

Jika tidak membuat perubahan yang signifikan, kata mereka, kematian buruh bangunan di Qatar akan meningkat menjadi 600 orang per tahun atau hampir selusin per minggu.

Bagian lain mengungkap kematian 44 pekerja asal Nepal antara 4 Juni hingga 8 Agustus 2013 yang setengah di antaranya disebabkan serangan jantung di tempat bekerja. Konsulat India di Qatar mengatakan ada 82 buruh migran asal India yang meninggal antara Januari-Mei 2013, dan total antara 2010-2012 mencapai lebih dari 700 orang.

Datablog Guardian mencatat India dan Nepal adalah dua penyumbang pekerja migran terbesar di Qatar selain negara-negara Asia Selatan lain seperti Pakistan dan Sri Lanka. Sisanya ada yang berasal dari Iran, Filipina, dan Mesir. Pada 2013 jumlah mereka mencapai 1,19 juta, sedangkan pekerja asli Qatar hanya 71 ribu.

Qatar pada era 1980-an adalah negara dengan populasi 0,2 juta dan membuatnya sebagai salah satu negara terkecil di dunia dari segi penduduk. Lambat laun terjadi ledakan populasi. Pada era 1980-1985 terjadi pertumbuhan sebesar 10,2 persen. Era 1990-1995 melambat. Tapi pada 2005-2010 angkanya melonjak hingga 15,3 persen.

Bukan karena fenomena “baby boomers”, tapi banjir buruh migran untuk dipekerjakan di berbagai proyek. Maklum, uang minyak sedang bagus-bagusnya.

Sementara warga asli Qatar mayoritas bekerja di sektor kerah putih, buruh migran menguasai sektor kerah biru. Buruh migran di Qatar kini setidaknya mencapai 70 persen dari total pekerja di Qatar. Angka ini terus bertambah sejak Qatar bersiap menjamu perwakilan negara-negara peserta Piala Dunia 2022.

Dunia gembira dengan penunjukan Qatar sebagai tuan rumah pertama dari kawasan Timur Tengah. Tapi banyak juga yang terkejut dengan laporan Guardian dan ITUC.

Dua tahun setelahnya, pada 2015, total kematian buruh migran di Qatar yang disebut Washington Post telah mencapai 1.200 orang. Angka ini jauh lebih besar dibanding nyawa buruh yang melayang selama pembangunan fasilitas di Olimpiade Beijing 2008 atau Piala Dunia 2018 di Brazil.

Konsekuensi Langsung Proyek Konstruksi?

Pemerintah Qatar menyangkal laporan ITUC, Guardian, dan Amnesty International. Bukan angkanya, tapi klaim proyek pembangunan Piala Dunia sebagai penyebabnya. Beberapa pihak pun ada yang secara kritis mempertanyakan apakah kematian itu benar-benar murni karena kerja para buruh di lapangan.

Wesley Stephenson dari BBC Magazine, misalnya, melaporkan bahwa sebagian besar dari kerja mereka tidak di sektor konstruksi. Lebih lanjut, lonjakan besar ekonomi Qatar sejak pertengahan 2005 membuat pembangunan besar-besaran ditaksir akan tetap berlangsung meski tidak ada Piala Dunia.

“Menyalahkan sepak bola untuk semua kematian pekerja konstruksi di satu negara barangkali kurang tepat,” imbuhnya.

Ada dua poin penting lain dalam laporan Wesley. Pertama, pemerintah India merespon angka kematian itu sebagai jumlah yang “normal”.

Dalam rilis pers, mereka menyebut alasannya karena jumlah pekerja asal India di Qatar amat besar, kurang lebih 500 ribu pekerja. Angka kematian versi mereka justru lebih besar, yakni 1.000 orang per 500 ribu buruh pria usia 25-30 tahun.

India adalah negara dengan tenaga kerja murah yang melimpah tapi kesempatan kerjanya tidak sebanding. Hal yang sama terjadi di banyak negara Asia Selatan, sehingga mereka amat memfasilitasi warga yang hendak bekerja sebagai buruh migran di Qatar atau negara-negara kaya minyak lain di Timur Tengah.

Poin kedua, Wesley menyatakan barangkali ide buruk untuk menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan Piala Dunia ke sebuah negara yang punya reputasi kurang becus mengurus buruh migrannya.

Perbudakan Abad ke-21

Berbagai kesaksian korban hingga amatan langsung mengenai buruknya kondisi kehidupan buruh migran di Qatar sudah sejak lama dirilis media internasional maupun lembaga internasional pemerhati kaum pekerja.

Amnesty International, misalnya, menyebutkan akar persoalannya adalah menjamurnya agen perekrut buruh abal-abal. Mereka tidak terdaftar secara resmi, sehingga jauh dari pengawasan otoritas Qatar apalagi pemerintah negara asal pekerja.

Agen abal-abal kerap melanggar perjanjian dalam kontrak kerja, terutama jumlah upah yang diterima para buruh. Gaji juga kerap dibayar terlambat, kadang hingga berbulan-bulan. Situasi ini membuat banyak buruh yang bertahan hidup dengan menghemat makan atau makan seadanya. Kebutuhan pokok susah dipenuhi, apalagi kebutuhan sekunder atau tersier.

Rasa tanggung jawab yang minim dari agen abal-abal membuat para buruh mendapat pelayanan akomodasi yang amat buruk. Buruh dalam jumlah banyak sering ditempatkan di apartemen yang sempit. Mereka mendapat fasilitas penunjang yang kurang memadai, seperti ketiadaan listrik atau air bersih.

Di sisi lain, jam kerjanya sering “ngaret”, dari delapan jam menjadi 12 jam sehari—atau lebih—tanpa uang lembur. Kondisinya kian berat mengingat secara geografis Qatar dihajar cuaca panas ekstrem. Beberapa pekerja bahkan ditolak akses untuk minum air gratis selama jam kerja.

Berencana resign lalu kembali ke kampung halaman? Tidak semudah itu. Paspor para buruh disita sebagai semacam jaminan agar mereka tidak kabur. Menurut Guardian, mereka pun bak “alien ilegal” di Qatar. Selain kendala administrasi, mengumpulkan modal untuk transportasi pulang juga jadi tantangan lain.

Gara-Gara Sistem Kafala

Aktivis hak asasi manusia mengkritik akar permasalahan lainnya adalah kafala, sistem yang digunakan untuk mengawasi buruh migran, umumnya pekerja konstruksi atau pembantu rumah tangga, yang lazim diterapkan di Timur Tengah.

Sistem kafala mewajibkan semua buruh tak terlatih untuk memiliki sponsor (kebanyakan sekaligus jadi majikan), yang bertanggung jawab atas visa serta status hukum si buruh selama berada di negara tujuan.

Praktik ini jadi sasaran kritik berbagai organisasi hak asasi manusia karena sering dijadikan ladang eksploitasi pekerja. Ini lantaran sistem tersebut membuat majikan kebal dari konsekuensi hukum terkait perlakuan buruk ke buruhnya. Tanpa status yang jelas, perlindungan hukum bagi si buruh juga lemah jika ia terkena masalah.

Human Right Watch (HRW) menyebut sistem kafala sebagai “cerita lawas". Perwakilan HRW Nicholas McGeehan berkata pada CNN Sport bagaimana Qatar menyajikan citra sebagai negara yang sukses padahal itu semua dibangun dari sistem perburuhan yang eksploitatif.

Sementara itu Ketua ITUC Sharan Burrows secara tegas menyebut sistem kafala sebagai manifestasi perbudakan modern. Ia terkejut saat mendengar kabar bahwa sistem yang sama ternyata diterapkan ke luar sektor konstruksi. Contohnya di industri sepakbola Qatar.

“Kawasan teluk bak lampu merah. Mereka berada di level terbawah untuk isu hak-hak pekerja. Para buruh itu pada dasarnya adalah budak. Tidak ada kebebasan mendirikan serikat. Saat saya mendatangi kamp, para buruh terlihat amat marah, seakan-akan hidup mereka telah direnggut entah kemana.”

Infografik Mozaik Piala Dunia Perbudakan Modern

Infografik Mozaik Piala Dunia Perbudakan Modern. tirto.id/Tino

“Reformasi Tak Boleh Berhenti”

Pemerintah Qatar bukannya tutup kuping. Mereka bergerak—meski harus didorong lembaga internasional dan media massa. Tugas mereka adalah mengeluarkan kebijakan yang membuat kondisi perburuhan, terutama buruh migran untuk proyek Piala Dunia 2022, menjadi lebih manusiawi.

Salah satu kemajuan tercapai pada Desember 2016 ketika pemerintah Qatar memperkenalkan undang-undang ketenagakerjaan baru yang akan membawa “manfaat nyata”, terutama “perlindungan hak-hak setiap buruh migran di Qatar”, kata Menteri Tenaga Kerja Issa al-Nuaimi, seperti dikutip Al Jazeera.

Undang-undang ini bertujuan memudahkan buruh migran jika ingin berganti pekerjaan atau meninggalkan Qatar.

Akan ada komite pemerintahan baru yang berfungsi sebagai tempat mengadu bagi buruh yang ditolak ijin kedua haknya itu. Undang-undang juga mengatur denda sebesar 25.000 riyal (hampir Rp95 juta) bagi pemegang sponsor/majikan/pebisnis yang menyita paspor buruh migran yang direkrutnya.

Problem selesai? Bagi Amnesty International: belum. Melalui rilis yang dipublikasikan di laman resmi, mereka menganggap reformasi itu belum memadai sebab mereka masih menemukan kasus-kasus di mana buruh migran masih tergenggam “di tangan bos-bos yang eksploitatif”.

Undang-undang baru mereka nilai belum kuat karena masih memberikan celah untuk pengelola menuntut pidana buruh yang ingin resign sebelum kontrak selesai. Tuduhannya adalah si buruh “melarikan diri”. Inti persoalan yang belum disentuh adalah kontrak kerja yang terlalu lama.

Jika sebelumnya hanya berkisar satu hingga dua tahun, setelah disahkannya undang-undang baru pengelola bisa mengakalinya dengan menambah masa kontrak hingga lima tahun atau lebih. Dengan demikian butuh aturan baru untuk kontrak kerja maksimum yang manusiawi serta tidak menjebak buruh.

Ada sejumlah poin lain yang dikritisi Amnesty International, termasuk celah bagi agen perekrut untuk tetap bisa mencegah buruhnya ke luar negeri. Atau bagaimana undang-undang masih mengecualikan ribuan pekerja rumah tangga migran. Intinya: reformasi tidak boleh berhenti.

“Jika reformasi berhenti di sini, pekerja di seluruh negeri—yang membangun stadion, hotel, dan jaringan transportasi yang akan digunakan oleh setiap pemain dan penggemar sepak bola di Qatar—akan menghadapi risiko pelanggaran hak asasi manusia yang serius.”

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 15 Maret 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2022 atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Irfan Teguh Pribadi