Menuju konten utama

Inflasi Naik tapi Permintaan & Daya Beli Tahun 2020 Terus Memburuk

Penurunan daya beli akan terus terjadi sampai akhir tahun, saat pandemi masih berlipat ganda.

Inflasi Naik tapi Permintaan & Daya Beli Tahun 2020 Terus Memburuk
Pedagang menyortir bawang putih di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Kamis (1/10/2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

tirto.id - Ekonomi Indonesia akhirnya mencatatkan inflasi 0,07% pada Oktober setelah mengalami deflasi berturut-turut sepanjang Juli hingga September. Sayangnya catatan ini belum bisa disebut penanda pemulihan ekonomi pada bulan pertama periode Q4 2020 karena kenaikannya tidak banyak terkait dengan peningkatan permintaan maupun daya beli masyarakat.

Komponen inflasi inti Oktober hanya mencapai 0,04% month to month (mtom), lebih buruk dari September yang mencapai 0,13% mtom. Inflasi inti adalah “komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti: interaksi permintaan-penawaran; lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang; dan ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.”

Secara year on year (yoy), inflasi inti Oktober mencapai 1,74%, terus turun dari Januari lalu yang mencapai 2,88% yoy. Angka ini juga lebih buruk dari Oktober 2019 yang mencapai 3,2% yoy.

“Dampak pandemi COVID-19, banyak yang dirumahkan dan mengalami penurunan upah sehingga daya beli lapisan bawah menunjukkan penurunan, tetapi menengah atas lebih menahan,” ucap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Senin (2/11/2020) lalu.

Inflasi pada Oktober utamanya disumbang oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Dalam kelompok ini, cabai merah memiliki andil inflasi 0,09% dan bawang merah 0,02%. Kenaikan harga ini bukan karena meningkatnya permintaan, melainkan faktor cuaca yang memengaruhi pasokan. Suhariyanto bilang curah hujan yang tinggi berdampak pada produksi dan kualitas cabai-bawang merah.

Sejalan dengan data BPS terkini, Presiden Joko Widodo pun memperingatkan pembantunya untuk menggenjot belanja pemerintah sebab pertumbuhan konsumsi rumah tangga saat ini diperkirakan masih kontraksi 4%. Prediksi Jokowi lebih buruk dari prediksi pemerintah sendiri di angka kontraksi 3-1,5%, tak banyak membaik dari Q2 2020 yang terkontraksi 5,51%.

“Menjadi kewajiban kita semuanya untuk memperkuat demand sehingga konsumsi ini akan menjadi lebih baik," ucap Jokowi di Istana Merdeka, Senin.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan tren inflasi inti--yang menunjukkan penurunan konsumsi masyarakat--diyakini belum akan membaik hingga akhir tahun sehingga sulit menopang pertumbuhan ekonomi. “Biasanya ada momentum natal-tahun baru, tapi [sekarang] tidak bisa banyak ke mana-mana. Tidak ada lonjakan signifikan di retail,” ucap Manap kepada reporter Tirto, dihubungi Senin.

Ia bilang kelompok berpendapatan menengah bawah saat ini mengalami penurunan pendapatan akibat pemangkasan gaji maupun PHK. Mereka yang bekerja di sektor informal dan UMKM pun terdampak lantaran tidak banyak konsumen dan aktivitas ekonomi masih relatif terbatas.

Sementara mereka yang menengah dan kelompok atas sebenarnya memiliki uang yang cukup tetapi cenderung menahan konsumsi. Mereka lebih memilih berinvestasi seperti di Surat Berharga Negara (SBN) yang ironisnya juga dibutuhkan pemerintah untuk menutup defisit. Ini tercermin dari data OJK yang mencatat penyerapan outstanding SBN dari kalangan investor domestik individu terus naik. Level September sudah melampaui posisi November 2019.

Data OJK menunjukan investor ritel berperan 60% menopang kinerja IHSG per September. Angka ini naik dari Desember 2019 yang hanya berkisar 40%.

Ironisnya lagi, perbaikan konsumsi tidak banyak terjadi meski stimulus telah jor-joran dikeluarkan dan realisasinya bahkan terus dipercepat tiap bulan sesuai janji pemerintah. Data Kementerian Keuangan mencatat realisasi PEN sudah menyentuh Rp344,11 triliun atau 49,5% dari pagu Rp695,2 triliun per 14 Oktober 2020. Perlindungan sosial yang sasaran utamanya adalah mendongkrak daya beli sendiri sudah hampir tuntas digelontorkan dengan realisasi Rp167,08 triliun atau 81,94% dari pagu Rp203,91 triliun.

Data ini cukup memberikan bukti bahwa stimulus tak mempan baik karena salah sasaran maupun tak cukup membangun optimisme masyarakat. Oleh karena itu Manap mengingatkan pemerintah untuk memperbaiki penerimanya juga, alih-alih hanya menggenjot segi penyaluran.

Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan pelemahan konsumsi masih akan terus terjadi. Ia bilang indikator lain seperti indeks penjualan riil juga masih terus berada di zona negatif meski sudah membaik per Agustus: terkontraksi 9,2% yoy dibanding 12,3% pada Juli. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga sama, terus di bawah 100 alias menandakan keyakinan konsumen berada di level pesimistis atau masih enggan melakukan konsumsi. Per September angkanya hanya 83,4 poin, bahkan lebih buruk dari Agustus sebesar 86,9 poin.

Ini semua sejalan dengan tren penyebaran COVID-19 yang masih juga berlipat ganda. Bahkan September lalu PSBB ketat kembali diberlakukan.

“Artinya apa? Konsumsi rumah tangga ini mengalami perbaikan namun perbaikannya ini relatif tipis/marginal,” ucap Yusuf kepada reporter Tirto, Senin.

Selain itu, perlu juga diingat bahwa inflasi Oktober ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh fenomena curah hujan. Ia bilang jangan sampai komoditas lain juga terpengaruh sehingga mengakibatkan masalah pasokan yang berdampak pada peningkatan harga dan inflasi. Kombinasi masalah ini bisa jadi petaka karena daya beli sedang lemah-lemahnya.

Baca juga artikel terkait DAYA BELI MASYARAKAT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino