Menuju konten utama

Inejiro Asanuma Mati di Tangan Ultranasionalis Sayap Kanan

Anasir-anasir fasis Jepang masih kuat di tahun 1960an dan bertahan sampai hari ini.

Inejiro Asanuma Mati di Tangan Ultranasionalis Sayap Kanan
Inejiro Asanuma (kanan) ditusuk menggunakan pedang tradisional Samurai oleh Otoya Yamaguchi; 12 Oktober 1960. FOTO/Istimewa

tirto.id - Lebih dari 3.000 orang hadir memadati Hibiya Hall, Tokyo, Jepang pada 12 Oktober 1960. Mereka datang untuk menyaksikan debat politisi menjelang pemilihan parlemen 1960. Kali ini ajang debat itu mempertemukan dua politikus senior, Inejiro Asanuma dan Hayoto Ikade yang akan berebut kursi Perdana Menteri Jepang.

Apa yang membuat debat ini menjadi panas adalah karena latar belakang politik yang diusung. Inejiro Asanuma adalah ketua Partai Sosialis Jepang (JSP). Sedangkan Hayato Ikade berasal dari Partai Demokratik Liberal (LDP). Dua partai ini punya massa pemilih yang tidak sedikit. Pemilu sebelumnya pada 1958, Partai Sosialis Jepang sudah mulai menduduki peringkat kedua (13.155.715 suara) tepat di bawah Partai Demokratik Liberal yang memenangkan 23.480.170 suara.

Acara debat disiarkan oleh TV Nasional Jepang NHK. Saat Asanuma berpidato, kelompok sayap kanan Partai Liberal yang sudah riuh meneriakinya. Asanuma tetap berpidato lantang berapi-api dengan suara seraknya.

Tiba-tiba seseorang berlari dan menabrakkan diri ke Asanuma sambil menghunuskan pedangnya ke lambung sang politikus sosialis. Seketika kericuhan pecah di atas panggung. Jepretan Yasushi Nagao, fotografer surat kabar Mainichi Shimbun, menunjukkan pelaku tengah mengayunkan pedang ke arah Asanuma untuk kedua kalinya.

Ekspresi Asanuma tampak syok berat sambil berusaha menghindar, sementara pelaku tampak dingin dan mantap menyerang. Akibat foto ini, Nagao memenangkan hadiah Pulitzer. Rekaman penyerangan terhadap Asanuma masih dapat dilihat sampai hari ini.

Nyawa Asanuma, calon Perdana Menteri Jepang dari kubu oposisi itu, tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Partai Sosialis Jepang menyatakan motif pembunuhan tersebut berkaitan erat dengan pemilihan umum.

Penusuk Asanuma adalah Otoya Yamaguchi, seorang pemuda belia yang baru berumur 17 tahun. Dalam Great News Photos and the Stories Behind Them (1978), John Faber menyebutkan bahwa Yamaguchi adalah anak seorang kolonel Pasukan Bela Diri Jepang. Ia masih seorang pelajar dan ultranasionalis fanatik sayap kanan Jepang. Pilihan politiknya ada di kubu Partai Demokratik Liberal.

Saksi mata mengatakan bahwa Yamahuchi tersenyum saat ditahan. Peristiwa ini memicu gelombang protes. Dilansir dari The Guardian ada 15.000 demonstran sayap kiri berbaris di markas besar polisi di Tokyo. Mereka menuntut agar Kepala Polisi Jepang Kemeyoshi Teramoto mundur dari jabatannya karena dianggap gagal memberikan jaminan keamanan.

Negara-negara berpengaruh turut bereaksi keras atas pembunuhan Asanuma. Kantor berita Soviet, Tass mengatakan bahwa “penjahat fasis telah melakukan kengerian keji”. Pejabat Cina mengatakan kepada New China Agency bahwa pembunuhnya adalah seorang gangster sewaan.

Para pejabat AS secara pribadi bilang bahwa tidak seharusnya Asanuma disingkirkan dari panggung politik dengan cara seperti itu. Mereka juga mengakui bahwa Asanuma adalah musuh Amerika, meski tetap bilang bahwa tidak ada orang Amerika yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

infografik inejiro asanuma

Sosialis vs Fasis

Bagi kaum sosialis sayap kiri Jepang, Asanuma bukan sosok yang asing. Ia menentang dominasi Partai Demokratik Liberal dan kubu sayap kanan. Ia mengkritik kemesraan antara Jepang dan AS pada tahun 1960. Pada 1959, Asanuma bahkan berani berkunjung ke Cina meski hubungan Jepang dan Cina saat itu masih buruk..

Di Cina, Asanuma mengumumkan bahwa AS adalah musuh bersama. Lawatan Asanuma ke Cina ini menuai kecaman dari beberapa koleganya di Partai Sosialis.

Asanuma punya sikap politik yang jauh berbeda di masa mudanya. Pada 1930, ia sempat bergabung dengan kelompok sayap kanan Jepang yang mendukung penuh rezim militer Jenderal Hideki Tojo. Ia pernah duduk di Parlemen Jepang pada 1942 dan terus berkecimpung dalam panggung politik Jepang. Jalannya Perang Dunia Kedua yang diikuti Jepang dianggap tak sesuai dengan harapan Asanuma. Ia lalu memilih mundur dari dunia politik pada 1942.

Asanamu ternyata tidak sepenuhnya pensiun dari dunia politik, karena ia hanya hijrah ke kubu sayap kiri. William Andrews dalam bukunya berjudul Dissenting Japan: A History of Japanese Radicalism and Counterculture from 1945 to Fukushima (2016) menyebutkan bahwa kelompok fasis sayap kanan menganggap Asanuma sebagai pengkhianat karena berani berkunjung ke Cina dan mendeklarasikan aliansi menentang AS. Pertemanan dengan Cina dan juga Soviet dianggap ancaman terhadap Jepang.

Yamaguchi sendiri adalah salah satu pemuda yang ada di barisan fasis Jepang. Ia bergabung dengan salah satu ormas sayap kanan bernama Bin Akao’s Dai Nihon Aikoku-to (Partai Patriot Japang Besar) yang juga bentrok dengan kelompok sosialis Jepang saat demonstrasi Anpo. Ia pernah mengacaukan siaran rado yang tengah membahas perjanjian keamanan, melukai anggota polisi dan memusnahkan papan informasi dan petisi yang digalang oleh gerakan anti-Anpo.

Membunuh seorang pemimpin Partai Sosialis Jepang tampaknya menjadi puncak dalam karier Yamaguchi sebagai seorang fasis. Pada 2 November 1960, atau tiga minggu setelah pembunuhan Asanuma, Yamaguchi gantung diri di sel tahanan. Ia meninggalkan coretan di dinding yang berbunyi: “Tujuh nyawa untuk negeriku. Hidup Yang Mulia Kaisar!"

Pemilu 1960 akhirnya dimenangkan oleh Partai Demokratik Liberal (LDP). Sementara itu, Yamaguchi dikenang sebagai martir oleh kelompok-kelompok sayap kanan Jepang. Dalam buku Famous Assassinations in World History: An Encyclopedia (2014) karya Michael Newton, kelompok sayap kanan Jepang (Uyoku dantai) pada 2010 lalu memperingati 50 tahun pembunuhan Inejiro dalam sebuah seremoni di Hibiya Park.

Sebaliknya, kaum sosialis Jepang menggambarkan Yamaguchi sebagai “cakar kucing kekuatan kapitalis monopolistik”. Julukan itu mengacu pada kemenangan Partai Demokratik Liberal mengusung Hayato Ikeda sebagai calon perdana menteri.

Kekerasan yang diduga didalangi oleh para kelompok sayap kanan Jepang kepada para politikus, aktivis dan oposan lainnya bukan kali itu saja terjadi. Pada tahun 1990, mantan Walikota Nagasaki, Hitoshi Motoshima ditembak simpatisan fasis setelah mengatakan bahwa kaisar Hirohito bertanggung jawab atas Perang Dunia Kedua. Beruntung, nyawanya masih selamat.

Dilansir dari CBS News, pada 2006 seorang ekstremis sayap kanan membakar rumah anggota parlemen Koichi Kato. Sebelumnya Kato mengkritik ziarah Perdana Menteri ke sebuah kuil perang Jepang yang dianggap kontroversial.

Kelompok kriminal Yakuza sudah lama diduga berafiliasi dengan kelompok-kelompok sayap kanan. Pada 17 April 2007 silam misalnya, Walikota Nagasaki, Iccho Ito ditembak dua kali dari belakang di luar stasiun kota oleh gangster Yakuza. Iccho Ito adalah aktivis anti-nuklir terkemuka yang tengah berkampanye untuk meneruskan masa jabatannya. Pagi hari tanggal 18 April 2007, ia meninggal dunia setelah menjalani perawatan di rumah sakit.

Baca juga artikel terkait JEPANG atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf