Menuju konten utama

Industri Serbuk Karet Direlaksasi, Menperin: Sudah Ada Investor

"Untuk sektor crumb rubber ini sudah ada investor yang berminat untuk mengisi kekosongan tersebut."

Industri Serbuk Karet Direlaksasi, Menperin: Sudah Ada Investor
Pekerja menyelesaikan pembuatan kursi dari bahan karet ban bekas di desa Bonto Bangun, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Sabtu (18/3). Kerajinan kursi berbahan karet ban bekas yang dipesan dari sejumlah daerah di Sulawesi Selatan tersebut dijual Rp500 ribu - Rp800 ribu per set tergantung jenis dan tingkat kesulitan pembuatan. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/ama/17

tirto.id -

Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto menyebut bahwa Industri Serbuk Karet (crumb rubber) sudah dilirik investor asing sebelum dilepas dari Daftar Negatif Investasi (DNI).

Karena itu lah, kata dia, industri pengolahan karet tersebut direlaksasi agar bisa berkembang mendorong populasi pertumbuhan industri tersebut.

"Untuk sektor crumb rubber ini sudah ada investor yang berminat untuk mengisi kekosongan tersebut," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Senin (18/11/2018).

Menurut Airlangga, sebelum dilepas 100 persen untuk PMA, pemerintah menggunakan terminologi kemitraan, namun hasil akhirnya tidak jelas.

“Maka itu, semua yang menggunakan sistem kemitraan diangkat. Sekarang semua diperjelas peruntukannya,” imbuhnya.

Produksi serbuk karet dalam negeri, ujar dia, juga masih sangat terbatas lantaran sedikitnya pemain dalam negeri. Padahal, produk ban karet dalam negeri yang menggunakan serbuk karet ingin terus berekspansi.

"Sementara untuk industri synthetic rubber tetap berekspansi. Sehingga ada ketidakcocokan dalam hal ini. Saat ini, bahan baku tersedia, sekarang utilisasinya sekitar 60 persen," tuturnya.

Kini pemerintah tengah mencari jalan keluar untuk meningkatkan permintaan komoditas karet. Misalnya dengan menindaklanjuti ide penggunaan karet pada infrastruktur aspal. Anjloknya harga karet terjadi sejak tahun 2011.

“Untuk meningkatkan permintaan karet, pemerintah telah memberikan investasi untuk membuat percobaan dengan mencampurkannya bersama aspal. Kami juga menginstruksikan kepada asosiasi untuk segera difinalisasikan persiapannya. Kemudian yang kedua yaitu mendorong untuk replanting (penanaman kembali) melalui pajak ekspor,” sebut Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara, menyampaikan, produktivitas tanaman karet Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan Malaysia atau Thailand.

Produktivitas tanaman karet Indonesia sebesar 900 Kg–1,2 ton per hektare, sedangkan produktivitas negara tetangga bisa mencapai 1,5-2 ton per hektar.

“Berdasarkan hasil diskusi diperoleh ide untuk menerapkan sistem pungutan ekspor seperti yang dilakukan di industri kelapa sawit. Dana tersebut nantinya bisa digunakan untuk pengembangan industri karet, peremajaan perkebunan, pelatihan serta promosi dan advokasi,” ungkapnya.

Menurutnya, karet alam merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan oleh berbagai macam industri hilir. Lantaran itu lah, relaksasi DNI dan pemberian insentif tax holiday untuk menarik investasi di bidang industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian, perkebunan atau kehutanan, memang diperlukan pemerintah.

Baca juga artikel terkait RELAKSASI EKSPOR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yulaika Ramadhani