Menuju konten utama

Industri Rokok: Terus Dijepit, Tetap Melejit

Industri rokok terus dijepit dengan berbagai regulasi, namun kinerja penjualan industri ini justru menunjukkan peningkatan. Hal ini bisa menjadi pertimbangan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menandatangani FCTC atau tidak.

Industri Rokok: Terus Dijepit, Tetap Melejit
Sejumlah pekerja menyelesaikan proses pelintingan rokok di pabrik rokok PT. Djarum, Kudus, Jawa Tengah. Antara foto/Yusuf Nugroho.

tirto.id - Rapat Terbatas di Kantor Presiden, Jakarta pada medio Juni lalu menghasilkan keputusan penting. Indonesia sedang mempertimbangkan untuk bergabung dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Dengan bergabung FCTC, pemerintah berniat menekan laju perokok, utamanya para generasi muda.

"Kita jangan bergabung hanya karena tren," kata Presiden Jokowi, saat menyampaikan hasil rapat tersebut.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise, yang hadir dalam rapat itu mengungkapkan Indonesia perlu peraturan khusus untuk menyelamatkan ibu-ibu dan anak-anak Indonesia dari bahaya rokok. Menurut data yang ia miliki, sebanyak 54 persen anak-anak Indonesia adalah perokok.

"Sudah ada Perpres Nomor 109/2012 untuk melarang anak-anak merokok tapi masih ada toko-toko yang jual ke anak-anak. Kalau bisa dibuat kebijakan untuk memperketat lagi aturan yang sudah dibuat karena di negara lain, rokok itu hanya dijual di mal-mal," katanya.

Yohana benar. Presiden SBY telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dalam PP itu diatur bagaimana industri rokok harus menjual produk-produknya ke publik.

Sementara di sisi bisnis, usaha rokok juga dibatasi dengan PP No 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. PP ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No 64/MIND/PER/7/2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Industri Rokok. Masih lagi disertai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 205/PMK.011/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Ada banyak contoh regulasi yang menjepit industri rokok. Di televisi, iklan rokok telah dibatasi jam tayang mereka. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membatasi jam tayang iklan rokok dari pukul 21.30 hingga 05.00 pagi dengan muatan konten iklan tidak menunjukkan aktivitas orang merokok.

Tak berhenti sampai di situ, pemerintah juga mewajibkan kemasan peringatan bahaya rokok. Dalam setiap kemasan, ditampilkan contoh-contoh gambar kemungkinan timbulnya penyakit akibat merokok yang cukup mengerikan. Di tingkat daerah, Peraturan-peraturan daerah (Perda-perda) bermunculan peraturan tentang larangan merokok di tempat-tempat umum berikut denda dan sanksinya.

Pendek kata, nyaris tiap ruang ada kampanye antirokok dari tempat pelayanan kesehatan hingga ruang terbuka. Dalam skala regional kampanye antirokok di Indonesia tergolong massif dibanding dengan negara-negara lain di ASEAN.

Kontradiksi Regulasi

Kendati regulasi tentang rokok makin ketat, uniknya, jumlah perokok di Indonesia justru meningkat. "Ada peningkatan jumlah perokok muda atau perokok pemula," kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Mohamad Subuh, di Jakarta, Selasa akhir Mei lalu.

Data Kemenkes pada 2014 menunjukkan, sekitar 20,5 persen remaja berusia 16 hingga 19 tahun menjadi perokok. Angka ini meningkat dibanding pada 1995, yakni sekitar 7,1 persen remaja usia 16 - 19 tahun menjadi perokok aktif.

Data itu seiring dengan peningkatan jumlah populasi perokok dengan usia 15 tahun ke atas di Indonesia. Angkanya menunjukkan tren peningkatan dari 1995 hingga 2013. Pada 1995, jumlah perokok baru mencapai 27 persen, tetapi pada 2013 melonjak hingga 36,3 persen. Dari angka itu, perokok berjenis kelamin laki-laki mendominasi dengan perkiraan mencapai 66 persen.

Sebagaimana diketahui untuk menekan jumlah perokok itu, pemerintah memberikan keleluasaan bagi kementerian kesehatan untuk melakukan kampanye antirokok. Sebaliknya, kementerian perdagangan memberikan lampu hijau bagi industri rokok melalui Perpres No 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Dalam kategori industri tembakau, Perpres yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu memuat beberapa poin penting yakni, “memberlakukan kebijakan cukai yang terencana, kondusif dan moderat; menjamin keseimbangan pasokan dan kebutuhan bahan baku serta peningkatan produktivitas tembakau dan cengkeh; dan meningkatkan ekspor produk tembakau dan rokok.”

Penerimaan negara dari cukai rokok terbukti meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2012 negara mendapat Rp87 triliun dari cukai rokok. Di tahun berikutnya bertambah menjadi Rp100,7 triliun. Pendapatan meningkat lagi sampai Rp111,4 triliun di tahun 2014. Pada 2015 menembus Rp 139,5 triliun melebihi target yang ditetapkan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, yakni 136,12 triliun.

Pada siaran pers Kementerian Keuangan, November tahun lalu, pemerintah dan DPR bersepakat menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau menjadi Rp139,82 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Sementara untuk kapasitas produksi rokok, pemerintah membatasi sampai 50 juta batang per tahun.

Rokok di Antara Jepitan Regulasi dan Cukai

Kendati dijepit dengan berbagai regulasi dan dibebani cukai, pendapatan industri rokok ternyata masih gemerlap. Hal ini nampak dari kinerja tiga pemain besar industri rokok, Sampoerna Tbk PT Gudang Garam Tbk, dan PT Djarum.

PT Sampoerna Tbk, misalnya, dalam laporan keuangan mereka pada 2015 menorehkan laba jumbo bersih sebesar Rp10,355 triliun atau meningkat dari tahun sebelumnya yakni Rp10,015. Sejak dibeli Philip Morris International pada 2005 Sampoerna Tbk menunjukkan rata-rata pertumbuhan laba bersih per tahun hingga 13 persen.

Pada rentang satu dekade itu, Sampoerna pernah meraih pertumbuhan hingga 31 persen pada 2009 lalu. Namun, sejak 2010 pertumbuhan laba bersih Sampoerna menurun, bahkan sampai pada titik terendah pada 2014 lalu yakni minus tujuh persen. Baru pada 2015 lalu Sampoerna merangkak naik sebesar tiga persen.

Perusahaan rokok besar lainnya, PT Gudang Garam Tbk membukukan laba bersih sebesar Rp6,43 triliun pada 2015. Capaian itu naik 19,05 persen dari pendapatan pada 2014 yakni sebesar Rp5,4 triliun. Merunut ke belakang, laba bersih di 2013 mencapai Rp4,3 triliun. Ke belakang lagi, 2012, sebesar Rp4 triliun. Pendek kata selama dekade terakhir rata-rata pertumbuhan laba bersih PT Gudang Garam Tbk per tahun mencapai 26 persen.

Sementara PT Djarum, salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia tidak bisa diketahui berapa pendapatan dan labanya karena bukan perusahaan terbuka yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) . Namun agresivitas PT Djarum, melalui anak-anak perusahaannya menjadi pemain di berbagai sektor bisnis seperti e-commerce, properti, media, dan bahkan hingga pertanian sudah cukup membuktikan seberapa besar keuntungan mereka.

Forbes tahun lalu juga masih menempatkan keluarga Hartono—Robert Budi Hartono dan Michael Hartono—pemilik PT Djarum sebagai orang terkaya di Indonesia. Kekayaannya, menurut Forbes, diperkirakan mencapai 15,4 miliar dolar AS atau setara Rp210,98 triliun atau sekitar seperlima dari total pendapatan negara sebesar Rp1.822 triliun dalam APBN 2016.

Bila datanya seperti itu, kepada siapa negara akan berpihak?

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti