Menuju konten utama

Indonesia Tertimbun Sampah Impor

Demi industri, mengimpor sampah diizinkan hukum di Indonesia. Masalahnya, negara kita belum mengolah sampah dengan baik.

Indonesia Tertimbun Sampah Impor
Tumpukan sampah impor untuk bahan baku pabrik kertas di Jawa Timur. FOTO/Dokumentasi Ecoton

tirto.id - “Apakah data ini jujur atau tidak?” Willy Firdaus bertanya dengan nada sopan dalam satu rapat pada Kamis siang, 9 Mei lalu.

Rapat itu membahas analisis dampak lingkungan PT Pindo Deli 3, sebuah pabrik kertas dan bubur kertas (pulp) di Karawang, Jawa Barat. Willy memegang sebundel adendum salinan berkas perusahaan, isinya pertanggungjawaban pabrik agar kembali mendapatkan surat keputusan dan kelayakan lingkungan hidup dan izin lingkungan.

Pabrik yang terafiliasi dengan Sinar Mas Group dari PT Eka Kertas Nusantara ini disegel pada 7 Mei 2019. Surat penyegelan ini diteken Wawan Setiawan, kepala dinas lingkungan hidup dan kebersihan Karawang

Tindakan itu menyusul laporan warga, salah satunya ForkadasC+, organisasi lingkungan tempat kerja Willy Firdaus.

Ceritanya, warga sekitar protes atas limbah PT Pindo Deli 3 yang mencemari Sungai Cibeet, salah satu anak Sungai Citarum, di Desa Tamansari, Pangkalan. Awal Mei kemarin, sebelum Ramadan, tanggul instalasi pengolahan air limbah Pindo Deli 3 bahkan jebol. Laporan warga itu, mau tak mau, direspons oleh dinas lingkungan setempat.

Tak cuma protes atas pengolahan limbah pabrik, warga mengadu atas tumpukan sampah yang dijual Pindo Deli 3 kepada pengepul di desa setempat. Bahkan bahan baku sampah yang diolah pabrik itu gagal dikelola sendiri, menyebabkan masalah baru. Di antara tumpukan sampah itu adalah sampah-sampah impor.

Willy mempertanyakan dalam pertemuan itu: “Apakah ada plastik impor yang tidak disebutkan?”

Beberapa orang dalam rapat itu membolak-balikkan salinan berkas yang sama yang dipegang Willy.

Berdasarkan adendum analisis dampak lingkungan PT Pindo Deli 3, pabrik itu membutuhkan 10.800 ton bubur kertas impor bertipe mixed paper alias campuran kardus, koran, dan majalah sebagai bahan baku. Namun, dalam dokumen yang sama, ribuan ton pulp menghasilkan 11,11 persen sampah plastik setiap bulan.

Artinya, tak semua bahan baku dari sampah impor itu diserap tuntas oleh pabrik tersebut.

Melihat tumpukan sampah di sekitar dan di dalam pabrik, Willy sanksi atas angka 11,11 persen tersebut.

“Idealnya, mixed (paper) itu enggak masalah,” ujar Mochamad Septiono dari Bali Fokus, lembaga nirlaba peduli lingkungan. “Tapi, semuanya harus kertas."

Septiono memasuki pabrik PT Pindo Deli 3, enam hari setelah pertemuan itu. Ia melihat pengolahan sampah impor dan menemukan beberapa kesalahan, di antaranya jenis sampah domestik alias rumah tangga yang seharusnya dilarang dipakai sebagai bahan baku.

“Harusnya cuma boleh dari sisa industri,” ujarnya. Larangan ini merujuk Peraturan Menteri Perdagangan 31/2016 tentang impor limbah non bahan berbahaya dan beracun alias B3.

Tak cuma itu, Septiono menemukan sisa sampah impor yang dipakai PT Pindo Deli 3 disalurkan ke warga sekitar.

Itu melanggar salah satu peraturan yang menyebut “importir limbah non B3 dilarang memperdagangkan kepada pihak lain".

Willy Firdaus berkata memang banyak warga di sekitar Desa Tamansari punya pekerjaan atau bekerja sampingan sebagai penyortir sampah. Sisa-sisa sampah plastik dari pabrik, dalam periode tertentu, dijual kepada pengepul.

Eden, bapak empat anak yang tinggal di desa itu sejak 1980, masih jadi penyortir sampah pada dua bulan lalu. Sampah-sampah seperti botol plastik, aluminium, dan kaleng-kaleng, yang dianggap masih bernilai, dijualnya ke pengepul.

“Sehari bisa Rp75 ribu sampai 100 ribu. Lumayan,” ujar Eden.

Namun, sejak awal Mei kemarin, PT Pindo Deli 3 menyetop aktivitas mengepul sampah demi memperbarui izin lingkungan.

Masalah tak selesai di situ. “Ada sisa sampah impor yang berceceran di masyarakat yang belum dibersihkan total,” tuding Willy Firdaus. Kabar yang didengarnya, surat izin PT Pindo Deli 3 telah diperbarui.

Andar Tarihoran, humas PT Pindo Deli 3, enggan menjelaskan panjang lebar atas masalah ini dengan alasan belum menguasai permasalahan. “Nanti dulu, ya. Takut-takut salah omong."

Infografik HL Indepth Sampah Impor

Infografik HL Indepth Gagal Kelola Sampah Impor. tirto.id/Lugas

Temuan di lapangan: sampah impor itu termasuk sampah rumah tangga

Masalahnya, kejadian sampah impor yang tak semuanya terserap pabrik kertas dan bubur kertas tak cuma berlokasi di Karawang.

Di Bekasi, Bali Fokus setidaknya menemukan 15-40 truk, memuat sekitar 8 meter kubik, dikeluarkan oleh PT Fajar Wisesa ke penadah atau pengepul di lingkungan sekitar.

Ecoton, lembaga kajian ekologi dan konservasi lahan basah, merilis temuan tentang pabrik kertas di Jawa Timur.

Temuannya, ada peningkatan volume impor kertas bekas 739 ribu ton per 2018 dibandingkan jumlah impor tahun 2017 sebesar 546 ribu untuk bahan baku pabrik kertas di Jawa Timur. Dari 12 pabrik kertas yang terpantau Ecoton, sebagian besar melakukan penambahan lahan penampungan untuk antisipasi peningkatan bahan baku kertas bekas.

”Kami menemukan food packaging, household product dan personal care. Bentuknya sachet—bungkus makanan dan bungkus kebutuhan rumah tangga di PT Pakerin, Mount Dream Indonesia, PT Mekabox International, dan PT Suparma," ujar Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton.

"Ini bukti jelas bahwa eksportir telah mengirimkan sampah rumah tangga atau sampah domestik. Dan itu tidak boleh."

Ecoton juga menemukan peningkatan kontaminasi sampah plastik pada sampah kertas impor hingga 35 persen. Artinya, mixed paper yang diizinkan dalam Permendag 31/2016 telah dilanggar oleh pabrik-pabrik itu.

Meski begitu, Liana Bratasida, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), menolak pendapat dan temuan Ecoton.

Menurutnya, limbah kertas yang diimpor masih diperkenankan “adanya kandungan sampah selain kertas sesuai jumlah tertentu sesuai standar ISRI,” ujar Liana. ISRI akronim Institute of Scrap Recycling Industries, asosiasi perdagangan nirlaba-swasta yang bermarkas di AS.

Pada Februari 2019, empat kontainer bermuatan sampah impor bahan baku kertas diamankan Bea Cukai Tanjung Priok. Bahan itu dipesan PT Adiprima Suraprinta, pabrik kertas di Gresik, Jawa timur, yang berafiliasi dengan PT Jawa Pos, salah satu pabrik kertas anggota APKI.

Setelah itu, Maret 2019, Kementerian Lingkungan Hidup menahan 11 kontainer sampah impor di Batam dan lima kontainer di Tanjung Perak, Surabaya, yang dianggap bermasalah.

Sampah Impor

Tumpukan sampah impor untuk bahan baku pabrik kertas di Jawa Timur. FOTO/Dokumentasi Ecoton

Menanggapi hal tersebut, Liana berkata, “Permasalahan tentang impor waste paper yang terutama di Jawa Timur terjadi karena ada perbedaan pemahaman atau persepsi setiap aparat di lapangan, sehingga kontainer-kontainer tersebut ditahan.”

Bagi Liana, mustahil pabrik-pabrik kertas ini rela membiarkan sampah plastik terselip dalam bahan baku yang diimpornya. Ia menyadari kehadiran sampah impor selain kertas tidak dapat dihindari. Maka, setiap pabrik akan mengelola "sampah selipan" itu sesuai peraturan hukum di Indonesia.

Dikonfrontir soal temuan Ecoton dan Bali Fokus yang memergoki proses transfer sisa sampah dari pabrik ke warga sekitar, Liana berkata tegas bahwa pabrik tak pernah menjual sisa limbah sampah impor.

“Tapi, sampah-sampah ikutan itu ada yang masih bisa di-recycle dan [ada] yang diminta atau ‘dijual’ [ke warga],” ungkapnya.

“Yang tidak bisa di-recycle itu dibakar oleh pabrik tahu sebagai bahan bakar,” ujar Liana.

Prigi Arisandi dari Ecoton berpendapat bahwa "bila sudah bicara limbah plastik yang dibakar" adalah "masalah yang berbeda." Artinya, ujar dia, sudah jelas Indonesia tidak mampu menangani masalah sampahnya sendiri.

"Ini kok mau menanggung sampah [negara] orang lain,” ujar Prigi.

Baca juga artikel terkait SAMPAH PLASTIK atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam