Menuju konten utama

Indonesia Tanpa Pacaran: Antara Biro Jodoh & Ruang Baru Persekusi

Indonesia Tanpa Pacaran punya program biro jodoh untuk anggotanya, yang dianggap penentangnya mempromosikan pernikahan dini.

Indonesia Tanpa Pacaran: Antara Biro Jodoh & Ruang Baru Persekusi
Ilustrasi: Indonesia Tanpa Pacaran membuka kegiatan semacam biro jodoh. Tirto/Nadya

tirto.id - Sari baru dua bulan mengikuti komunitas Indonesia Tanpa Pacaran, sebuah gerakan anak muda yang digagas oleh La Ode Munafar pada 2015. Perempuan asal Sukoharjo itu pertama kali mengenal komunitas ini dari Instagram ITP, yang telah memiliki 630 ribu pengikut. Ia tertarik mengikuti gerakan ini karena menurutnya selama ini orang mengajari generasi muda secara keliru mengartikan cinta.

Bagi Sari, cinta yang sebenarnya tak direalisasikan dengan gaya pacaran, tetapi menggunakan tata cara syar'i, yakni dengan taaruf. Merujuk pada panduan Islam, taaruf adalah cara perkenalan yang melarang pasangan berdua-duaan, dan wajib didampingi oleh keluarga pasangan tersebut.

Gerakan ini memiliki dua kegiatan, secara online maupun offline. Untuk online, anggota ITP mendapatkan tausiah (nasihat/kajian) setiap Selasa dan Jumat melalui grup WhatsApp. Untuk offline, kegiatannya bernama Kajian Bahasa Arab Muda atau "Kabarmu", digelar pada Sabtu sore, dan Kelompok Kajian Indonesia Tanpa Pacaran, yang diadakan pada Minggu sore. Kegiatan-kegiatan ini, ujar La Ode Munafar, wajib diteruskan ke kalangan generasi muda.

Di samping itu, gerakan ITP membuat kegiatan bak biro jodoh, yang mempertemukan lelaki dan perempuan dengan cara taaruf.

Tahapannya, pertama, anggota ITP yang pengin menikah memberitahu sang perantara, dalam hal ini disebut murabbi atau guru. Kedua, mereka mengisi biodata diri dalam form taaruf, agar anggota laki-laki maupun perempuan bisa mudah mengenalnya. Kemudian, dalam tahap ketiga, jika ada yang mau dan sesuai, mereka bisa dipertemukan, ditemani mahram; biasanya proses ini berlangsung selama satu sampai tiga bulan.

"Di ITP itu ada program biro jodoh, gitu. Ketika launching ITP Sukoharjo, Pak Seno, pengurus ITP, bilang kalau memang mau cari jodoh itu di sini. 'Kita juga melayani biro jodoh,' katanya. Jadi bisa dicarikan yang memiliki pemahaman sama," ungkap Sari melalui telepon, pertengahan Mei lalu.

Bila keduanya cocok saat taaruf, mereka bisa lanjut ke proses nazar (mengikat janji) lalu khitbah (lamaran), dan, tentu saja, menikah.

Menurut Sari, anggota baru ITP bisa saja meminta langsung taaruf. Buktinya, lanjut Sari, sudah ada satu pasangan anggota ITP melaksanakan taaruf, walaupun komunitas di Sukoharjo baru berdiri pada dua bulan.

Komitmen Anggota ITP

La Ode Munafar mengatakan kegiatan gerakan Indonesia Tanpa Pacaran bukan sekadar komunitas untuk kumpul-kumpul dan makcomblang alias ajang pencarian jodoh, tetapi sebagai "gerakan dakwah dan syiar untuk mengedukasi anak muda."

"Kalau bergabung di Indonesia Tanpa Pacaran," ujarnya, "berarti harus siap berjuang bersama-sama."

Menurut Munafar, anggota baru ITP akan dibimbing selama tiga bulan untuk berhijrah. Selama itu, anggota baru tersebut akan "digodok terus dengan ide-ide, fakta-fakta masalah pacaran, dan diberikan materi, dari akidah hingga syariat." Bila selama itu tak ada perubahan, pengurus ITP tak segan memintanya keluar dari keanggotaan.

Konsep hijrah secara umum adalah perubahan menuju pribadi yang lebih baik, tetapi dalam gerakan ini artinya seseorang sudah siap memutuskan untuk tidak pacaran, dan mantap memilih langsung menikah saja.

Dalam pandangan Munafar, pacaran lebih banyak menjurus pada praktik zina. Menurut ayah satu anak ini, pacaran merusak prestasi belajar, menghabiskan uang Rp500 ribu per bulan, dan waktu 30-72 jam per bulan. Kesimpulan Munafar: pacaran itu merusak generasi muda; daripada zina, lebih baik nikah muda. Target gerakan ini, Indonesia bisa bebas dari pacaran pada 2024.

Aktivis perempuan Tunggal Pawestri menilai pacaran yang dianggap sebagai "perbuatan yang mengarah zina" merupakan "pemikiran yang sempit." Stigma ini adalah upaya dari gerakan itu untuk berkampanye secara negatif. Padahal, ada pacaran sehat yang tujuannya untuk mengenal lebih jauh dan berlatih dalam kemampuan bernegosiasi dalam relasi dengan pasangan.

“Suka ya suka, enggak ada mikir cium, peluk," ujar Pawestri, menahan geram.

Pawestri berkata bahwa persoalan nikah muda adalah "perkara kompleks." Menurutnya, ada hambatan dalam menyelesaikan persoalan nikah muda seperti kultural dan agama. "Sekarang ada korelasi antara menikah muda dengan ketidaksiapan rahim dan ketidaksiapan rohani. Ketidaksiapan rahim menyebabkan tingkat kematian ibu tinggi," tambahnya.

Merujuk Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, pada 2012, angka kematian ibu meningkat tajam menjadi 359 kasus per 100 ribu kelahiran. Penyebabnya didominasi oleh usia ibu yang terlalu muda saat persalinan.

Munafar, yang turut mengelola akun Instagram Gerakan Nikah Muda (memiliki 343 ribu pengikut), berdalih bahwa gerakan ITP tidak menganjurkan nikah muda. Alasannya, dalam hukum Islam, orang yang sah menikah berpatok pada usia balig. Maka, kedewasaan seseorang diukur dari balig atau tidaknya seseorang.

Usia balig seorang pria ketika pertama kali mengeluarkan sperma, ujar Munafar, sedangkan bagi perempuan saat menstruasi pertama. Rata-rata manusia mencapai balig pada umur 9-15 tahun.

Jadi, bila mengikuti logika tersebut, pernikahan dibolehkan bagi pasangan di bawah umur 18 tahun, suatu perkara yang disebut "pernikahan dini" atau "pernikahan anak", yang tengah direm lajunya oleh pemerintah Indonesia.

Infografik HL Indepth Indonesia Tanpa Pacaran

Melarang Pacaran: Ruang Baru Persekusi?

Imbauan agar anak muda menjauhi zina lewat pacaran sudah merambah ke institusi sekolah. Sekolah bukannya mengampanyekan pacaran sehat, atau mengedukasi soal bahaya hamil dini maupun infeksi penyakit menular, melainkan memilih agar anak-anak remaja menjelang dewasa ini dilarang pacaran.

Sebuah contoh dari kasus itu terjadi pada sebuah sekolah menengah kejuruan di Brebes, Jawa Tengah. Di bawah terik matahari, ratusan pelajar duduk bersama di halaman sekolah, mendengarkan ceramah seorang guru dalam rangka menyambut tahun baru Islam bertema "Menjadi Muslim yang Bertaqwa".

Pada menit 07:47, guru itu meminta ratusan murid lelaki dan perempuan untuk berjanji memutuskan pacar dengan ikhlas. Guru itu menerangkan, tanpa merujuk sumber riset yang sahih, bahwa 60 persen perempuan pernah pacaran, sedangkan lelaki tidak.

Dengan suara menggelegar dan mengacungkan tangan, ia berkata: "Siap hari ini kita berjanji untuk putus semua. Setuju?"

"Yang di depan enggak ada yang mengacungkan tangan. Mau putus semua? Sekarang tangan di atas semua. Kalau enggak tangan di atas, berarti enggak mau bubar," ucapnya.

Pada saat mengajak ikrar semacam itu, seorang guru lain menunjuk siswa yang bersikap pasif. Seorang guru lain berkata ajakan putus pacaran akan diganjar kebaikan (barokah). "Ikuti sembari mengucap sumpah," katanya.

Tunggal Pawestri mengungkapkan kekhawatiran soal imbas dari gerakan macam Indonesia Pacaran, yang berujung pada pemidanaan jalanan alias persekusi.

"Kok bisa kamu sebagai warga sipil menghalau orang yang pacaran? Itu urusan privasi orang," kata Pawestri. Ia berkata jika masyarakat diam saat kampanye gerakan ini semakin berkembang, bukan tak mungkin pemikiran yang berseberangan akan dicap pendosa, yang gilirannya mengarah pada tindakan penghakiman massa. Ia mencontohkan pada kasus penganiayaan, penelanjangan, dan pengarakan pasangan muda-mudi di Cikupa, Tangerang, pada akhir November 2017.

"Jadi, saya pikir enggak boleh lelah juga berupaya untuk memelihara ruang diskusi untuk menantang ide-ide mereka. Saya akan menantang itu seperti saya menolak poligami," kata Pawestri.

Baca juga artikel terkait INDONESIA TANPA PACARAN atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Reja Hidayat & Nindias Nur Khalika
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam