Menuju konten utama

Indonesia Tanpa Cadangan Penyangga Minyak

IEA merekomendasikan anggotanya memiliki cadangan penyangga minyak, setidaknya setara dengan 90 hari impor. Negara lain di luar IEA juga banyak yang melaksanakan rekomendasi itu sebagai antisipasi terjadinya krisis energi akibat bencana atau perang. Ironisnya, Indonesia sebagai negara pengimpor minyak dan rawan bencana belum memiliki cadangan penyangga minyak ini.

Indonesia Tanpa Cadangan Penyangga Minyak
Petugas keamanan berjaga di kawasan Kilang Minyak V Pertamina Balikpapan di Kalimantan Timur. [ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf]

tirto.id - Suatu hari di tahun 1973, Presiden Amerika Serikat ke-37, Richard Milhous Nixon dibuat pening. Pemantiknya adalah keputusannya membela Israel dalam perang Arab-Israel yang dikenal dengan Perang Yom Kippur.

Keputusan Presiden Nixon itu membuat negara Arab yang tergabung dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) mengumumkan pembatasan produksi minyak. Akibatnya, krisis minyak muncul dan negara-negara industri kewalahan lantaran harga minyak dunia melambung tinggi.

Tak hanya membatasi jumlah produksi, Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi juga memimpin negara Arab mendeklarasikan embargo terhadap Amerika Serikat sebagai balasan atas keputusan Negeri Paman Sam itu mendukung dan memberikan bantuan pada Israel. Negara Arab anggota OPEC juga memperluas embargo ke negara-negara lain yang mendukung Israel termasuk Belanda, Portugal, dan Afrika Selatan.

Pengalaman tersebut membuat Amerika Serikat dan sekutunya sadar akan pentingnya ketersediaan pasokan minyak dalam negeri. Peristiwa Perang Yom Kippur yang berakibat krisis minyak pada 1973 itu menjadi alasan Amerika membentuk International Energy Agency (IEA). Salah satu misi utamanya adalah tanggap darurat terhadap gangguan pasokan minyak bumi.

Mekanisme tanggap darurat IEA dibentuk berdasarkan perjanjian tentang Program Energi Internasional (Perjanjian PEI) tahun 1974, yang merekomendasikan setiap negara anggota IEA memiliki Strategic Petroleum Reserve (SPR) atau yang sering dikenal dengan cadangan penyangga minyak, setidaknya setara dengan 90 hari impor minyak bersih (neto).

Singkat kata, cadangan penyangga ini hanya dapat digunakan apabila terjadi gangguan serius terhadap pasokan minyak, seperti bencana alam dan perang. Jika hal tersebut terjadi, maka negara anggota IEA harus melepaskan cadangan penyangga, menekan permintaan, beralih ke bahan bakar lainnya, meningkatkan produksi dalam negeri atau jika diperlukan berbagi persediaan minyak bumi yang dimiliki.

Menurut data yang dilansir IEA, per Juli 2011, total cadangan penyangga minyak di negara-negara anggota IEA mencapai 1,5 miliar barel. Seperti dilansir bloomberg.com, Amerika Serikat menjadi negara anggota IEA yang paling banyak memiliki cadangan penyangga minyak, yaitu 727 juta barel, disusul Jepang di urutan kedua sebanyak 323 juta barel, kemudian Jerman (184 juta barel), Perancis (99 juta barel), Korea Selatan (87 juta barel), Spanyol (52 juta barel), Belanda (10 juta barel), Denmark dan Polandia masing-masing memiliki 8 juta barel, serta Portugal (5 juta barel). Sedangkan anggota IEA lainnya rata-rata memiliki SPR 5 juta barel.

Selain negara yang tergabung di IEA, beberapa negara lain juga mempunyai SPR, seperti Myanmar memiliki cadangan penyangga minyak setara kebutuhan 4 bulan dan Vietnam 60 hari. India dan Cina dalam beberapa bulan terakhir ini bahkan cukup aktif memanfaatkan anjloknya harga minyak untuk mengisi cadangan penyangga minyak mereka.

Misalnya, India. Tahap pertama yang dilakukannya adalah menyiapkan tiga lokasi sekaligus, yaitu di Visakhapatnam, Mangalore, dan Padur dengan kapasitas gabungan sebesar 39,1 juta barel minyak mentah. Pada musim panas lalu, Fasilitas Visakhapatnam yang terletak di pantai timur telah terisi. Sementara Mangalore dan Padur diharapkan sudah selesai pada akhir 2016 ini. Saat ini, India memiliki cadangan penyangga minyak setara dengan 13 hari impor minyak. Pemerintah India juga berencana akan menambah sampai 91 juta barel dalam tahap kedua pada 2020 mendatang.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki cadangan penyangga minyak. Selama ini, Indonesia hanya mengandalkan cadangan operasional yang dimiliki oleh Pertamina. Hal ini diakui Plt. Menteri ESDM, Luhut Binsar Pandjaitan saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, awal September lalu.

“Kita cadangan operasional itu berada di 22 hari sekarang. Strategic reserve Amerika itu sampai 60 hari dan kita ndak punya, nol. Nah sekarang kita tanya waktu itu, kenapa kita enggak punya 30 hari atau 35 hari. 30 hari kita butuh kira-kira Rp35 triliun pada saat itu,” ujarnya seperti dikutip laman resmi kementerian ESDM.

Indonesia Rentan

Cadangan penyangga minyak memiliki nilai yang sangat strategis, terutama bagi negara pengimpor minyak seperti Indonesia. Mengapa? Pertama, ketergantungan pada negara asing tentu berbahaya bagi ketahanan energi nasional apabila sewaktu-waktu terjadi gangguan pasokan. Kedua, Indonesia termasuk negara yang rawan bencana alam. Karena itu, cadangan penyangga minyak menjadi signifikan untuk mengantisipasi potensi kerentanan tersebut.

Selain potensi kerentanan di atas, soal keamanan juga harus menjadi pertimbangan. Wulfram Wijayanto, lulusan magister energy scurity Universitas Pertahanan Nasional (Unhan) memberikan contoh soal kemungkinan sabotase kilang atau Dipo BBM.

Misalnya, untuk membuat Jakarta lumpuh total, aktivitas ekonomi dan pemerintahan stagnan tidak perlu repot-repot mendatangkan ribuan massa untuk memblokir jalan di ibu kota. Kuncinya hanya satu: cukup sabotase Depo BBM Plumpang Jakarta Utara dan Kilang Balongan. “Plumpang itu rantai distribusinya Jabodetabek. Plumpang itu dapat pasokan dari Kilang Balongan dan impor BBM yang datang di Tanjung Priok,” ujarnya pada tirto.id.

Contoh tersebut cukup masuk akal karena kalau sampai terjadi sabotase terhadap kilang dan storage, pasti pasokan akan terganggu. Kilang yang disabotase pasti akan mempengaruhi rantai pasokan yang menjadi rantai distribusinya.

Dampak secara langsung akan dirasakan seketika, terutama jika kilang yang disabotase memiliki kapasitas besar, seperti Kilang Balongan yang memiliki kapasitas 125.000 barel per hari (bph), atau Kilang Cilacap yang memiliki kapasitas produksi 348.000 bph, apalagi Kilang Cilacap ini sangat strategis karena memasok 34 persen kebutuhan BBM nasional atau 60 persen kebutuhan BBM di Pulau Jawa.

Karena itu, semakin parah dampak sabotase, maka akan semakin besar dampaknya. Misalnya, jika suplai BBM untuk pembangkit listrik dan bahan bakar untuk pesawat terbang terganggu, maka listrik yang menggunakan bahan bakar minyak tersebut pasti padam dan transportasi udara akan lumpuh. Dalam konteks ini, cadangan penyangga minyak menjadi sangat strategis dan mendesak.

Mewujudkan Cadangan Penyangga

UU Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi telah mengatur cadangan penyangga, bahkan tidak hanya minyak seperti yang direkomendasikan IEA, tetapi regulasi kita telah mengatur cadangan penyangga energi (CPE) secara lebih luas. CPE ini bisa berupa minyak mentah dan BBM, bahkan bisa berupa LNG dan LPG. CPE ini disiapkan untuk menanggulangi krisis dan darurat energi, berbeda dengan cadangan operasional yang dimiliki Pertamina.

Saat ini, menurut Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, perusahaan pelat merah itu memiliki cadangan operasional yang dapat memenuhi setidaknya 21-23 hari kebutuhan pasokan bahan bakar untuk kebutuhan masyarakat. Pemerintah mengharapkan peningkatan cadangan operasional hingga 30 hari.

Namun, selain cadangan operasional ini, pemerintah juga harus menyiapkan cadangan penyangga energi yang digunakan untuk cadangan negara saat terjadi krisis, seperti bencana dan perang. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2014 tenang Kebijakan Energi Nasional.

Untuk mewujudkan cadangan penyangga ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah melakukan diskusi mendalam dengan Arab Saudi, Iran dan Kuwait terkait pasokan minyaknya. Karena untuk cadangan 30 hari, dibutuhkan minyak mentah atau BBM sekitar 45 juta barel.

“Kita sudah intensif diskusi untuk buffer stok dengan Arab Saudi, Iran dan Kuwait,” kata Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, seperti dilansir laman kementerian Maret lalu.

Meskipun diskusi telah intensif dilakukan, besaran volume minyak mentah atau BBM yang dapat dipasok ketiga negara tersebut, belum dibahas. Namun demikian, Arab Saudi menyatakan bersedia memberikan satu bulan stok strategis mereka apabila Indonesia dapat membangun tangki minyak atau BBM.

Selain melakukan diskusi dengan negara sahabat, kata Wiratmaja, pemerintah juga tengah melakukan kajian mengenai cadangan strategis BBM tersebut, mulai dari pemilihan lokasi, jumlah tangki dan sumber pasokan. Khusus mengenai lokasi, maka tangki harus terletak dekat dengan kilang, konsumen serta pelabuhan.

Terkait pengadaan tangki penyimpanan yang biayanya diperkirakan sekitar 17 miliar dolar AS untuk stok 30 hari, diharapkan dapat disediakan oleh swasta agar menghemat biaya APBN. Pemerintah juga menjajaki untuk menitipkan minyak mentah atau BBM milik Indonesia di negara-negara anggota OPEC dan diambil pada saat dibutuhkan.

Keinginan Indonesia memiliki cadangan penyangga energi menunjukkan langkah maju. Apalagi regulasi juga sudah mendukung upaya mewujudkan langkah tersebut. Saatnya berpikir strategis dan jangka panjang, salah satunya memanfaatkan anjloknya harga minyak dunia untuk mengisi cadangan penyangga minyak kita.

Baca juga artikel terkait CADANGAN MINYAK STRATEGIS atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti