Menuju konten utama
12 Agustus 1945

Indonesia Merdeka Bukan Hadiah dari Jepang

Tipu muslihat.
Gerak gerik siasat
bangsa sekarat.

Indonesia Merdeka Bukan Hadiah dari Jepang
Ilustrasi Mozaik Sukarno Dipanggil ke Dalat. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 6 Agustus 1945, Kota Hiroshima koma setelah dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat (AS), disusul Kota Nagasaki yang mengalami nasib serupa tiga hari berselang. Jepang sadar sudah berada di ambang kekalahan dalam Perang Dunia II dalam menghadapi Sekutu.

Upaya menyelamatkan harga diri segera dilakukan, Jepang tentu saja pantang kehilangan muka. Tiga tokoh Indonesia yang dianggap paling berpengaruh kala itu pun dipanggil: Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat.

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pun dibentuk. Dai Nippon ingin meyakinkan mendukung penuh keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka. Bahkan, seolah-olah, kemerdekaan itu adalah hadiah dari Jepang.

Sebagai penguat keyakinan akan janji itu, Jepang menerbangkan Sukarno, Hatta, dan Radjiman ke Dalat, Vietnam, pada 12 Agustus 1945, untuk membahas rencana penyerahan kemerdekaan dengan pemimpin militer tertinggi mereka di kawasan Asia Tenggara, Marsekal Hisaichi Terauchi.

Dua hari setelah pertemuan tersebut, Jepang ternyata benar-benar kalah perang dan menyerah kepada Sekutu. Akhirnya kemerdekaan Indonesia diproklamirkan 17 Agustus 1945, atau lebih cepat tanpa harus menunggu penyerahan dari Jepang.

Harapan Palsu

Pada 9 Agustus 1945 malam, hari yang sama dengan luluh-lantaknya Kota Nagasaki akibat bom atom, otoritas pendudukan Jepang di Indonesia segera bergerak, menerbangkan tiga tokoh PPKI yakni Sukarno, Hatta, dan Radjiman ke Kota Dalat, Vietnam.

Perjalanan udara dari Indonesia ke Vietnam memang tidak terlalu jauh, tapi sangat berbahaya kala itu. Pesawat Sekutu sewaktu-waktu bisa datang menyergap. Rombongan kecil ini terpaksa mampir sejenak di Singapura untuk transit dan menginap semalam.

Penerbangan dilanjutkan keesokan harinya, pada 10 Agustus 1945. Rombongan mendarat dengan selamat di Kota Saigon, Vietnam—kini bernama Ho Chi Minh City. Perjalanan langsung dilanjutkan menuju Kota Dalat. Dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1979), Hatta menuturkan jarak antara Saigon ke Dalat kira-kira 300 km ke arah utara (hlm. 437).

Di Dalat, ketiga tokoh bangsa Indonesia itu bertemu dengan Marsekal Terauchi. Jepang menyadari bahwa mereka sudah di ambang kekalahan dan fakta tersebut tidak mungkin bisa ditutup-tutupi lagi. Terauchi selaku pemimpin militer tertinggi Dai Nippon di kawasan Asia Tenggara, berencana memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Terauchi menyampaikan pesan kepada Sukarno, Hatta, dan Radjiman, bahwa kapanpun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh segera dinyatakan, tergantung kinerja PPKI. Namun, putra sulung Perdana Menteri Jepang Terauchi Masatake ini sebetulnya sudah menyusun rencana.

Dikutip dari buku Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1991) yang ditulis A.J. Sumarmo, Terauchi menyampaikan kepada ketiga tokoh itu bahwa pemerintah Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945 (hlm. 74). Menurut Terauchi, diperlukan waktu untuk melakukan berbagai persiapan sebelum proklamasi kemerdekaan. Sukarno dan kawan-kawan saat itu menyatakan sepakat dengan tawaran Terauchi.

Sebenarnya, iming-iming kemerdekaan yang dijanjikan akan diberikan 24 Agustus 1945 itu hanya merupakan akal-akalan Jepang. Di satu sisi, Dai Nippon tentu saja tidak ingin kehilangan Indonesia, tapi di sisi lain, situasi mereka di Perang Asia Timur Raya semakin terdesak.

Dengan jarak waktu yang cukup, Terauchi masih berharap Jepang mampu membalikkan keadaan dan bangkit sehingga mereka tidak perlu memenuhi janji kepada Indonesia. Namun, jika pada akhirnya memang harus kalah, maka Jepang bisa mengklaim kemerdekaan Indonesia bisa terwujud berkat pemberian.

Ini bukan kali pertama Jepang berjanji akan memerdekakan Indonesia. Tahun sebelumnya, pertengahan 1944, pemerintah Dai Nippon juga pernah menjanjikan hal serupa setelah menelan kekalahan di sejumlah front perang. Tujuan Jepang menjanjikan itu hanya ingin menarik simpati rakyat Indonesia dengan harapan mendapatkan bantuan jika musuh sewaktu-waktu datang, sekaligus memperkuat posisi politik mereka di Asia Tenggara.

Melalui Deklarasi Koiso pada September 1944, Kekaisaran Jepang mengumumkan akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Kabar ini disambut dengan suka-cita oleh Sukarno dan kawan-kawan (Suhartono W. Pranoto, Kaigun: Angkatan Laut Jepang, Penentu Krisis Proklamasi (2007: 73),

Namun, janji itu tidak pernah dipenuhi. Sempat terjadi silang-pendapat di kubu pemerintahan militer Dai Nippon di Indonesia terkait janji. Kenyataannya, Indonesia belum merdeka juga hingga pemanggilan Sukarno, Hatta, dan Radjiman, ke Dalat setahun setelahnya.

Infografik Mozaik Sukarno

Kemerdekaan Indonesia Hadiah Jepang?

Setelah tiba ke Tanah Air dari Dalat, Sukarno dan Hatta segera mengabarkan hasil pertemuan mereka dengan Teraichi kepada tokoh lain di Indonesia pada 14 Agustus 1945. Dituliskan oleh Aboe Bakar Lubis dalam Kilas-Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi (1992), mereka belum yakin Jepang sudah menyerah kepada Sekutu (hlm. 96).

Namun, beberapa tokoh bangsa lainnya, terutama Soetan Sjahrir dan dari golongan muda, meyakinkan bahwa Jepang memang sudah terdesak dan hampir dipastikan bakal kalah perang. Sjahrir mendesak agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamirkan. Ia curiga pertemuan di Dalat itu hanyalah tipu-muslihat Jepang.

Sikap Sjahrir yang berani mengatakan demikian, memang bukan tanpa alasan. Saat Sukarno dan kawan-kawan terbang ke Dalat, ia sudah mengetahui kondisi terkini Jepang melalui radio. Sjahrir pun menunggu kepulangan mereka di rumah Hatta untuk mengabarkan bahwa Jepang memang telah sekarat (Said Efendi & B. Doloksaribu, Revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1950 (2005: 105).

Namun, Sukarno maupun Hatta tetap percaya Jepang belum benar-benar terkapar. Kepada Sjahrir, mereka mengatakan bila Jepang ternyata kalah, kemerdekaan Indonesia cepat atau lambat bisa segera diumumkan. Namun, itu membutuhkan persiapan yang matang. Sjahrir nyaris murka menghadapi kebebalan dua tokoh itu.

Sukarno dan Hatta berusaha mencari kepastian terkait situasi terkini ke kantor penguasa militer Jepang (Gunseikan) di Koningsplein (Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat). Namun, tidak ada siapapun di kantor itu (Rhien Soemohadiwidjojo, Bung Karno Sang Singa Podium (2013:14)

Sukarno dan Hatta, bersama Achmad Soebardjo, bergegas menemui Laksamana Muda Maeda Tadashi, perwira tinggi Angkatan Laut Jepang. Maeda memberikan selamat atas pertemuan di Dalat, tapi ia belum bisa memberikan keterangan yang pasti terkait status dan kondisi Jepang dan masih menunggu konfirmasi dari Tokyo.

Di hari yang sama, kabar kekalahan Jepang terhadap sekutu akhirnya terdengar dari siaran radio. Sukarno dan Hatta masih bersikukuh tidak perlu terburu-buru menyatakan merdeka karena diperlukan proses. Bagi keduanya ihwal kemerdekaan Indonesia apakah hadiah dari Jepang atau tidak, bukan persoalan.

“Soal kemerdekaan Indonesia datangnya dari pemerintah Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidaklah menjadi soal karena Jepang toh sudah kalah,” ujar Hatta saat itu, dikutip dari buku Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia (1975), suntingan Nugroho Notosusanto (hlm. 24).

“Kini, kita menghadapi Sekutu yang berusaha mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi,” katanya.

Sukarno dan Hatta menginginkan agar proses persiapan kemerdekaan Indonesia dirancang oleh PPKI, seperti keinginan Terauchi dan Jepang. Mereka juga tidak ingin terjadi bentrokan dengan tentara Jepang jika Indonesia segera memproklamirkan kemerdekaan.

Namun, Sjahir dan kawan-kawan menolak karena menganggap PPKI hanya merupakan hasil akal-akalan Jepang. Golongan muda juga menegaskan mereka siap menghadapi risiko apapun, termasuk jika harus mengangkat senjata melawan serdadu Dai Nippon.

Pada 15 Agustus 1945, desakan kepada Sukarno dan Hatta untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia semakin menguat. Namun, dwitunggal itu tetap bertahan pada pendirian mereka. Perbedaan kemauan antara dua golongan tersebut kian memanas. Situasi ini menorehkan apa yang dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.

Tokoh muda terpaksa mengamankan Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk meyakinkan keduanya agar tidak terpengaruh oleh siasat licik Jepang. Sukarno-Hatta akhirnya menyerah, dan disusunlah rencana kemerdekaan Indonesia yang kemudian diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Suhendra