Menuju konten utama

Indonesia Mau Kuasai Pasar Ekspor Cina, Memangnya Bisa Pak Jokowi?

Mungkinkah Indonesia merebut pasar ekspor China ketika produktivitas negeri tersebut menurun karena virus corona?

Indonesia Mau Kuasai Pasar Ekspor Cina, Memangnya Bisa Pak Jokowi?
Presiden Joko Widodo (tengah) memimpin rapat terbatas (ratas) di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (4/2/2020). Ratas tersebut membahas kesiapan dampak virus corona pada perekonomian di Indonesia. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.

tirto.id - Sebagai mantan pebisnis, Presiden Joko Widodo nampaknya tak ingin virus Corona yang mewabah di Cina hanya dilihat sebagai ancaman. Sebab, menurutnya, ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mengambil keuntungan.

Salah satunya, merebut pasar ekspor Cina ketika produktivitas mereka menurun seiring dengan makin sepinya akitivitas perekonomian di negeri tersebut.

“Saya kira di sini ada peluang untuk memanfaatkan ceruk pasar ekspor di negara-negara lain yang sebelumnya banyak mengimpor produk yang sama dari RRT," ujarnya dalam rapat terbatas di Istana Bogor, Selasa (4/2/2020).

Meski menyadari adanya ketergantungan industri pengolahan Indonesia terhadap bahan baku dari Cina, Jokowi yakin hal tersebut bisa diatasi dengan menggenjot produksi bahan baku dari dalam negeri.

"Ini memberikan momentum bagi industri substitusi impor di dalam negeri untuk meningkatkan produksi berbagai produk yang sebelumnya diimpor dari Tiongkok," imbuhnya.

Bagi Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, optimisme Jokowi nampaknya terlalu berlebihan dan tak didasari dengan perhitungan yang jelas.

Soalnya, tak bisa dipungkir daya saing Indonesia kalah jauh ketimbang negeri panda: mulai dari harga, kualitas hingga strategi pemasarannya.

Paling tidak, menurut Bhima, Indonesia perlu 20 tahun untuk benar-benar membangun produk yang bisa menyaingi China dari berbagai aspek tersebut.

Hal ini juga tak lepas dari kegagalan pemerintah Jokowi memanfaatkan momentum perang dagang dan menarik investasi saat pengusaha Cina berbondong-bondong merelokasi pabrik mereka ke Asia Tenggara.

Dari 33 pabrik yang hijrah dari Cina, 22 di antaranya masuk ke Vietnam sementara 11 lainnya menetap di negara-negara lain seperti Thailand dan Malaysia.

Bisa jadi, justru Vietnam lah yang kini siap merebut pasar ekspor Cina lantaran mereka dapat memproduksi barang-barang unggulan asal negeri tersebut.

Apalagi, merujuk pada data World Integrated Trade Solution (WITS), produk asal Vietnam memiliki keungggulan jauh lebih tinggi terhadap keseluruhan perdagangan dunia.

Dalam pengukuran Revealed Comparative Advantage (RCA), Vietnam unggul pada produk tekstil, manufaktur, mesin dan peralatan transportasi.

Sementara Indonesia hanya unggul dalam perkara mineral, bahan baku mentah, serta produk pertanian-peternakan.

Di sisi lain, gara-gara perlambatan Cina, tidak bisa dipungkiri kalau negara itu mengalami penurunan produksi yang bisa berdampak pada ekspor.

Akibatnya Purchasing Manufacturing Index (PMI) Cina akan turun dan di Februari di bawah level 45. Sampai titik ini keinginan Jokowi tentu masuk akal.

Namun, perlambatan yang dialami Cina sedikit banyak diyakini akan merembet ke negara lain.

Alhasil negara-negara lain juga akan mengalami penurunan permintaan menyesuaikan belanjanya pada perekonomian global yang sedang tidak cukup optimis.

“Jadi memang benar ada penurunan produksi dari cina dan kita bisa isi, tapi kelihatannya negara lain juga mengurangi permintaan,” ucap Bhima.

Ekonom UI Fithra Faisal menjelaskan upaya pemerintah menggenjot subtitusi impor bagi negara lain perlu proses panjang.

Masalahnya, sampai saat ini proses itu tak kunjung dibereskan Indonesia. Alhasil jika tujuannya untuk kebutuhan ekspor jangka pendek, Faisal mengaku pesimistis. “Jawabannya hampir mustahil,” ucap Faisal saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (5/2/2020).

Faisal bilang, dalam perdagangan yang sudah terjalin sampai hari ini, perlu disadari ada ekosistem yang membuat ketergantungan sejumlah negara dunia pada Cina atau minimal negara yang produksinya mirip Cina.

Hal yang paling mungkin mengubah ketergantungan negara-negara tersebut, menurut Faisal, adalah jika wabah Corona berkepanjangan dan mulai mengganggu pasokan ekspor dari Ciba.

Di sisi lain, ekspor-impor antar satu negara ke negara lain juga tak bisa dilepaskan dari perjanjian kerja sama jangka panjang antara korporasi.

Jika kontrak ekspor atau impor dibuat lalu wabah corona merebak, tentu kontrak itu tetap harus ditaati oleh berbagai negara.

Dengan demikian pasar di negara lain tidak sepenuhnya kosong kecuali produsen di Cina terpaksa berhenti membuat barang.

“Saat ada shock itu tidak serta merta mengurangi arus lalu lintas barang. Minimal 6 bulan baru berasa,” tandasnya.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Indonesia memang masih bergantung dengan Cina dalam hal bahan baku untuk produk ekspor.

Namun kata dia, pemerintah bakal segera mencari sumber bahan baku dari negara lain atau memproduksi bahan baku tersebut di dalam negeri.

Dalam hal ini, kata Agus, pihaknya juga tengah berbicara dengan beberapa asosiasi industri untuk mengajak mereka menanamkan modalnya agar dapat memproduksi bahan baku di dalam negeri.

Meski hal tersebut tak bisa terjadi dalam jangka waktu singkat, ia yakin wabah corona yang merebak di Cina dapat menjadi momentum yang baik bagi perbaikan industri dalam negeri.

“Tapi untuk jangka menengah dan panjang, merupakan sebuah opportunity untuk Indonesia, sebut saja new player bagi mereka-mereka yang ingin berinvestasi di Indonesia di dalam produk-produk yang akan menjadi substitusi impor, tapi itu long term,” ujar Agus.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Current issue
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana