Menuju konten utama

Indonesia Dinilai Salah Langkah Sikapi Pembatasan Sawit Uni Eropa

sustainable dan tidak merusak lingkungan.""> "Pemerintah saya lihat langkah-langkahnya kurang strategis. Jadi kalau memang mau menyatakan palm oil kita sebagian sudah sustainable dan tidak merusak lingkungan."

Indonesia Dinilai Salah Langkah Sikapi Pembatasan Sawit Uni Eropa
Buruh kerja memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (13/7/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

tirto.id - Respon pemerintah terhadap Renewable Energy Directive (RED) II, kebijakan pembatasan sawit dari Uni Eropa dinilai kurang tepat.

Pasalnya pemerintah Indonesia masih bergantung pada sertifikasi lingkungan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) yang dikeluarkan sendiri secara internal.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya mengatakan pemerintah perlu beranjak ke sertifikasi oleh pihak ketiga.

Ia mengatakan jika Indonesia mampu memperoleh sertifikasi dari pihak ketiga yang kredibel, maka daya tawar Indonesia bisa lebih besar menghadapi Uni Eropa. Salah satu contohnya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

"Memang pemerintah saya lihat langkah-langkahnya kurang strategis. Jadi kalau memang mau menyatakan palm oil kita sebagian sudah sustainable dan tidak merusak lingkungan, harusnya verifikasi third party," ucap Berly saat dihubungi reporter Tirto pada Rabu (20/3/2019).

Namun Berly mengatakan sertifikasi yang berasal dari pihak ketiga memang tidak mudah. Selain berbiaya mahal, proses yang dilalui cukup kompleks.

Ia menyebutkan Indonesia perlu membuka diri terhadap proses verifikasi lapangan yang akan dilakukan lembaga eksternal. Nantinya kata Berly mereka harus mengecek satu per satu lahan dan perusahaan perkebunan yang dimiliki Indonesia.

Menurutnya, data yang dihasilkan nantinya lebih kuat dibanding yang selama ini diandalkan pemerintah melalui verifikasi internal. Termasuk bila Indonesia memang cukup serius untuk memprotes kebijakan Uni Eropa.

Namun, hal ini baru dapat dicapai bila Indonesia mau berpartisipasi dalam verfikasi internasional. Berly mengatakan Indonesia tidak perlu berkenan, tetapi cukup memahami dan menggunakan jalan pikir orang-orang Eropa yaitu menggunakan data yang sulit mereka tolak atau abaikan.

"Ya enggak bisa itu. Mindset-nya enggak bisa andalkan sertifikasi sendiri. Harus ada hard data. Masalahnya kita menolak paritisipasi ke lembaga verifikasi internasional," ucap Berly.

Terkait penelitian International Union for Conservation of Nature (IUCN), Berly mengatakan dokumen itu saja tidak cukup. Meski pernah dibanggakan pemerintah karena memberi perspektif alternatif dalam menyikapi kampanye Uni Eropa tentang dampak sawit, dokumen itu tidak memiliki kekuatan. Sebab statusnya hanya sebatas penelitian.

Karena itu, Berly menyarankan pemerintah untuk segera memperoleh verifikasi setara RSPO. Terlebih bila pemerintah masih memiliki waktu hingga 10 tahun ke depan hingga 2030.

"Kalau mau tetap palm oil itu harus punya verifikasi third party. IUCN ya penelitian. Jadi ini harus bisa dapat semacam ISO. Jadi ada bukti kuat ini sustainable," ucap Berly.

Baca juga artikel terkait SAWIT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Irwan Syambudi