Menuju konten utama

Indonesia Darurat Kekeringan dan Krisis Air Bersih

Sejumlah daerah di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan dan krisis air bersih. Bagaimana langkah pemerintah?

Indonesia Darurat Kekeringan dan Krisis Air Bersih
Warga mengambil air dari lubang yang digali di dasar sungai yang mengering di Dukuh Jati, Tekel, Karangrayung, Grobogan, Jawa Tengah, Senin (4/9/2017). ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar rapat terbatas di Istana Negara Jakarta, Selasa (12/9/2017). Pertemuan yang dihadiri sejumlah menteri Kabinet Kerja, Gubernur Jawa Timur Soekarwo, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo itu membahas “Penanggulangan Bencana Kekeringan” yang melanda beberapa wilayah Indonesia.

Berdasarkan data sementara yang dihimpun Pusat Pengendali Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat sekitar 105 kabupaten/kota, 715 kecamatan, serta 2.726 kelurahan/desa di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami kekeringan akibat musim kemarau normal 2017.

Saat ini, sekitar 3,9 juta jiwa masyarakat terdampak kekeringan sehinga memerlukan bantuan air bersih. Kekeringan juga melanda sekitar 56.334 hektar lahan pertanian, sehingga 18.516 hektar lahan pertanian mengalami gagal panen.

“Saya minta semua menteri dan lembaga terkait, serta para gubernur untuk benar-benar melihat kondisi-kondisi yang ada di lapangan dan segera melakukan langkah-langkah penanggulangan bencana kekeringan ini,” kata Presiden Jokowi saat membuka rapat, seperti dikutip Antara.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengaku sudah mendapatkan laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa kekeringan di Indonesia pada 2017 tidak seperti 2015 saat terjadi El Nino. Namun demikian, di beberapa daerah hujan sudah tidak turun lebih dari dua bulan.

BMKG telah merilis bahwa sebagian besar Pulau Jawa saat ini sedang mengalami puncak musim kemarau, dan akan masuk awal musim hujan pada Oktober-November 2017. Awal musim hujan 2017/2018 di sebagian besar daerah diprakirakan mulai akhir Oktober - November 2017 sebanyak 260 zona musim (76%) dan mengalami puncak musim hujan pada Desember 2017-Februari 2018.

Dalam siaran pers yang diterima Tirto, berdasarkan wilayah, misalnya, kekeringan di Jawa Tengah melanda 1.254 desa yang tersebar di 275 kecamatan dan 30 kabupaten/kota, sehingga memberikan dampak kekeringan terhadap 1,41 juta jiwa. Pemprov Jawa Tengah pun telah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan hingga Oktober 2017.

Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, di Jawa Barat kekeringan melanda 496 desa, di 176 kecamatan dan 27 kabupaten/kota sehingga berdampak kepada 936.328 jiwa penduduk.

Delapan kepala daerah kabupaten/kota telah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan, yaitu Kabupaten Ciamis, Cianjur, Indramayu, Karawang, Kuningan, Sukabumi, Kota Banjar, dan Kota Tasikmalaya.

Begitu pula dengan di Jawa Timur, kekeringan melanda 588 desa di 171 kecamatan dan 23 kabupaten/kota. Gubernur Jawa Timur, Soekarwo mengaku telah menerima laporan resmi dari enam bupati yang menyampaikan wilayahnya mengalami darurat kekeringan akibat musim kemarau tahun ini.

Sementara di Nusa Tenggara Barat, kekeringan melanda 318 desa di 71 kecamatan yang tersebar di sembilam kabupaten meliputi Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, Bima dan Kota Bima. Sebanyak 640.048 jiwa atau 127.940 KK masyarakat terdampak kekeringan.

Sutopo mengatakan, di sembilan kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga dilaporkan mengalami darurat kekeringan menyusul sumber-sumber mata air mulai mengering. Sembilan kabupaten yang melaporkan darurat kekeringan itu adalah Flores Timur, Rote Ndao, Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Malaka, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua.

Sedangkan di Provinsi DI Yogyakarta, kekeringan melanda di 10 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Di 10 kecamatan tersebut ada 32 desa yang terdampak kekeringan, ada 12.721 jiwa dalam 7.621 KK yang terdampak kekeringan pada musim kemarau ini. Penyaluran air bersih terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan.

Karena itu, kata Jokowi, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah antisipasi terkait ancaman kekeringan dan krisisi air bersih yang melanda wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa dan Nusa Tenggara yang dilaporkan menjadi daerah paling terdampak berdasarkan laporan BNPB.

“Langkah jangka pendek, saya minta dipastikan untuk bantuan dropping air bersih bagi masyarakat yang terkena dampak kekeringan, dan saya juga minta dicek terkait suplai air untuk irigasi pertanian yang sangat dibutuhkan terutama untuk mengairi lahan-lahan pertanian di daerah-daerah yang terdampak,” kata Presiden Jokowi.

Sedangkan langkah jangka panjang adalah memfungsikan berbagai bendungan, waduk dan embung yang sudah dibangun dalam dua tahun terakhir, yang memang dipersiapkan untuk menghadapi situasi kekeringan.

“Saya juga minta diantisipasi ketersediaan stok bahan pangan di beberapa daerah sehingga tidak mengalami kelangkaan dan stabilisasi harga bisa terjaga,” kata mantan Walikota Solo ini.

Selain langkah antisipasi, Presiden Jokowi juga mengharapkan kewaspadaan terkait kebakaran hutan pada musim kering. “Sekali lagi saya titip pesan agar kita tidak lengah untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan khususnya di lahan gambut seperti pada tahun 2015,” kata Jokowi menegaskan.

Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Defisit Air Sejak 1995

Kekeringan yang melanda wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara saat ini hampir setiap tahun berulang, bahkan saat musim kemarau normal seperti tahun ini. Apalagi terjadi saat kemarau panjang akibat pengaruh El Nino seperti tahun 1997, 2002 dan 2015 yang menyebabkan kekeringan meluas.

Secara nasional, kata Sutopo, ketersediaan air masih mencukupi, bahkan sampai dengan proyeksi tahun 2020 masih memadahi untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, irigasi, dan industri. Namun, secara per pulau, ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan, khususnya di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Studi neraca air yang dilakukan Kementerian PU pada 1995 menunjukkan bahwa surplus air hanya terjadi pada musim hujan dengan durasi sekitar 5 bulan. Sedangkan pada musim kemarau telah terjadi defisit selama 7 bulan. Artinya ketersediaan air sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi penduduk di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Hasil penelitian lain mengenai neraca air pada tahun 2003, kata Sutopo, juga menunjukkan hasil yang sama. Dari total kebutuhan air di Pulau Jawa dan Bali sebesar 83,4 miliar meter kubik pada musim kemarau, hanya dapat dipenuhi sekitar 25,3 miliar kubik atau hanya sekitar 66 persen.

Studi yang dilakukan Bappenas pada 2007, kata Sutopo, juga menunjukkan hasil bahwa ketersediaan air yang ada sudah tidak mencukupi seluruh kebutuhan pada musim kemarau di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Sekitar 77 persen kabupaten/kota telah memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun.

Dosen Pascasarjana Prodi Studi Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia ini mengatakan, pada 2025 mendatang, jumlah kabupaten defisit air meningkat hingga mencapai sekitar 78,4 persen dengan defisit berkisar mulai dari satu hingga dua belas bulan, atau defisit sepanjang tahun. Dari wilayah yang mengalami defisit tersebut, terdapat 38 kabupaten/kota atau sekitar 35 persen telah mengalami defisit tinggi.

“Bertambahnya jumlah penduduk otomatis kebutuhan air makin meningkat. Ironisnya kerusakan daerah aliran sungai, degradasi lingkungan, makin berkurangnya kawasan resapan air, tingginya tingkat pencemaran air, rendahnya budaya sadar lingkungan dan masalah lainnya juga menyebabkan pasokan air makin berkurang. Daya dukung lahan telah terlampaui sehingga pengelolaan sumber daya air menjadi lebih rumit,” tulis Sutopo dalam siaran persnya.

Hal tersebut, kata Sutopo, yang menyebabkan kekeringan selalu berulang setiap tahun. Karena itu, perlu upaya yang terpadu dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah darurat kekeringan dan krisis air yang melanda sejumlah wilayah tersebut.

Menurut Sutopo, upaya jangka pendek adalah bagaimana memenuhi kebutuhan air saat musim kemarau hingga memasuki musim penghujan nanti. Upaya yang dilakukan pemerintah dan pemda adalah droping air bersih. Setiap tahun BPBD dibantu relawan, SKPD, PMI, NGO memberikan droping air bersih melalui tangki air.

Namun demikian, upaya jangka panjang juga harus dilakukan. Dalam konteks ini, perlu peningkatan dan perbaikan kualitas lingkungan, reboisasi dan penghijauan, pengelolaan DAS terpadu, pembangunan bendung dan waduk, revitalisasi embung dan saluran irigasi, dan konservasi tanah dan air.

Pemerintah saat ini, kata Sutopo, terus menyelesaikan pembangunan bendungan dengan target pembangunan 65 bendungan selama 2015-2019. Di antara target sebanyak itu, tujuh bendungan sudah dirampungkan hingga akhir 2016, yaitu Bendungan Jatigede, Bendungan Bajulmati, Bendungan Nipah, Bendungan Titab, Bendungan Paya Seunara, dan Bendungan Teritib.

Sementara pada 2017 ditargetkan ada tambahan tiga bendungan, yaitu Bendungan Raknamo, Bendungan Tanju, dan Bendungan Marangkayu. Hingga akhir 2019, pemerintah menargetkan pembangunan 29 bendungan selesai, sehingga menambah tampungan air sebanyak 2 miliar meter kubik.

Menurut Sutopo, upaya yang keberlanjutan dalam penanganan kekeringan melalui berbagai program iini perlu dukungan semua pihak, bahkan harus menjadi gerakan bersama. Jika tidak, maka Indonesia tidak akan pernah bebas dari darurat kekeringan dan krisis air bersih yang tiap tahun selalu menjadi momok.

Baca juga artikel terkait BENCANA KEKERINGAN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz