Menuju konten utama

Indonesia Bidik Emisi Bersih 2060 Pakai Pajak Karbon Lewat UU HPP

Kemenkeu klaim implementasi pajak karbon menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan ini.

Indonesia Bidik Emisi Bersih 2060 Pakai Pajak Karbon Lewat UU HPP
Teknisi sedang melakukan pemeriksaan instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (3/9/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pemerintah melakukan langkah serius mendukung perubahan iklim melalui pajak karbon yang diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menjelaskan, Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia terutama dari negara kekuatan ekonomi baru.

“Ini bukti konsistensi komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan ekonomi yang kuat, berkeadilan, dan berkelanjutan,” kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (13/10/2021).

Febrio menjelaskan, sebagai negara yang tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 2020-2024.

Dalam dokumen NDC itu, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia.

“Lebih jauh lagi, dengan semakin kuatnya tren global terhadap isu perubahan iklim, Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) di tahun 2060 atau lebih awal,” kata dia.

Untuk mencapai target tersebut, agenda reformasi dalam kebijakan fiskal untuk mempercepat investasi hijau telah dimulai secara intensif. Pemerintah telah memberikan insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas PPN untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Dalam 5 tahun terakhir, belanja negara untuk penanganan perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN.

Dari sisi pembiayaan APBN, pemerintah juga telah menerbitkan green sukuk sejak 2018 yang di antaranya digunakan membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi bencana, pengelolaan limbah, akses energi sumber terbarukan, dan efisiensi energi.

Pada 2021 ini, pemerintah baru saja menerbitkan Global Green Sukuk pertama dengan tenor 30 tahun senilai USD750 juta dan SDGs Global Bond senilai Euro 500 juta. Hal ini menunjukkan tingginya kepercayaan investor hijau atas upaya Pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim.

Pemerintah juga tengah menyusun Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim (Climate Change Fiscal Framework/CCFF) untuk memperkuat pembiayaan berkelanjutan, termasuk pencapaian NDC dengan melibatkan masyarakat dan swasta.

Untuk memperkuat instrumen kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim, pemerintah menetapkan kebijakan nilai ekonomi karbon yang didalamnya termasuk implementasi pajak karbon. Dengan memperkenalkan pajak karbon dalam UU HPP, Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.

“Implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini, di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura,” ujar dia.

Pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan. Dalam konteks pembangunan, penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

Meskipun demikian, tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang.

Tarifnya Dinilai Masih Sangat Rendah

Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan mengatakan, lembaganya mengapresiasi langkah pemerintah terkait pengenaan pajak karbon. Namun, ia menilai tarif yang diterapkan masih sangat rendah.

"Aturan baru tentang pengenaan pajak karbon yang akan mulai berlaku pada 1 April 2022 merupakan salah satu bukti konkret atas komitmen Indonesia dalam mengurangi dampak emisi CO2. Namun, jika kita perhatikan lebih mendalam, kebijakan ini masih belum ideal” kata Maftuchan dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (8/10/2021).

Menurut dia, pasca ratifikasi Perjanjian Paris 2015, Indonesia masih kesulitan dalam memenuhi target pengurangan emisinya. Namun, pemerintah sudah mulai melakukan pengurangan emisi karbon, salah satunya melalui peningkatan porsi bauran EBT dengan target 23 persen di 2025.

Namun, kata Maftuchan, Pemerintah Indonesia akan kesulitan jika mengejar target pengurangan emisi hanya melalui kebijakan EBT, karena hanya tersisa empat tahun untuk mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen di 2025.

Oleh karena itu, kata Maftuchan, kebijakan pajak karbon ini merupakan angin segar dalam upaya mencapai target pengurangan emisi karbon. "Sayangnya, rencana pengenaan tarif pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram CO2e dalam draf RUU KUP tidak terealisasikan. Pada Bab IV UU HPP Pasal 13, tarif pajak karbon yang ditetapkan hanya Rp30 per kilogram karbon CO2e," kata dia.

Baca juga artikel terkait UU HPP atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz