Menuju konten utama

Indonesia Anggota DK PBB, tapi Sulit Bereskan Kasus Pelanggaran HAM

Turut serta menuntaskan pelanggaran HAM di luar negeri negeri semestinya berbanding lurus dengan penyelesaian serupa di dalam negeri.

Indonesia Anggota DK PBB, tapi Sulit Bereskan Kasus Pelanggaran HAM
Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Markas Besar PBB, New York, Selasa, 7/5/2019. FOTO/Joe Djauhari

tirto.id - Republik Indonesia akan mengakhiri masa keanggotaannya sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan (DK) PBB periode 2019-2020 pada 31 Desember mendatang bersama beberapa negara seperti Jerman, Afrik​a Selatan, Belgia, dan Republik Dominika. Ini kali keempat Indonesia tercatat menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB mewakili Asia Pasifik, setelah sebelumnya juga pernah pada 1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008.

Dengan posisi sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB, Indonesia turut serta dalam mengampanyekan isu keamanan dan hak asasi manusia di ranah internasional. Kasus di Palestina atau Myanmar, misalnya. Itu yang membuat reputasi Indonesia terkenal dengan humanitarian diplomacy-nya.

Awal Januari lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyinggung kinerja Indonesia. Menurutnya selama menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB 2019-2020 Indonesia terhitung berhasil terutama soal isu-isu perempuan. Retno bilang pemberdayaan female peacekeepers yang dikampanyekan menjadi salah satu topik utama pembahasan di DK PBB.

"Perempuan merupakan aset. Perempuan dapat berkontribusi untuk perdamaian," ucap Retno.

Menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB memang dianggap prestisius. Indonesia bisa bersuara menyampaikan ide, melakukan negosiasi, dan mendorong kepentingan nasional khususnya dalam isu perdamaian internasional.

"Tinggal bagaimana RI bisa mengambil keuntungan dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada. Terutama soft power: informasi, IT, dan budaya dalam menyuarakan kepentingan nasional dan regional," ujar peneliti hubungan internasional dari Semper Fi Institute, Beni Sukadis, kepada reporter Tirto, Jumat (19/6/2020).

Seruan perdamaian dan penyelesaian pelanggaran HAM yang didengungkan pemerintah Indonesia cukup diperhitungkan dalam ratifikasi perjanjian internasional. Indonesia juga cukup dipandang kala bicara soal situasi Palestina, Suriah, Myanmar, hingga Rohingya. Ringkasnya, kebijakan luar negeri Indonesia masih sangat dibutuhkan dunia, terkhusus dalam memajukan HAM.

Namun, keterlibatan Indonesia di DK PBB tidak akan berdampak apa-apa terhadap masalah di dalam negeri. "Keanggotaan DK PBB tidak otomatis bisa menyelesaikan isu HAM [dalam negeri]," ujar Beni.

Beni bahkan menilai Indonesia sama sekali tidak memiliki catatan gemilang dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM di dalam negeri. Pelbagai kasus HAM dalam negeri tak juga selesai meski terus menerus didorong kelompok masyarakat sipil.

Paradoks Anggota Tidak Tetap DK PBB

Dalam Laporan Pemantauan YLBHI dan 16 LBH Indonesia tentang Kondisi Hak Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat di Indonesia 2019, setidaknya terdapat 6.000-an kasus pelanggaran HAM di ranah kebebasan berpendapat. Itu hanya yang terjadi pada periode 2019.

Pelanggaran yang dimaksud termasuk saat Presiden Joko Widodo memilih memblokir akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 lalu. Pemerintah pun dinyatakan bersalah saat digugat di pengadilan tata usaha negara (PTUN).

"6.000-an itu hanya menyampaikan pendapat di muka umum. Padahal tidak semua kejadian bisa kami dokumentasikan. Suram masa depan Indonesia," kata Ketua YLBHI Asfinawati kepada reporter Tirto, Jumat (19/6/2020).

Asfin bilang jika tak lagi menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB, pemerintah Indonesia bisa melakukan evaluasi atas kerja-kerja politiknya di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melontarkan kritik serupa. Ia mengatakan Menlu Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat berjanji di depan Dewan HAM PBB untuk menyelesaikan dua kasus pelanggaran HAM berat di Papua: Wamena Berdarah dan Wasior Berdarah. Namun hingga sekarang tidak ada tanda-tanda keseriusan pemerintah mengungkap masalah ini.

Usman menganggap diplomasi luar negeri dan dalam negeri Indonesia tidak koheren. Seharusnya pemerintah selesaikan dulu berbagai kasus HAM di dalam negeri, sebelum mengurusi isu di tingkat dunia.

Atas dasar ini semua ia menyebut situasi ini sebagai paradoks.

"Indonesia sangat progresif dalam [masalah] Palestina, tapi konservatif dalam urusan Papua. Cukup dalam merespons krisis kemanusiaan di Rakhine Utara, Myanmar, tapi kurang maju dalam urusan Papua," ujar Usman kepada reporter Tirto.

Infografik Pemblokiran Akses Internet di Papua dan Papua Barat Melanggar Hukum

Infografik Pemblokiran Akses Internet di Papua dan Papua Barat Melanggar Hukum. tirto.id/Sabit

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM BERAT atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi & Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto