Menuju konten utama
Pieter Frederik Dahler

Indo-Belanda yang Menjadi Nasionalis dan Mualaf

Saat menjabat kontrolir di birokrasi kolonial, Dahler mengubah haluan hidupnya: menjadi nasionalis.

Indo-Belanda yang Menjadi Nasionalis dan Mualaf
Pieter Frederik Dahler. FOTO/Istimewa

tirto.id - Kehidupan pegawai negeri sipil di zaman kolonial boleh dibilang enak. Apalagi kalau menjabat sebagai kontrolir (pengawas) di daerah. Mereka bekerja di bawah institusi Binenland Bestuur (semacam Departemen Dalam Negeri sekarang).

Pieter Frederik Dahler, pemuda Indo-Belanda kelahiran Semarang, sempat jadi kontrolir di Sumatera Barat. Namun, hidup enak dan tanpa lelah itu berhenti mendadak. Karier pangreh praja Dahler di pemerintahan kolonial hanya relatif singkat, dari 1903 hingga 1917.

Sesuahnya, Dahler terjun ke dunia pergerakan nasional Indonesia. Dari semula sekadar bersimpati, sejak itu ia mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk pergerakan nasional.

Menurut Dian Andika Winda dalam Seabad Pers Kebangsaan (2007), Dahler pernah bekerja sama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker untuk membantu terbitan Persatoean Hindia yang terbit sejak 1919. Ia pernah jadi pemilik surat kabar Bintang Timoer dan Penindjaoean pada 1930-an.

Baca juga: Sang Manusia Buangan Tjipto Mangoenkoesoemo

Selain itu, Dahler pernah menjadi guru dan mengajar pada Algemeene Middelbare School, setara sekolah menengah umum, di Surakarta. Dahler juga ikut mengajar di Ksatrian Instituut yang didirikan Douwes Dekker.

“Instituut itu bernama Ksatria, tempatnya para ksatria-ksatria kita. Seluruh Instituut bernapaskan kekuatan, semangat, dan idealisme yang tidak mengenal luntur dari Douwes Dekker,” kata Dahler di Bintang Timoer.

Sebagai guru, Dahler punya murid yang belakangan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) terlama Indonesia, Abdul Haris Nasution. Seingat Nasution, Dahler itu “orangnya hitam dan berbadan kecil, tapi bicara berapi-api, kalau mengenai hal-hal yang menarik”.

Baca juga: Persinggungan Soeharto dengan Para Pahlawan Revolusi

“Pada tahun terakhir, kami mendapat guru bahasa Indonesia, yang disebut waktu itu sebagai bahasa Melayu, yang membawa pengaruh baru. Ialah Tuan Dahler, bekas pamong praja Belanda, kalau tak salah Asisten Residen, tokoh Belanda Indo yang nasionalis. Ia suka bercerita tentang konflik-konfliknya dengan atasan-atasannya, karena ia membela rakyat kecil,” ujar Nasution dalam serial memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990).

Menjelang Hindia Belanda kolaps, menurut Ensiklopedia Umum (1973), sejak Oktober 1941, Dahler dipekerjakan di Regeringspubliciteitsdienst (dinas penyiaran pemerintah) di bagian penerangan pers Pribumi dan Melayu-Cina, biro penerjemahan dan penyusunan rekaman pers Pribumi dan Melayu-Cina.

Baca juga: Orang-Orang Indo dalam Pergerakan Nasional

Di masa pendudukan Jepang, menurut Rosalind Hewwit dalam Mixed Race in Asia: Past, Present, and Future (2017)—seperti dikutip dari Louis Jong dalam The Collapse of a Colonial Society (2002)—Dahler dijadikan juru bicara di Kantor Oeroesan Peranakan.

Infografik Pieter Frederik Dahler

Pada Mei 1944, masih di zaman Jepang, dalam sebuah pertemuan dengan orang-orang Indo di Jakarta, Dahler berusaha meyakinkan rekan-rekannya untuk tidak lagi setia kepada Belanda.

Ia meminta rekan-rekannya untuk menganggap diri sebagai orang Asia. Tahun berikutnya, ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada April 1945, Dahler menjadi anggota badan tersebut mewakili kaum Indo.

Baca juga: Komposisi Etnis dan Agama Para Perumus Pancasila

Tidak lama setelah Indonesia merdeka, Dahler pindah agama sebagai muslim. Namanya berubah menjadi Amir Dahlan. Saat Sukarno-Hatta memutuskan pindah ibukota ke Yogyakarta pada awal 1946, Dahlan tidak langsung ikut pindah. Keputusan ini terbukti merugikan.

Jakarta yang notabene makin dikuasai tentara Belanda sangatlah tidak aman bagi penduduk sipil. Sebagai bekas BPUPKI yang dibentuk Jepang, dan sikapnya yang kurang loyal kepada Belanda, ia dicurigai sebagai pengkhianat oleh Belanda.

“Pada 12 April 1946, dengan alasan yang tidak terang, beliau ditangkap oleh Belanda di Jakarta dan dilepaskan pada 15 April 1947. Selama 12 bulan ditahan itu beliau dua kali dipindahkan, mulanya di Glodok, kemudian dipindahkan ke Penjara Gang Tengah, dan akhirnya ke Pulau Onrust,” tulis Kronik Revolusi Indonesia: 1948.

Setelah bebas, Dahler alias Dahlan yang sudah sepuh itu menuju Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia. Republik memberinya jabatan Kepala Balai Bahasa di Kementerian Pendidikan. Ia dianggap sebagai Kepala Balai Bahasa Indonesia yang pertama.

Di wilayah Republik itulah Dahlan menutup mata. Pada usia 65 tahun, Dahlan harus menjalani dua bulan terakhir hidupnya dengan terbaring sakit. Ia menutup mata pukul 21.00 malam, 7 Juni 1948, dan dimakamkan di Mrican, Yogyakarta.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS