Menuju konten utama

Indikasi-Indikasi Oligopoli Kartel di Balik Mahalnya Tiket Pesawat

YLKI menduga mahalnya tiket pesawat disinyalir buah dari persekongkolan pelaku industri penerbangan nasional yang mengarah ke oligopoli.

Indikasi-Indikasi Oligopoli Kartel di Balik Mahalnya Tiket Pesawat
ILUSTRASI. Sebuah pesawat udara terbang melintas di atas jalan raya saat bersiap mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, Bali, Senin (14/1/2019). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo.

tirto.id - Tiket pesawat mahal masih menjadi keluhan. Komisi V DPR RI bahkan menyoroti harga tiket penerbangan domestik yang lebih mahal dibandingkan dengan rute luar negeri. Kritik itu disampaikan dalam rapat kerja dengan Kemenhub, di kompleks parlemen, Jakarta, 29 Januari.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun telah memproses dugaan praktik kartel dalam kasus ini.

“Kami sudah masuk masa penyelidikan. Kami selalu sampaikan kepada teman-teman wartawan hasil rakom [rapat koordinasi] kami,” kata Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (12/2/2019).

Menurut Guntur dalam tahap penyelidikan ini, pihak dari Garuda dan Indonesia National Air Carrier (Inaca) telah memberikan berkas-berkas yang dibutuhkan tim investigator. Dalam kasus ini, KPPU menetapkan pasal 5 sebagai dasar dalam penyelidikan dugaan perkara.

Dugaan yang sama juga sempat diutarakan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, pada 25 Januari 2019.

Tulus menduga mahalnya tiket rute dalam negeri disinyalir buah dari persekongkolan pelaku industri penerbangan nasional yang jumlahnya tergolong sedikit dan mengarah ke oligopoli.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), oligopoli didefinisikan sebagai keadaan pasar dengan produsen pembekal barang hanya berjumlah sedikit sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat memengaruhi harga pasar.

Indikasi oligopoli di industri penerbangan seperti yang diungkapkan Tulus tercermin dari makin sedikitnya pelaku usaha penerbangan di tanah air. Sebelumnya pangsa pasar angkutan udara dikuasai oleh tiga grup besar, yakni: Garuda Indonesia, Lion Air Grup, dan Sriwijaya Air Grup.

Namun, saat ini persaingan makin sedikit setelah Sriwijaya Grup bergabung dengan Garuda Indonesia melalui kerja sama operasi (KSO) yang sudah dijalin oleh dua perusahaan maskapai itu.

Dengan adanya KSO ini, maka sebagian besar aktifitas bisnis dari mulai operasional maupun finansial Sriwijaya diatur oleh Garuda Indonesia lewat anak usahanya Citilink Indonesia.

Aktifitas ini jelas mengurangi persaingan di industri penerbangan nasional. Para pemain besar industri ini pun bisa lebih leluasa 'bersepakat' mengatur tarif.

Persekongkolan kartel makin terlihat ketika pelaku industri penerbangan nasional kompak menurunkan tarif tiket pesawat di waktu bersamaan. Pada 13 Januari, misalnya, sejumlah maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carrier (Inaca) sepakat menurunkan harga tiket pesawat sebesar 20-60 persen.

Keputusan itu diambil setelah maskapai penerbangan berunding dengan Angkasa Pura, AirNav dan PT Pertamina (Persero).

Belum lagi soal kebijakan maskapai yang kompak menerapkan tarif bagasi pesawat. Praktik penerapan tarif lain di luar tarif tersebut seolah mengulang sejarah kartel di industri penerbangan nasional.

Sejarah yang dimaksud terjadi pada 2010. Kala itu, KPPU mengambil keputusan menghukum sembilan perusahaan penerbangan lantaran melakukan kartel pada penetapan harga fuel surcharge sejak 2006 hingga 2009.

Tarif fuel surcharge adalah komponen biaya tambahan dari maskapai yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan kenaikan harga bahan bakar pesawat atau avtur. Komponen biaya ini berada di luar tiket pesawat.

Sejumlah indikasi tersebut jadi temuan awal bagi KPPU untuk melakukan penyelidikan dugaan kartel di industri penerbangan nasional yang menyebabkan mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia.

“Nanti kami yang akan memutuskan apakah itu akan naik [statusnya], apakah kami akan kasih waktu lagi atau nanti kami akan sarankan untuk dihentikan. Tergantung dari temuan,” kata Guntur.

KPPU juga menyoroti dugaan rangkap jabatan direktur utama Garuda di maskapai penerbangan swasta Sriwijaya Grup sebagai konsekuensi KSO yang disepakati antara Garuda dan Sriwijaya.

Dari kacamata hukum, langkah tersebut dilarang UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat [PDF].

Berdasarkan aturan yang tertulis dalam regulasi itu, seorang direksi atau komisaris di suatu perusahaan tidak boleh duduk di posisi atau menjabat sebagai direksi atau komisaris di perusahaan lain, terutama di lini bisnis yang sama.

Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 26 yang mengatur soal “jabatan rangkap.”

“Kalau memang terbukti yang bersangkutan bisa kena denda maksimal Rp25 miliar dan minimal denda Rp1 miliar,” kata Guntur.

Upaya KPPU mengungkap kartel mendapat dukungan dari DPR. Ketua Komisi V yang membidangi transportasi, Fary Djemi Francis menegaskan, bila dugaan kartel tersebut terbukti, maka para pelakunya harus ditindak tegas.

Menurut dia, pemerintah harus menindaklanjuti kondisi ini karena harga tiket yang mahal saat ini sudah memberatkan masyarakat.

“Kalau itu benar tentu harus ditindak ya. Kami minta supaya maskapai penerbangan INACA ini harus jujur di hadapan DPR. Kemarin itu tidak [belum] ada informasi terkait adanya isu kartel itu,” kata Fary saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (12/2/2019).

Terkait masalah ini, reporter Tirto mencoba menghubungi Public Relations Garuda Indonesia, Dicky Irhamsyah dan Corporate Communications Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro. Sayangnya, hingga artikel ini ditulis, mereka belum mau memberikan komentar.

Baca juga artikel terkait TIKET PESAWAT atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz