Menuju konten utama

INDEF: PPN Impor Kakao 0% Manjakan Pengusaha dan Abaikan Petani

Usul Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto terkait PPN Impor kakao dinilai terlalu memanjakan industri dan abai terhadap nasib petani.

INDEF: PPN Impor Kakao 0% Manjakan Pengusaha dan Abaikan Petani
Petan memanen buah kakao yang membusuk dari pohonnya di Desa Saletto, Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis (23/11/2017). ANTARA FOTO/ Akbar Tado

tirto.id - Usulan Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor kakao di-nol-kan dikhawatirkan bakal memukul petani kakao dalam negeri.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, komoditas tersebut bisa bernasib serupa dengan gula dan garam yang diserbu impor.

"Akhirnya nanti pemain di hulu semakin berkurang, ketergantungan impornya akan semakin meningkat, defisit perdagangan kita yang justru di momen seperti sekarang maunya ditekan ini malah memperlebar defisit perdagangan," kata Bhima kepada Tirto, Rabu (18/9/2019).

Menurut Bhima, pemerintah terlalu memanjakan para peengusaha industri, dan abai terhadap petani dalam negeri. Padahal Indonesia pernah menjadi eksportir kakao beberapa tahun lalu.

Penerapan dari bebas bea masuk untuk kakao tentu akan mematikan harga kakao di lapisan petani. "Otomastis memang pemerintah ini tidak berpihak pada para petani kakao. Karena jumlahnya masih cukup banyak dan sebagian dari peani kakao ini berada di tingkat kemiskinan yang masih tinggi," imbuhnya.

Strategi yang dilakukan pemerintah juga dinilai buruk sebab hanya mengandalkan "jalan pintas". Padahal, melalui koordinasi di tingkat kementerian masalah kurangnya pasokan bisa diselesaikan.

Misalnya koordinasi antara kementerian perdagangan dan pertanian untuk memastikan kecukupan pasokan dalam negeri menggunakan kakao lokal.

"Sebaiknya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang coklat, makanan dan minuman itu lebih banyak menggandeng para petani dengan program kemitraan. Sehingga luas lahan dan produksi kakao itu bisa jadi pasokan bukan dengan jalan pendek dengan melakukan impor. Kan lucunya indonesia, adalah negara yang dulu penghasil kakao yang cukup besar," terangnya.

Program kemitraan, kata Bhima merupakan langkah tercepat yang bisa dilakukan pemeritah dibanding impor kakao. Kemudian soal kualitas, fasilitas pertanian kakao juga perlu didukung. tak ada lagi alasan soal kualitas produksi lokal tak bisa level masuk industri.

"Perlu juga petani di fasilitasi. Fasilitasi disini itu bisa pemberian bantuan, pupuk, bantuan benih yang berkualitas. Kemudian sertifiaksi untuk masalah supai industri ya misalnya mereka mintsa sertifikasi bebas hama dan segala macam. Itu yang seharusnya bisa dilakukan pemerintah," terang dia.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian mengusulkan PPN impor kakao dijadikan nol persen agar kebutuhan industri pengolahan kakao dalam negeri dapat tercukupi. Alasannya, 20 perusahaan pengolahan kakao saat ini sedang kesulitan bahan baku seiring menurunnya produksi kakao di dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor kakao per Januari-Maret 2019 mengalami penurunan 63 persen secara year on year di 2018. Hal ini dianggap menjadi indikasi anjloknya pasokan biji kakao dalam negeri.

Pemerintah perlu berupaya menjalin kerjasama bilateral dengan negara pemasok seperti Ghana. Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), Indonesia menempati urutan ke-6 sebagai produsen biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Nigeria, dan Kamerun.

Baca juga artikel terkait IMPOR KAKAO atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana